PEDALANGAN GAGRAG SURAKARTA

            PEDALANGAN GAGRAG                          SURAKARTA  






Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Ketua Bidang Budaya Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA
Hp. 0878 6440 4347


A. Wayang Seni Edi Peni 


Cara dalang dalam memainkan wayang sabisa-bisanya ingat pada keindahan yang adi luhung, hati-hati memegang wayang dan bisa menghargai seni wayang, jangan terburu-buru nanti malah bisa dianggap meremehkan seni kebudayaan kita sudah dianggap adi luhung. Dalang harus bisa menghargai wayang karena sandang pangan dalang itu adalah karena bermain wayang dengan tetabuhan semalam suntuk. 


Jadi kalau memperlakukan wayang-wayang dengan seenaknya sendiri itu kurang baik, kadang-kadang ada dalang yang menmainkan wayang dengan dilempar lemparkan ke udara, ada yang sampai dijungkirbalikkan supaya dianggap sabetan gaya baru, sehingga banyak anak kecil yang melihat bersorka-sorak dan merasa baik permainannya. 


Yang seperti itu masih termasuk dalang bocah, masih suka disoraki anak kecil, masih belum bisa menghargai budaya yang adi luhung. Kalau caranya seperti tersebut, dalam semalam memainkan wayang, pasti ada satu atau dua wayang yang gapitnya patah karena gapit dari tanduk itu rapuh, kalau wayang yang gapitnya dari bilah bambu itu kuat.


 Kebanyakan wayang dengan gapit seperti itu hanya wayang di pedesaan dan pesisir, yang biasanya dinamakan wayang barangan, hanya untuk sekedar untuk mencari nafkah. Jadi tidak memikirkan tentang seni keindahan, hanya untuk mencukupi kebutuhan. 


Kalau yang dimainakan adalah wayang yang bagus dan rumit ukirannya dengan dipoles prada emas, dengan gapit dari tanduk putih dan pilihan, yang punya teliti pada garapan, wayang yang nantinya akan banyak dimiliki oleh priyayi yang kaya dan senang pada wayang maka siallah mereka jika dalang dalang yang memainkan hanya seenaknya saja, memakai cara memainkan wayang di pedesaan tersebut, tidak bisa membedakan baik buruk barang, semua dianggap sama. 


Begitulah model dalang gaya baru sekarang ini, banyak yang merusakkan wayang dan belum bisa menghargai seni karya juru tatah wayang dan juru panyungging.


 Makanya jadi dalang itu tidak gampang, harus cinta pada wayang siapa saja dan bisa menghargai, sopan santun dalam memainkan wayang, jangan meremehkan wayang. Jika terjebak memainkan wayang di tempat yang biasanya hanya seadanya, jangan merasa kecewa hatinya, harus bisa memainkan sama dengan wayangnya orang kaya yang serba baik.


 Jadi jika ada dalang memainkan wayang dengan dijungkirbalikkan atau dilempar-lemparkan supaya bisa kelihatan berpindah tempat atau kelihatan melompat, itu bukan cara dalang memainkan wayang.


Dalang seperti itu jika tidak punya wayang sendiri, biasanya kalau mencari sewaan wayang jadi sulit, para priyayi yang punya wayang tidak akan menyewakannya karena pasti ada wayang yang rusak, yang pasti gapitnya akan putus pas di pinggang wayang. Makanya banyak yang tidak mau menyewakan wayang pada dalang yang seperti itu. 


Tatacara dalang mengambil dan menancapkan wayang harus dengan tangan kanan, tangan kiri hanya diam saja.


 Jika tangan kiri ikut menancapkan dinamakan diksura dan lagi jika tiba wayang yang besar biasanya kurang dalam menancapkannya, wayangnya kadang masih bergoyang akan rubuh karena kurang dalam menancapkannya. Jika sampai terlalu dalam juga kurang baik, susah mencabutnya. Maka kalau tangan kanan harus bisa mengira-ira dangkal atau dalamnya dalam menancapkan wayang. 


