WAYANG YASAN PAKU BUWANA II

 WAYANG YASAN PAKU BUWANA II


Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Ketua Bidang Budaya Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA
Hp. 0878 6440 4347


A. Wayang Panggungan


Ternyata Sinuwun Paku Buwana II seorang pelaku seni budaya. Raja besar ini mengenalkan wayang panggungan. Yang dimaksud wayang panggungan adalah wayang yang ditata ditancapkan di gadebog sebelah kiri dan kanan tempat duduk dalang 


Kalau dalang sedang memainkan wayang, atau di sebelah kanan biasanya ditancapkan di gadebog yang ada di atas tutup kotak wayang. Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana II juga diatur dengan bentuk barisan mulai dari yang besar sampai kecil, sebagai penyeimbang yang sebelah kanan.


Paku Buwana II kerap ikut menata wayang. Sedangkan tempat kosong yang ada di tengah hanya untuk menancapkan satu buah kayon (gunungan), gunanya untuk menancapkan wayang yang akan keluar dalam lakon. Kalau wayangnya banyak kadang kadang sampai di gadebog yang ada di bawah. 


Cara penataannya, wayang itu diurutkan menurut wayang yang sudah ditentukan penataannya, sedangkan urutan menata wayang panggungan tadi disebut nyumping, karena bentuk penataannya kalau dilihat dari kejauhan kelihatan seperti sumping, jadi semua wayang yang keluar ditancapkan di gadebog dekat dengan kelir tadi disebut wayang panggungan.


 Kebanyakan adalah wayang katongan, para ratu atau para satria dengan para putri dan putran, ditancapkan untuk memperindah kelir, ditempatkan di sebelah kiri dan kanan agar kelihatan edi peni dan indah jika dilihat.


B. Wayang Dugangan dan Ricikan


Penataan pakeliran meliputi wayang dugangan dan wayang ricukan. Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping disebut  wayang dugangan.


 Kata dugangan diambil dari tingkah laku wayang kalau sedang dimainkan. Mereka tidak berperang dengan senjata, tapi pasti saling menendang, saling meninju, dan saling buang. Kalau sudah kalah, yang kalah baru sesumbar  akan menggunakan senjatannya. 


Itu semua disebut wayang dugangan.

Yang dimaksud wayang ricikan seperti Gunungan (kayon), prampogan, kereta, senjata (gaman) dan sebangsa buruan. Disebut ricikan karena mengambil dari kata angracik, sebagai pelengkap untuk memainkan suatu lakon. Wayang ricikan itu pasti dipakai. 


Misalnya wayang satu kotak wayang ricikannya kurang satu seperti  Gunungan, Prampogan, Kuda, dan senjata (gaman), tentu tidak akan bisa untuk dimainkan. Tersebut manfaat wayang ricikan yang sudah pasti dipakai.


C. Wayang Buta Prepatan


Abdi dalem Kraton bertugas mengembangkan seni wayang. Yang dimaksud wayang buta Prepatan itu kebanyakan adalah wayang Murgan, yaitu wayang susulan, jadi berbeda dengan wayang baku.


 Kebanyakan wayang danawa Sangkalan atau wayang buta Cadra sangkala seperti Buta Cakil (Panyareng), buta Rambutgeni, danawa Emban Kenyawandu, buta Endog, buta Terong (Cungklok), kalau sekarang ditambahi buta Gombak (Galiyuk atau kobis).


 Wayang danawa Prepatan tadi untuk melengkapi lakon ketika ada adegan para ratu sabrangan. Buta Prepatan tadi dijadikan sebagai utusan, tiga danawa tadi sami diutus untuk pergi ke tanah Jawa. Wayang danawa yang diperlukan adalah Togog dan Sarahita sebagai cucuk lampah. 


Atau diperlukan dalam perang gagal atau perang kembang, perang kembang artinya perang yang tidak ada yang mati.


Dinamakan danawa Prepatan karena dalam perang, tiga danawa berperang empat kali, yang pertama buta Cakil perang lalu melarikan diri mencari bantuan. Yang kedua buta Rambutgeni atau Pragalba, terserah yang mana yang disenangi, membantu perang sampai mati. 


Perang yang ketiga buta Galiyuk atau buta Endog atau buta Terong, salah satu mana yang disenangi, melanjutkan perang sampai mati. Sedangkan perang yang keempat, buta Cakil kembali lagi maju perang terus sampai mati. Tersebut yang dimaksud wayang danawa Prepatan.


