SEJARAH PONOROGO SEBAGAI IBUKOTA MATARAM

 SEJARAH PONOROGO SEBAGAI IBUKOTA MATARAM

Oleh Dr Purwadi, M.Hum. 

Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA. 

Hp. 087864404347


A. Ponorogo Ibukota Mataram Tahun 1742 – 1745


Pada tanggal 6 April 1742 Sinuwun Paku Buwana II memilih Ponorogo sebagai pusat pemerintahan. Sistem birokrasi, tata praja dan pelayanan publik dilakukan di kota Ponorogo. Kegiatan pemerintahan kerajaan Mataram di kota Ponorogo berlangsung sampai tanggal 10 Sura 1745.


Antara tahun 1742 – 1745 Ponorogo menjadi ibukota kerajaan Mataram. Geger Pacino sempat meletus di Kartasura. Istana Kartasura dibuat tepat oleh laskar yang dipimpin Raden Mas Garendi. Kerusuhan akibat geger Pacino bermula dari Lasem, merembet ke Semarang, menjalar ke Purwodadi. Puncaknya meletus di Kartasura.


Kebetulan sekali Sinuwun Paku Buwana II sedang melakukan kunjungan kerja di Magetan, Ngawi, Madiun dan Ponorogo. Saat itu Sinuwun Paku Buwana II meresmikan proyek tanggul Telaga Sarangan, penanaman jati di Mantingan, perluasan lahan tebu Dolopo dan pemugaran pendopo kabupaten Ponorogo. Acara raja Mataram memang terjadwal padat.


Geger Pacino dari gerakan sosial berubah menjadi gerakan politik. Raden Mas Garendi dinobatkan oleh pendukungnya sebagai raja Mataram. Bergelar Sinuwun Amangkurat V. Gerakan politik ini diikuti dengan saksama oleh Sinuwun Paku Buwana II. Situasi politik dianalisa dengan cermat.


Roda pemerintahan kerajaan Mataram harus tetap berjalan. Untuk sementara ibukota Kartasura dibiarkan dikuasai oleh kaum perusuh. Pelan-pelan kegiatan perusuh di Kartasura melemah dengan sendirinya. Ambisi mereka untuk berkuasa tidak dibekali dengan legitimasi serta ketrampilan yang memadai. Mereka sama sekali tidak berpengalaman.


Raden Mas Garendi yang dinobatkan sebagai Sunan Amangkurat V kehilangan dukungan. Karena beliau bergerak dari Lasem Rembang, maka Raden Mas Garendi juga disebut Sunan Amangkurat Rembang.


Dukungan rakyat kepada Sinuwun Paku Buwana II makin kuat. Kawula Mataram tidak terpengaruh oleh Geger Pacino. Dengan kebijakan yang tepat dan cepat, Sinuwun Paku Buwana II mengatur kerajaan Mataram dari Ponorogo. Kantor pemerintahan menggunakan pendopo kadipaten.  


Masyarakat Ponorogo rela membantu kelancaran kerajaan Mataram. Bahkan mereka bangga mendapat kehormatan dari Sinuwun Paku Buwana II. Ponorogo dihormati sebagai ibukota negara.


Wajar sekali jika sampai sekarang warga Ponorogo setia kepada kerajaan Mataram. Sikap setia rakyat Ponorogo pada raja Mataram sudah terbukti dalam sejarah.


Tanggal 17 Sura 1745 ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta. Sinuwun Paku Buwana II mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Ponorogo. Perpindahan ibukota ini diikuti oleh segenap kawula Ponorogo. Peran Ponorogo dalam pemindahan ibukota ke Surakarta sangat besar.


Begitulah asal usul kesetiaan kawula Ponorogo kepada Karaton Surakarta Hadiningrat. Kebahagiaan dan kemuliaan dirasakan bersama-sama, turun temurun hingga putra wayah.