Kalau mengeluarkan wayang dalam pakeliran harus bisa mengira-ira lebar sempitnya paseban, jangan sampai kelihatan memenuhi tempat dan jelas penataannya, muka wayang supaya bisa kelihatan satu-satu, jadi bisa menyebutkan nama wayang satu persatu. 


Menata wayang dalam paseban harus ingat pada besar kecilnya wayang. Misalnya menata wayang Kraton Ngalengka yang besar-besar, cukup 6 buah saja. Penataannya yang baik, kalau butuh agak banyak boleh sampai 8 buah, misalnya wayang yang besar dikurangi Kumbakarna. Jika sampai pada wayang yang ukurannya sedang misalnya sabrangan Boma beserta pasukan manusia, itu cukup 8 buah. 


Jika wayangnya kecil bisa dikira-kira sendiri bagaimana agar baik dilihat. Selama dalang memainkan wayang itu sabisa mungkin sambil menata dan mempersiapkan wayang yang akan keluar selanjutnya. Caranya sambil menceritakan suatu adegan wayang apa saja, bisa sambil mempersiapkan wayang yang akan dibutuhkan, jangan hanya mengandalkan pada panyumping (pembantu) saja.


Dalang juga harus tahu tentang keapesan wayang. Kalau menumpuk wayang jangan melintang nanti bisa mematahkan gapit, meletakkan wayang diatur agar rata kelihatan tergelar rapi. Kalau sampai wayang tadi asal meletakkannya akan bingung mengambilnya. Mengambil wayang jangan sampai diseret nanti tangannya tersangkut dan kadang-kadang membuat putusnya sambungan tangan atau lepas dari sambungan. Kadang kala ada yang sampai memutuskan pegangan tanganan, lepas talinya dari telapak tangan wayang. Cara mengambilnya harus dibuka satu-satu.


 Kalau sudah ketemu wayang yang dibutuhkan lalu dipegang gapitnya, ditarik ke bawah sambil maju dan diringkas tangannya dengan memperhatikan wajah wayang jangan sampai ada yang tertekuk hidungnya nanti bisa membuat cacat wayang.


B. Gapit Wayang


Wayang yang wajahnya dicat hitam kalau terlipat tidak terlalu kelihatan cacatnya, tapi kalau yang wajahnya merah muda (puru) atau putih, brom (prada) dan wayang yang sejenisnya biasanya kelihatan jelas bergaris atau rusak catnya. Itulah sebabnya mengapa memainkan wayang jangan sampai gapitnya melengkung, begitu juga menancapkan jangan sampai gapit tadi terlipat.


 Pegangan dari tanduk itu mudah patah karena rapuh, berbeda dengan gapit bambu atau penjalin. Patahnya gapit itu biasanya di bagian pinggang wayang karena disitu adalah tempat gubahan gapit.


Jika menancapkan wayang jangan sampai terlalu dekat dengan kelir, nanti kalau dilihat dari belakang kelir akan kelihatan seperti patung (arca) diam tidak bergerak, hitam dan tidak hidup. Wayang ditancapkan agak miring sedikit, yang menempel di kelir hanya wajah wayang sampai telapak kaki yang depan. Jadi kalau tersorot sinar lampu blencong, bayangannya bisa kelihatan bergerak, kalau dipandang dari belakang kelir kelihatan seperti punya nyawa.


Kalau menancapkan wayang terlalu tinggi dinamakan wayangnya dinamakan mabur karena tidak menyentuh tanah. Kalau terlalu dalam menancapkannya dinamakan kungkum, kalau menancapkan wayang yang di depan jangan sampai terlalu menunduk, nanti dinamakan nlosor, bagaimana sebaiknya saja.


 Menancapkan wayang yang di depan, kepuh dodot yang pas pinggang diatur supaya jatuh di atas palemahan agak ke atas sedikit. Jadi seperti orang yang sedang duduk bersila duduk menghadap ratunya, atau pada wayang kang ada di depannya.


Kalau menyabet wayang jangan sampai bersangkutan, seperlunya saja jangan sampai diulang-ulang malah jadi ruwet. 