D. Wayang Sangkuk


Peninggalan wayang yang keramat pada jaman Sinuwun Paku Buwana II yaitu Kyai Kadung. Yang dimaksud wayang sangkuk adalah semua wayang yang tidak lurus bentuknya.


 Jadi mulai pinggang naik agak dibuat maju sedikit, jadi wayangnya kelihatan agak maju sedikit seperti orang agak bungkuk, jadi kata sangkuk di sini mempunyai maksud, mulai di pinggang atau naik dibuat agak maju seperti orang yang agak bungkuk. Maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa tatakrama, begitu maksud wayang dibuat sangkuk.


Wayang sangkuk dibuat ketika jaman Sinuhun Sultan Agung Anyakra kusuma di Mataram, dengan maksud mempunyai rasa kesusilaan dan tatakrama hanoraga (hanoraga artinya merindahkan diri), ketika tahun candra 1553 – tahun Jawa.


 Wayang wungkuk kebanyakan adalah wayang kuna, awalnya wayang dibuang sangkuknya ketika jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana  II di Surakarta, yang mengubah bentuknya Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Anom yang ke II.


 Bentuk wayang dibuang sangkuknya, ditatah oleh Ki Cermopangrawit dengan Kyai Gondo.

Ketika tahun 1697 wayang sangkuk adalah kebalikan dari wayang andeteng. 


Wayang andeteng nantinya masih lazim dipakai. Tentunya tidak terlalu andeteng, hanya sedikit saja.

 Dibandingkan dengan lainnya, wayang yang agak andeteng itu kebanyakan logok mempunyai tindak tanduk yang kelihatan gaib, misalnya; Suryoputro, Hadipati Karna, Ratu Sabrang Bagus, Bambangan yang tanpa celana panjang. Andeteng maksudnya mempunyai rasa gaib.


E. Ukuran Wayang


Ukuran wayang mendapat perhatian dari Sinuwun Paku Buwana II. Wayang kaper. Yang dimaksud wayang Kaper itu adalah wayang Purwa tapi dibuat ukuran kecil.


 Wayang kaper yang ukurannya besar sendiri, misalnya wayang Buta Raton atau Werkudara, besarnya hampir sama dengan Kresna atau Harjuna dalam wayang pedalangan yang umum. 


Jika diurutkan  ke bawah, wayang bambangan kira-kira sebesar putren kecil, biasanya hanya untuk mainan anak kecil yang senang dan mempunyai dasar pengetahuan pedalangan.


Yang suka membuat wayang kaper itu biasanya orang yang kaya serta suka pada tontonan wayang kulit sekalian untuk mendidik putranya. Jadi hanya karena senang pada wayang kulit sampai tidak terasa mengeluarkan banyak biaya, hanya untuk menyenangkan hati.


 Makanya wayang kaper itu kebanyakan komplit lengkap sampai wayangnya sisa, rangkap-rangkap sampai lebih dari 300an buah karena tidak mengerti tentang peran masing-masing wayang, hanya menuruti keinginannya saja.


Wayang Kijang kencanan, 

Wayang Kijang kencana itu juga termasuk wayang purwa. Yang dimaksud Kijangkecanan itu adalah nama ukuran wayang atau wayang kencanan, artinya ukuran sedang, tidak kecil tidak besar, jadi mengambil ukuran tengah. 


Biasanya yang besar sendiri dalam wayang kencanan tadi, msialnya wayang Buta Raton atau Tuhuwasesa yang  disumping paling depan, ukuran wayang mengambil ukuran wayang Gatutkaca dalam pedalangan umum. Begitu seterusnya, disebut wayang ukuran kencana atau wayang tanggung. Yang suka pada wayang tanggung itu kebanyakan hanya orang yang kaya serta senang memiliki wayang purwa.


Maksudnya agar bisa ringan jika dimainkan kyai dalang kalau sedang memainakn wayang, jangan sampai kelihatan ngoyo dalam memegang wayang kalau dilihat orang banyak. Begitu maksud dibuatnya wayang tanggung yang diberi nama Kijangkencanan tadi.


 Adapun wayang bernama Kijang kencanan ketika jaman Sinuhun Ratu Tunggul di Giri, ketika tahun candra 1478 tahun Jawa, diberi candra sangkala memet berupa wayang Dewa Batara Guru mengendarai sapi andini, salira dwija jadi raja. Itu adalah tahun 1478.