Paguyuban Abdi Dalem yang tergabung dalam Pakasa Ponorogo bentuk darma bakti murih rahayu lestari. Ponorogo merupakan basis utama karaton Surakarta Hadiningrat.


Sarasehan yang dilakukan oleh segenap abdi dalem Pakasa cabang Ponorogo berusaha untuk menggali nilai kearifan lokal. Sejarah yang dikaji oleh Paguyuban Kawula Kraton Surakarta cabang Ponorogo memberi nilai keutamaan, keteladanan, keagungan dan keluhuran. 



B. Berdirinya Kabupaten Ponorogo


Kabupaten Ponorogo dalam sejarahnya selalu berhubungan dengan kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram dan kraton Surakarta Hadiningrat. Hubungan itu berlanjut sampai saat ini. Terutama dalam hubungannya dengan pengembangan kebudayaan. 


Masyarakat Kabupaten Ponorogo sangat menghormati Adipati Batara Katong. Beliau adalah Bupati Ponorogo pertama yang dilantik oleh Raden Patah atau Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Jimbun Sirullah I. Raja Demak Bintoro ini melantik Adipati Batara Katong sebagai Bupati Ponorogo pada tanggal 1 Dzulhijah 901 H atau 11 Agustus 1496.


Kanjeng Adipati Batara Katong adalah putra Sinuwun Prabu Brawijaya V, raja kraton Majapahit. Ibunya bernama Galuh Tanjungsari putri raja Jenggala. Galuh Tanjungsari disebut juga Kanjeng Ratu Asmorowati. Dengan demikian Kanjeng Adipati Batara Katong memang keturunan bangsawan Majapahit dari Jenggala. Beliau masih trahing kusuma rembesing madu, wijining atapa, tedhaking andana warih.


Pada usia 12 tahun Batara Katong tinggal bersama mbakyunya. Yaitu Kanjeng Ratu Pembayun yang menikah dengan Sri Makurung Handayaningrat, Bupati Pengging. Nama kecil Batara Katong yaitu 2 Raden Joko Piturun atau Pangeran Harak Kali. Selama ndherek suwita di Kadipaten Pengging Batara Katong belajar ngelmu guno kasantikan, joyo kawijayan. Ngelmu iku kelakone kanthi laku. 


Pangeran Harak Kali atau Raden Joko Piturun atau Bathara Katong kerap mahas ing ngasepi, sedhakep saluku tunggal, sajuga kang sinidhikara. Megeng napas mbendung suara. Ana ganda tan ingambu, ana suara tan den rungu, ana rupa tan den dulu. Meditasi tingkat tinggi meliputi sembah raga, cipta, jiwa, rasa. Puncaknya mencapai tingkat roso jati. 


Siji garising pesthi, loro temune jodho, telu tumurune wahyu, papat mundhake pangkat drajad. Pada tanggal 17 April 1486 Batara Katong menikah dengan Niken Gandini, putri Demang Suryo Ngalam di daerah Wengker. Dari silsilahnya Demang Suryo Ngalam masih keturunan raja Kraton Panjalu. Perjodohan ini atas inisiatif Kanjeng Ratu Pembayun dan Adipati Sri Makurung Handayaningrat. Perkawinan antar trah kraton ini sebagai usaha untuk ngumpulke balung pisah. 


Pernikahan Joko Piturun atau Batara Katong dengan Niken Gandini berlangsung megah mewah. Berkenan hadir Kanjeng Sultan Patah beserta rombongan keluarga besar kraton Demak Bintoro. Kanjeng Sunan Kalijaga dari Kadilangu memberi ular-ular manten. Datang pula Ki Ageng Tarub beserta Raden Lembu Peteng dan Dewi Nawangsih. 


Perwakilan keluarga Majapahit, Jenggala dan Panjalu menempati deretan kursi kehormatan. Sri Makurung Handayaningrat dan Kanjeng Ratu Pembayun mewakili orang tua manten kakung. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam, kembul bujana andrawina.