Kalau sampai ruwet yang melihat dari belakang kelir akan merasa pusing kepala karena melihat kelebat sana kelebat sini tanpa arti. Memang tidak gampang memainkan wayang dalam pakeliran tadi. Makanya harus lincah memegang wayang, jangan sampai terlepas pegangannya.


 Begitulah cara merawat wayang yang dinamakan anggulawentah wayang, jadi harus senang dan cinta pada wayang apa saja. Memainkannya harus teliti hati-hati, dan bagi orang asing agar bisa menghargai pada kagunan yang adi luhung tadi.


Dalam memainkan wayang, kalau menceritakan lakon wayang jangan sampai keluar dari kelir, harus apa adanya watak wayang yang ada dalam lakon sesuai lakon yang dimainkan yaitu cerita wayang purwa ketika jaman dahulu. Jangan sampai dibelokkan dengan lelakon jaman sekarang, nanti akan membuat kacau anggapan para tamu dan para penonton, sehingga dinamakan tanpa waton. Jangan suka membicarakan wayang sampai memakai nama para tamu dan penonton. Ya kalau hatinya berkenan, kalau tidak nanti malah membuat salah paham tidak baik jadinya. Jangan suka membicarakan keadaan keadaan jaman sekarang. 


Benar atau salah itu bukan kewajiban dalang memainkan wayang. Jangan sampai mau menerima kalau ada priyayi yang titip rembug apa saja supaya dimasukkan dalam pembicaraan wayang yang dirasa bisa pas.


 Itu tidak baik, nanti dinamakan dalang corong (trompet) jadi tukang propaganda dan bisa jadi cacat membuat isi cerita pedalangan tidak cocok dengan cerita lakon ketika jaman purwa. Intinya adalah dalang memainkan wayang semalam itu yang dibicarakan hanya cerita lakon wayang ketika jaman purwa saja dan sesuai wayangnya. Kalau wayangnya madya, ya jamannya jaman madya, kalau wayang gedog ya jaman Jenggala dan seterusnya. 


Karena umumnya kebanyakan digunakan untuk memainkan wayang itu adalah wayang purwa, jadi jangan sampai melenceng dari bentuk barang yang sudah ada. lagi pula kalau bicara jangan sampai rusuh atau saru, kalau sampai terdengar para putra-putri yang melihat di belakang kelir kurang baik.


Kalau memukul kotak jangan terlalu sering, kalau membuat jarak pemukulan yang jelas mengikuti ucapan wayang atau kalau wayang yang lain perlu menyahut untuk menjawab pertanyaan atau ucapannya tadi jadi ada sela tidak membuat bingung teman-teman niyaga yang menabuh gamelan. Pernah ada kejadian, niyaga ingin meminta singgetan patet. Sudah mengambil rebab dan digesek ternyata wayang masih berbicara dan diselingi suara ketukan kotak. 


Yang mendengarkan jadi bingung, tidak mengerti ucapan wayang malah bising dengan suara kotak dipukul tanpa arti. Intinya harus bisa menerapkan, memukul kotak yang tepat jangan sampai mengganggu ucapan wayang dan keinginan niyaga.


Kalau cerita harus yang jelas jadi bisa dirasakan, jangan hanya asal bicara seperti menghafal dan jangan sampai diulang-ulang, malah ada yang salah ucap.


 Begitulah, apa yan dirasa baik malah sebaliknya, tidak ada orang yang memperhatikan, hanya dianggap seperti burung mengoceh saja. Makanya harus hati-hati, kalau cerita yang jelas dan turut jadi enak didengarkan dan tidak perlu terburu-buru. 


Kalau tidak mengerti bahasa dan kata jangan berani memberi arti, nanit keliru maknanya. Kalau ada kata yang sudah jadi jangan berani mengubah atau ngotak atik, nanti malah berbeda maknanya. Lebih baik dibaca apa bunyinya saja dan jangan sampai berganti kalimat. Makanya dalang harus hawicitra, Mardi basa, Mardi kawi itulah modal untuk jadi dalang.


C. Gending untuk Pewayangan


Dalam memainkan wayang jangan sampai menoleh kesana kemari kalau tidak ada perlu yang penting dan jangan sampai sok pintar. Lebih tumungkul (menunduk).