Wayang Pedalangan

Wayang pedalangan artinya ukuran umum (normal biasa) ukuran lumrah bagi pawayangan pada umumnya yang umum dipakai para dalang kalau akan memainkan wayang.


 Jadi yang dimaksud wayang pedalangan adalah wayang dengan ukuran lumrah, dimana mana bisa urut ukurannya.


Wayang besar (Gede) Wayang besar biasanya disebut Jujudan, ditambahi ukurannya menurut lebarnya palemahan, menurut wayang yang dijujud. Misalnya wayang buta Raton, yaitu menurut berapa lebarnya palemahan Buta Raton tadi, begitu seterusnya.


Wayang besar itu kalau untuk umum tidak biasa, selain kebesaran juga kelihatan terlalu besar memenuhi tempat, tidak seimbang dengan keadaan tempat.


 Bagi yang memainkan, yaitu dalangnya, juga kelihatan susah keberatan wayang, makanya tidak lumrah menurut umum. Wayang besar biasanya hanya digunakan di Kraton, bisa kelihatan komplit selaras dengan keadaan tempat.


 Kalau sudah dipajang kelihatan indah. Yang masih ada sekarang hanya tinggal untuk tontonan di museum Radyapustaka di Surakarta. Jadi wayang besar itu biasanya hanya untuk di Kraton, agar jika untuk digelar tidak kelihatan kecil dan seimbang dengan keadaan tempat. 


Wayang wayangan, 

yang dimaksud wayang-wayangan itu adalah tiruan wayang, artinya wayang yang tidak mempunyai wanda.


 Jadi wayang yang hanya sekedar berwujud wayang sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Wayan wayangan itu kebanyakan bajujag tidak bisa rata karena wayang satu kotak isinya bermacam macam asalnya, dikumpulkan dari satu dua dan lagi membelinya dari tukang penatah yang berbeda-beda.


 Jadi garapannya tentu saja tidak bisa sama, kelihatannya jadi berwarna-warni.

 Kebanyakan tatahannya tidak luwes karena tercampur panatah yang sedang belajar, sedangkan kulitnya juga hanya sedapatnya, tidak mencari mana yang baik. Artinya, yang tebal kadang terlalu tebal, yang tipis kadang sampai seperti kertas.


 Pewarnaannya juga begitu, hanya sekedar kelihatan gemerlap, catnya hanya memakai ancur kulit bukan ancur lempeng (kripik). Makanya kalau terkena hawa dingin lalu lengket mudah luntur, tidak bisa dimandikan, makanya kelihatannya lusuh. 


Gapitnya ada yang hitam, ada yang lugasan, tapi kadang ada satu dua yang diberi gapit tanduk hitam. Adapun wayang yang biasa dipakai itu jumlahnya tidak banyak, kira-kira hanya 125 buah, juga ada yang kurang dari 110 buah. 


Sudah biasa bagi wayang di pedesaan, kadang ada yang menamakan wayang gunung, karena wayang itu biasanya digunakan untuk mengamen di pedesaan sampai sampai di pegunungan. Wayang wayang itu kadang-kadang tercampur dengan wayang yang baik, artinya wayang yang memang baik yang dibuat oleh para luhur atau orang di kota yang suka wayang. 


Wayang di pedesaan itu malah lebih banyak tersebar, hampir sepanjang pesisir utara dan selatan yang suka wayang membeli wayang itu. Selain harganya murah, juga sudah bisa mencukupi untuk mencari penghasilan, sudah bisa untuk menyangga hidup.


 Para dalang di pedesaan atau para dalang di pesisir kalau mengumpulkan wayang hanya dengan membeli dari satu dua mencicil dari sedikit. Pembayarannya dengan uang sisa jika ada tanggapan, berapa sisanya menurut kekuatannya sendiri.


 Tanggapan di pedesaan biasanya harganya murah. Wayang wayangan tadi kadang ada yang menatah sendiri untuk segera melengkapi wayang yang untuk mencari uang. 


Ada pula yang memakai cara tukar-menukar wayang segala. Yang kalah bagus menambah uang, makanya wayangnya kebanyakan tidak bisa runtut, campuran, jadi garis besarnya hanya mencari lengkap saja. 