Betapa bangga gembiranya Demang Suryo Ngalam. Rasanya seperti ketiban ndaru, kejugrugan gunung sari, kebanjiran segara madu. Pembesar kademangan Wengker ini melibatkan Demang Dolopo, Kertosono, Purwodadi, Karangjati, Pilangkenceng, Ngrambe, Saradan, Caruban, Maospati dan Kedungbantheng. 


Mereka diajak untuk mangayu bagya pengantin agung. Bupati se Jawa turut diundang. Maklum kedua mempelai berasal dari keluarga terpandang dan terhormat. Penyelenggaraan upacara pernikahan Batara Katong dengan Niken Gandini betul-betul sembodo arum kuncoro.


Upacara seremonial selesai dilanjutkan dengan gelar seni budaya. Kirab manten di Kademangan Wenger diiringi dengan pentas seni Reog. Bujang Ganong, jathil, dhadhak merak tampil memukau penonton. Manten kakung putri naik di atas dhadhak merak. Slompret-slompret kendhang reyog ketipung imbal.


 Bonang lorone slendro, selompret pelog, jaran kepang nyongklang, merake ngigel. Bujang ganong gliyak gliyak, macan mangap megap-megap. Wus tutug  renggane reyog. Pranyata gawe gembira. Begitulah hari pertama pentas kesenian reyog untuk mahargya Batara Katong dan Niken Gandini.


Suguhan mbanyu mili, mengalir deras. Aneka jajan minuman terasa edi mirasa. Para seniman bekerja profesional tanpa kenal lelah. Demang Suryo Ngalam sudah berbuat baik kepada warga Wengker. Kali ini mereka merasa harus menyenangkan sesepuh Kademangan Wengker. Pria wanita tua muda sama-sama gumreget, gumregut, gumregah. Hari berikutnya digelar seni ludruk, kethoprak, wayang wong, wayang purwa, wayang gedhog, wayang thengul. Sebagai penutup acara tak lupa dipentaskan seni langen tayub.


Sedangkan pada tahun 1489 Demang Suryo Ngalam segera lengser keprabon madeg pandhita. Kademangan Wengker diserahkan kepada Batara Katong dan Niken Gandini. Untuk itu Demang Suryo Ngalam segera mengajak sidang para tokoh dari daerah Seman, Mlarak, Jetis, Balong, Kauman, Sukorejo, Jenangan, Babadan, Ngebel, Pulung, Pudak, Suoko, Sawoo, Sambit, Bungkal, Ngrayem, Slahung, Jambon, Badegan, Sampung. Sidang lengkap ini sekaligus sosialisasi pejabat baru di Kademangan Wengker.


Sepuluh tahun lamanya Raden Joko Piturun atau Batara Katong mengabdi dengan semangat kerja keras. Lila lan legawa kanggo mulyane negara. Batara Katong dibantu oleh Mantri Mirah, Mantri Seloaji, Mantri Joyodipo. Batara Katong menjalankan tugas berpusat di padukuhan plampitan, setono jenangan. Sedangkan Demang Suryo Ngalam. Sekarang mendapat gelar Ki Ageng Kethu atau Ki Ageng Kutu. Beliau mendirikan asrama pendidikan. Namanya padepokan Widyo Hisworo, bertempat di gunung Bayangkaki.


Padepokan Widyo Hisworo yang dikelola Ki Ageng Kutu mengasuh siswa-siswi dari tlatah Bang Wetan, Bang Kulon dan Pesisir. Pada tanggal 11 Agustus 1496 nama Wengker diubah menjadi Ponorogo. Pono bermakna mengerti, rogo bermakna badan. 


Orang Ponorogo selalu mengetahui perkara lahir batin, demi kesempurnaan hidup. Maka jroning urip ana urup, jroning urup ana urip kang sejati. Status Kademangan Wengker pun naik gengsi. Sejak tahun 1496 Kademangan Wengker menjadi daerah otonomi, dengan nama yang amat terkenal di dunia yaitu Kabupaten Ponorogo.