 Yang dimaksud tumungkul di sini bukan menundukkan muka melihat ke bawah, tapi menundukkan hati, menjadi satu dengan permainan wayang. Satu lagi, jangan sampai bersandar pada kotak, duduk yang tegak jangan membungkuk, kalau bersuara nanti tidak bisa kuat napasnya. Kalau sedang ngepyak (memukul kepyak) duduknya agak miring ke kiri sedikit. 


Ada dalang yang memukul kepyak dengan tungkai kaki, maksudnya supaya bisa terasa mantap keras suaranya sampai kotaknya bergeser dari tempatnya. Yang seperti itu salah karena kelihatan kasar, cara seperti itu dinamakan kepyakan cara pedesaan, hanya asal suaranya keras saja sampai mengalahkan gamelan, itu kurang baik. 


Harus disesuaikan dengan laras gamelan, jadi bisa enak didengarkan.

 Intinya harus bisa menerapkan pada dirinya sendiri jangan sampai kelihatan kurang baik, nanti dinamakan diksura, tidak mengerti udanagara. Dalang dalam memainkan wayang pasti banyak tamu-tamu yang hadir untuk melihat dan memperhatikan cerita serta piwulang dalang dalam memainkan wayang semalam suntuk itu.


 Tamu kebanyakan itu ada bermacam macam, ada orang asing yang punya pengetahuan luas melebihi si dalang, malah ada dalang yang datang untuk melihat cara memainkan wayang. Makanya tidak gampang jadi dalang.


Kalau sudah laris dan kondang jangan sombong meremehkan temannya mencari makan, lalu kurang menghormati niyaga. Apa ada dalang memainkan wayang tanpa tabuhan, jadinya tidak bagus. Tersebut semua ajaran yang menjadi wewaler dalang. 


 Kalau memainkan gending untuk pewayangan itu harus ingat pada bentuk wayang, wayang dugangan, alusan, bapangan, atau wayang dagelan, juga sedang memainkan adegan apa dan dimana tempatnya. Misalnya kalau di Dwarawati gendingnya karawitan, kalau di Astina Kabor. Itu sudah ada ketentuannya sendiri-sendiri.


 Jengkar dari di pasewaan atau cukup ayak-ayakan saja, kalau sudah sampai depan gapura terus dilagukan pangjangmas. Itu sudah menjadi ketentuan, jangan sampai gendingnya diganti gleyong karena gending Gleyong itu gending yang digunakan dalam bubaran resepsi, jadi bukan gending wayangan.


 Kalau kadatonan gendingnya Titipati atau Damarkeli itu sudah baik, jangan Semaradana atau Pangkur kebar, itu gending untuk tari kiprahan yaitu tari Gambyong. 


Jadi tidak tepat kalau diterapkan dalam pakeliran wayang serta jangan memainkan gending Bedayan dalam pakeliran, itu tidak selaras dengan pewayangan, hanya untuk digunakan ketika Limbuk dan Cangik menari saja. Lagi pula kalau masih sore memainkan gending gobyog itu kurang baik. 


Itulah yang dinamakan tidak bisa menerapkan karawitan untuk wayang purwa. Gending-gending untuk pewayangan itu sudah ada sendiri, sudah diciptakan oleh empu-empu yang ahli gending pewayangan. 


Jadi kita itu hanya cukup melestarikan saja jangan sampai diganti dengan gending baru yang sedang in sekarang ini. Itu tidak cocok dalam pewayangan karena ini wayangan, bukan klenengan mana suka. 


Jangan sampai dicampur aduk, nanti membuat kacau, sudha ada ketentuannya sendiri-sendiri. Kalau sampai berlarut-larut namanya merusak seni kebudayaan kita.


D. Dalang Sejati  Purba Wasesa 


Macam-macam dalang sudah ada namanya sendiri-sendiri, yaitu lima macam:


1. Dalang Sejati.

 

Kalau memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang baik untuk contoh para penonton. 


Yang diceritakan dalam lakon wayang berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai kesejatian. Jadi memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju kasempurnan.