F. Wayang Dolanan Bocah. 


Bagi Sinuwun Paku Buwana II wayang bisa digunakan untuk membina watak generasi muda. Wayang dolanan itu wujud dan coraknya hanya sekedar bersifat wayang, tanpa ukuran.


 Artinya di sini, besar kecilnya tidak bisa ditentukan sebab tidak ada polanya, dalam membuat gambar hanya sedapatnya saja asal bisa jadi wayang. Biasanya dibuat dari kertas karton atau kertas dilem rangkap tiga atau mencari kertas yang kuat.


 Pembuatannya ditatah tapi cara panatahnya dirangkap, kalau kertasnya tipis sering sampai rangkap 10 lembar, jadi setengah kodi. Penjualannya dengan cara kodian seperti kain. Wayangnya juga dicat tapi hanya empat macam yaitu merah, hitam, kuning, dan hijau.


 Pengecatannya ada yang hanya sebelah, ada yang bolak-balik (kiri kanan), kadang ada yang tangannya masih irasan, juga sudah ada yang sopakan. Yang tangannya masih irasan wayangnya bertolak pinggang atau malangkadak, sedangkan yang tangannya sopakan dijahit dengan benang agal, jadi bisa lebih hidup.


 Bagian alusan dicat dengan cat pudar, cat ancur lin (atau ancur lem kayu) ada yang dibrom, diberi gapit seperti tusuk sate, pegangannya dari bambu yang dibelah terus dipakai menggapit diikat dengan tali benang, terus diruncingkan dan ditancapkan di gadebog, lurus tanpa lengkung.


Biasanya dijual ke pasar kalau hari pasaran atau di Pasarmalam serta di Sekaten, begitu seterusnya. Biasanya yang membeli adalah anak dari pedesaan. 


Selain harganya murah juga sudah kelihatan bagus. Yang dimaksud wayang pasaran artinya penjualannya hanya di pasar. Kebanyakan tentu di pasar pedesaan karena yang senang bermain wayang seperti itu kebanyakan hanya anak di pedesaan saja.


Wayang bocah angon (anak gembala) itu dibuat dari batang rumput dondoman yang kuat. 


Rumput itu dibuat seperti wayang dengan cara yang bermacam macam. Kalau sudah jadi lalu dikumpulkan biasnya sebanyak 10 buah, kalau lebih dari 10 tentu sudah bosan, lalu diguankan sebagai sebagai selingan waktu menggembala kerbau atau sapi di padang rumput. 


Ada yang membuat sambil bercerita, yang sudah jadi lalu dimainkan seperti dalang memainkan wayang, diberi musik dari mulut saja, ramai terlihat senang bercanda bersama teman.


Jenis wayah memang variatif. Yang dimaksud di sini adalah wayang ketika jaman Kartasura sampai jaman Demak ketika Raden Patah menjadi ratu di Demak, tapi sudah tidak ada buktinya.


 Jadi wayang kuna itu jelas sudah hilang tidak ada wujudnya lagi, hanya tinggal dalam cerita dongeng saja yang sudah ditulis dalam serat-serat pengetahuan tentang wayang. Yang masih ada sekarang hanya tinggal wayang jaman Surakarta, yang bisa tersebar sampai ke seluruh dunia.


Di mana mana, setiap Kasultanan biasanya mempunyai wayang sendiri. Bentuk berbeda-beda, disesuaikan dengan daerahnya sendiri. Misalnya wayang Cirebon, wayang Yogyakarta, wayang Surakarta, semua itu wayang kulit tapi bentuknya berbeda-beda, mempunyai bentuk sendiri.


 Makanya wayang di sepanjang pasisir itu sabagian besar bentuknya tidak beraturan karena tercampur wayang dari mana-mana, jadi tidak bisa itutlu mengambil bentuk yang sama. Wayang campuran yaitu wayang dari bermacam-macam tempat dikumpulkan lalu dicampur jadi satu.


Ragam pentas wayang menunjukkan semangat berkeseniaan. Ringgit disaring lan dianggit. Begitulah Sinuwun Paku Buwana II mengembangkan seni budaya wayang.


Tahun 1726 - 1745 Sinuwun Paku Buwana II memerintah Mataram Kartasura. Lantas Tahun 1745 - 1749 ibukota Mataram di Surakarta. Wayang mengalami masa kecemasan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

Asal Usul Leluhur Prabowo Subianto

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.