Tahun 1492 Demang Suryo Ngalam atau Ki Ageng Kutu memberi pusaka kepada Adipati Batara Katong. Pusaka ini sebagai sipat kandel kabupaten Ponorogo agar rakyatnya ayem tentrem, subur makmur dan guyub rukun.


1. Keris Kyai Jabadras

Berguna untuk. menyingkirkan musuh jahat, perusuh, begal, brandhal, kecu, maling, gentho. Pengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat tentu kalah perbawa dengan pusaka keris Kyai Jabadras.


2. Keris Kyai Condong Rawe. 

Berguna untuk mencegah pageblug mayangkara. Hama tanaman akan sirna. Wereng, tikus, kala sundep, ulat, kwawung, tidak tahan oleh wibawa Kyai Condong Rawe. Pusaka ini memang untuk melindungi petani. 


3. Tombak Kyai Tunggul Nogo. 

Berguna untuk menjaga kesuburan tanah. Tiap tahun tombak ini dikirab keliling kota, dengan maksud rakyat Ponorogo lancar usaha, rejeki mengalir terus, murah sandang pangan papan. Ini menyangkut konsep nogo dino nogo tahun.


4. Tombak Kyai Koro Welang. 

Berguna untuk menambah kewibawaan kabupaten Ponorogo. Sepanjang sejarah nama kabupaten Ponorogo harum wangi termashur di dunia. Para nayaka pangembating negari dianggap sebagai priyayi wasis wicaksana. Di mana saja kabupaten Ponorogo dianggap tempat yang magis mistis. Ponorogo papan nggegulang ngelmu kasampurnan.


Keempat pusaka kabupaten Ponorogo itu pada tahun 1546 pernah dikirab di Kasultanan Pajang. Pada saat itu Joko  Tingkir atau Mas Karebet dinobatkan menjadi raja Pajang. Joko Tingkir adalah cucu Ratu Pembayun dan Adipati Handayaningrat Pengging. Warga Ponorogo secara historis memiliki hubungan emosional yang kuat dengan daerah Pengging. ponorogo dan Pengging sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V raja Majapahit.


Jumenengan Sinuwun Hadi Prabu Hanyokrowati tahun 1601 di kerajaan Mataram. Beliau menikah dengan Kanjeng Ratu Banowati, putri Pangeran Benowo. Cucu Sultan Pajang ini dianggap mewakili trah Pengging dan Majapahit. Maka dengan sendirinya warga kabupaten Ponorogo memiliki kedekatan batin dengan para raja Mataram. 


Ratu Dyah Banowati menurunkan Kanjeng Sultan Agung Hanyokro Kusumo yang memerintah kerajaan Mataram tahun 1613 – 1645. Nak tumanak run tumurun kabupaten Ponorogo selalu menjadi barisan utama pendukung kerajaan Mataram.

  


C. Kota Ponorogo Mempersiapkan Pemindahan Ibukota


Proses pemindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta dilakukan di kota Ponorogo. sinuwun Paku Buwana II beserta kabinet melakukan konsolidasi pada tahun 1742 – 1745. Program pemindahan ibukota ini didukung penuh oleh sekalian warga Ponorogo. 


Selama tiga tahun lamanya, kota Ponorogo menjadi ibukota kerajaan Mataram. Kartasura sedang dilanda pageblug mayangkara. Paham radikal berkembang dari Lasem Rembang dan Semarang. Gerakan Raden Mas Garendi mengganggu ketertiban. 


Bahkan Raden Mas Garendi menobatkan diri sebagai Sri Amangkurat V. Gerakan makar ini perlu dianalisis dengan cermat. Berkat dukungan warga Ponorogo Kraton Mataram selamat dari pergolakan politik. Peristiwa historis ini terjadi pada tahun 1742.