 Jadi lahir dan batin itu bisa seia sekata, luar dan dalam menuju pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti keinginan sendiri. Itulh yang dinamakan Dalang sejati.


2. Dalang Purba


Dalang ini kalau memainkan wayang dengan cerita yang isinya bermacam macam, yaitu cerita lakon wayang yang bisa digunakan untuk bekal hidup manusia sehari-hari. Lahir dan batin mneuju kesempurnaan.


 Makanya cara memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan pada para penonton sampai masuk ke dalam hati, meskipun sudah selesai wayangnya tapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah yang dinamakan dalang purba, artinya dalang yang sudah bisa merasakan rasa kasar halusnya manusia.


3. Dalang Wasesa


Dalang wasesa kalau memainkan wayang sudah mahir, cara menceritakan wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata, sampai bisa membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. 


Begitu seterusnya, karena kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti itulah yang dinamakan dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai pakeliran.


4. Dalang Guna


Kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti disenangi oleh penonton saja.


 Ceritanya kosong, tidak ada wejangan hanya sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi bisanya baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian menunggu rumah. 


Caranya hanya seperti orang bermain wayang lugu, ceritanya tanpa isi, kalau memilih lakon pasti mencari lakon kebanyakan perangnya, sedikit gending dan ceritanya. Memilih lakon kebanyakan perangnya jadi gamelannya kebanyakan hanya gending sampak srepegan dan ayak ayakan.


 Semalam hanya isi tiga gending, bisa dinamakan beber bango mati. Makanya memilih kebanyakan keluar wayang, dalam semalam jangan sampai kehabisan lakon. 


5. Dalang Wikalpa


Cara memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan bab pedalangan. Ceritanya hanya pas apa adanya saja, menurut ajaran ketika belajar jadi dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan.


 Jadi hanya seperti meniru saja, itu yang dinamakan latihan mendalang, menirukan cara dalang memainkan wayang semalam. Itu yang dinamakan dalang wikalpa.


E. Pakem Blangkon


Blangkon merupakan perlengkapan seni pedalangan. Yang dinamakan pakem blangkon itu seperti ini.

Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak berubah. 


Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan jawa, sebagai pedoman para dalang jika memainkan wayang. Jadi cara menata pakeliran menurut pada adat tatacara kraton Jawa, dan disesuaikan dengan caranya sendiri sendiri.


 Sebagai contoh, misalnya kalau menurut pedalangan cara Surakarta, setiap lakon pertama Kraton Jawa, dimana negaranya dan siapa ratunya, ucapan cerita janturan pasti dengan cara praja Surakarta yaitu keadaan negara dan kemakmuran negara disampaikan dalam cerita. negara panjang-punjung pasir wukir loh jinawi. 


Begitu seterusnya, dan pasti disesuaikan dengan upakarti Surakarta, lalu gapuran, sang nata keluar dari istana dan berhenti di Srimanganti. Terus kadatonan, sang nata duduh bersama prameswari. Terus disambung di Paseban jaba, di Pagelaran, bubaran, membubarkan pasukan, begitu seterusnya.


Kalau cara Yogyakarta hampir sama, hanya bedanya kalau sampai laras sanga pasti diselingi gara gara sebagai banyolan, mengeluarkan dagelan. Jadi yang disebut di atas tadi yang dinamakan pakem blangkon, aturan dalang kalau memainkan wayang.


 Makanya kalau ada dalang memainkan wayang sampai keluar dari pakem, artinya meninggalkan pakem, meskipun laris dan banyak orang yang suka, tetap saja kurang baik karena tidak menurut pakem dan meninggalkan waton pedalangan.


Pedalangan itu sudah dibagi, ada wewaton sendiri sendiri. Kalau dalang wayang purwa yang dimainkan wayang purwa, wayangnya juga purwa, gamelan slendro, gending suluk patet slendro, begitu seterusnya.


Dasar dasar seni pewayangan memang penting. Kawruh pedalangan perlu dipahami. Terutama bagi para dalang wiyaga dan waranggana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.