Kanjeng Sinuwun Paku Buwono II membangun strategi politik lewat kota Ponorogo. Roda pemerintahan tetap harus jalan. Kejujuran, keterbukaan, keteladanan, kerelaan telah dibuktikan oleh warga Ponorogo. Kabupaten Ponorogo sungguh berjasa atas lestarinya dinasti Mataram. Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Becik ketitik ala ketara. Sapa kang mbibiti ala wahyune bakal sirna.


Masyarakat Ponorogo di bawah kepemimpinan Pangeran Wujib menjadi tokoh perpindahan ibukota kerajaan Mataram. Bersama dengan Tumenggung Honggowongso dan Pangeran Kadilangu, ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta. Beliau bertiga berhasil membangun ibukota Mataram di Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745.


Setiap ada pengetan hadeging karaton Surakarta Hadiningrat, abdi dalem yang berasal dari kabupaten Ponorogo akan sowan. Para abdi dalem ini rela suwita kepada karaton Surakarta Hadiningrat demi pelestarian budaya. Acara Grebeg Mulud, Grebeg Pasa, Grebeg Besar para abdi dalam selalu sowan.


Keteladanan masyarakat Ponorogo ini dikenang sepanjang masa oleh karaton Surakarta Hadiningrat. Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Kejayaan masa lampau, tindakan masa kini, demi menyongsong masa depan. Pada tahun 1837 daerah Wengker mendapat status kabupaten dengan kelengkapan birokrasi dan pegawai yang tertata rapi. Peristiwa historis ini terjadi pada pemerintahan Kanjeng Sinuwun Paku Buwono VII, yang memerintah tahun 1830 – 1858.


Surat keputusan diserahkan oleh perdana menteri karaton Surakarta, yaitu Patih KRA Sosrodiningrat II. Kedudukan Bupati Ponorogo dijabat oleh Raden Adipati Martohadinagoro. Beliau mengabdi antara tahun 1837 – 1854. Pada masa pemerintahan Adipati Martohadinagoro kabupaten Ponorogo semakin kawentar kencar-kencar.


Adipati Martohadinagoro adalah jalma limpat seprapat tamat. Beliau murid pujangga Ranggawarsito. Lama sekali Ranggawarsito atau Bagus Burham berguru di pondok pesantren Gebang Tinatar. Pujangga agung ini siswa kesayangan Kyai Kasan Besari. Kabupaten Ponorogo pusat pendidikan yang terkenal. Para bangsawan Mataram menempuh pendidikan di kota Ponorogo.


Kabupaten Ponorogo dibangun oleh Adipati Martodiningrat dalam segala bidang. Untuk membuat ketenangan jiwa Adipati Martohadinagoro membenahi Telaga Ngebel di sekitar Gunung Wilis. Juga menata patirtan Ngembag, air terjun Pletuk, air terjun Juruk di Tumpula Sawoo, goa Lowo Sampang, alas Kucur Badegan. Semua tempat itu mbangun ditata dan dibenahi agar semakin aman nyaman. Terlebih semua tempat itu dulu, untuk sarana meditasi. Tata cara agar terjadi keseimbangan jasmani rohani. Tata lahir amakarti, jroning batin angesthi Gusti.


Sejak tahun 1861 kraton Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh Kanjeng Sinuwun Paku Buwono IX. Beliau menjadi pelopor modernisasi di tanah Jawa. Maka beliau mendapat gelar Sinuwun Bangun Kedhaton tahun 1864 berkunjung di kabupaten Ponorogo. Sinuwun Paku Buwono IX meresmikan pembukaan kebun kakao, kopi, tebu, cengkeh, tembakau dan jambu mete. 


Kesadaran untuk menanam sangat tinggi di kalangan petani. Untuk itu para narakiswa atau among tani menanam ubi, pohong, jagung, padi, kacang dan kedelai.  Kabupaten Ponorogo benar-benar gemah ripah loh jinawi, tata tentem karta raharja.   


Dhandhanggula Boyong Kedhaton


Wanakarta dadya sepen sepi

Putra wayah buyut canggah nata

Wareng tumresat padhane

Kasapta drastha ratu

Tarah kaping runawa ugi 

dalasan pra sunindra

Habdining sang prabu 

kalebet para nayaka

Sapangandhap lawan kawula sanagri

Gumregut bawa praja


Kyai pangulu miwah para ketip

Alim kaji pra abdi ngulama

Samya hunjuk pepujine

Kang badhe tampi dhawuh

Hanancepken waringin kalih

Hing lun-alun utara 

Pringgoloyo tuhu

Miwah patih Sindureja

Waringin kidul dening Bekel mancanegari

Toyomas Ponorogo


Nata lenggah hing bangsal pangrawit

Para opsir kalawan kumendan

Samya ngadeg neng kirine

Bangsal lenggahan prabu

Pra prajurit banjeng habaris

Wong manca miwah Jawa

Haneng alun-alun

Sri Narindra lon ngandika

Dhusun Solo hing alih nama Nagari

Surakarta Diningrat.


Sigra jengkar saking Kartawarni 

Ngalih kadhaton mring dhusun Sala 

Kebut sawadya balane 

Busekan sapraja gung 

Pinengetan hangkate huni 

Hanuju hari Buda 

henjing wancinipun 

Wimbaning lek ping Sapta Wlas 

Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi 

Hing Nata kang sangkala 

(Pangeran Wijil)


Kota Ponorogo berjasa besar dalam proses pemindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Itulah fakta historis yang diperingati. Segenap sentana dan abdi dalem Kraton Surakarta Hadiningrat. 


Peristiwa sejarah ini terjadi pada masa Paku Buwana II. Dipilihnya desa Sala sebagai tempat pembangunan istana sudah melampaui hitungan yang matang. Para sesepuh diajak musyawarah. Maka kraton tetap lestari sampai sekarang. sudah selayaknya generasi muda Ponorogo melanjutkan tradisi warisan leluhur. 




D. Pemimpin Ponorogo Melestarikan Adat Istiadat Leluhur


Dengan dukungan segenap masyarakat, para pemimpin Ponorogo bekerja menurut paugeran. Desa mawa cara, negara mawa tata. Keselarasan sosial diutamakan sehingga tercipta suasana guyup rukun bersatu padu bahagia sejahtera. 

  

1. Adipati Martohadinagoro   1837 – 1854. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


2. Adipati Sosrokusumo 1854 – 1856. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


3. Adipati Cokronagoro I 1856 – 1882. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


4. Adipati Cokronagoro II 1882 – 1813. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


5. Adipati Sosroprawiro 1913 – 1914. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


6. Adipati Cokrohadinagoro 1914 – 1916. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


7. Adipati Kusumoyudo 1916 – 1926. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


8. Adipati Saim Hadinagoro 1926 – 1934. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


9. Adipati Sutikno 1934 – 1944. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


10. Adipati Susanto Tirtojrodjo 1944 – 1945. Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


11. R Tjokrodiprodjo 1945 – 1949. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


12. R Prajitno 1949 – 1951. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


13. Moch Mangundiprojo  1951 – 1955. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


14. R. Mahmoed 1955 – 1958. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


15. RM. Harjogi    1958 – 1960. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


16. R Dasoeki Prawirowasito   1960 – 1967. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


17. R. Soejoso   1967 – 1968. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


18. R. Soedono  1968 – 1974. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


19. H Soemadi  1974 – 1984. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


20. Drs. Soebarkah  1984 – 1989. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


21. Drs. Gatot Soemani  1989 – 1994. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


22. Dr Markum Singodimejo   1994 – 2004. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


23. Muryanto, SH   2004 – 2005. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


24. Muhadi Suyono, SH   2005 – 2010. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


25. Amin, SH   2010 – 2015. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


26. Drs. Ipong Muchlissoni   2015 – 2020. Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Joko Widodo.




Tiap kali para kasepuhan masyarakat Ponorogo melakukan sarasehan, tak lupa mereka mengutip wulan wuruk warisan Kraton Surakarta Hadiningrat. Misalnya dengan membasa ajaran luhur serat Wulangreh karya Sinuwun Paku buwana IV yang memerintah tahun 1788 – 1820.


Dhandhanggula Wasitaning Ati 


Pamedhare wasitane ati 

Cumanthaka aniru  pujangga 

Dahat  mudha ing  batine

Nanging kedah ginunggung

Datan wruh yen keh kang ngesemi

Ameksa angrumpaka

Basa kang kalantur

tutur kang katula-katula

tinalaten rinuruh kalawan ririh

mrih padhanging sasmita


Sasmitaning ngurip puniki, 

mapan ewuh yen tan weruha, 

tan jumeneng ing uripe, 

akeh kang ngaku-aku, 

pangrasane sampun utami, 

tur durung wruh ing rasa, 

rasa kang satuhu, 

rasaning rasa punika, 

upayanen darapon sampurneng diri, 

ing kauripan nira.


Lamun sira anggeguru kaki, 

amiliha manungsa kang nyata, 

ingkang becik martabate, 

sarta kang wruh ing hukum, 

kang ngibadah lan kang wirangi, 

sukur oleh wong tapa, 

ingkang sampun mungkur, 

tan mikir pawehing liyan, 

iku pantes sira guronana kaki, 

sartane kawruhana.


Kutipan serat Wulangreh karya Sinuwun Paku Buwono IV di atas kerap menjadi bahan renungan bagi kabupaten Ponorogo. Bagi masyarakat Jawa serat Wulangreh menjadi bacaan wajib. Di sana tersedia pitutur luhur. Kehidupan semakin berbobot. Itulah ajaran raja Karaton Surakarta Hadiningrat yang terkenal.


Nasihat tembang ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami ilmu sangkan paraning dumadi atau makna hakekat kehidupan. Wejangan raja Surakarta ini sungguh mengandung nilai rendah hati. Meskipun pintar tetap tidak sombong. Ajaran itu juga menganjurkan seseorang untuk tekun berguru. Dengan menuntut ilmu pengetahuan, maka hidup menjadi lebih terang benderang.



Kutha Ponorogo mas, misuwur reoge

Cak-cak Surabaya jo lali mbarek ludruke

Empun kesusu kondur mirsanana sandur

Wayang topeng dhalang saking Madura sampun kondhang


Njajah desa milang kori nggoleki condhonge ati

Seni gambus misri Jombang gandrung Banyuwangi

Pandaan sendra tarine yen Nganjuk kondhang kledheke


Kutha Bondowoso mas misuwur tapene,

Cak cak Surabaya ja lali rujak cingure,

Timbang bali nglenthung wingka Babad luwung,

Mojokerto jipang wedang angsle asli Malang,


Njajah desa milang kori nggoleki condhonging ati,

Brem kutha Mediun kripik Trenggalek tamba gumun,

Kediri tahu takwane yen Nganjuk kondhang angine.



Kabupaten Ponorogo terkenal dengan kesenian reog. Tiap-tiap kota mempunyai jenis kesenian dan masakan yang khas dan enak. Wisata kuliner ini dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Wisatawan semakin krasan bila disuguhi seni budaya tradisional. 


Jawa Tengah dan Jawa Timur gudangnya kuliner dan seni budaya. Mari kita mencicipi masakan daerah ditanggung nyamleng. Kabupaten Ponorogo selalu menawarkan nilai logika etika estetika, cipta rasa karsa. 


Dengan mengingat bahwa Ponorogo pernah tiga tahun menjadi ibukota Mataram, maka generasi muda akan memiliki rasa bangga kepada sejarah. Kecintaan sejarah ini dalam rangka untuk membina pendidikan karakter. Maka terbentuklah sebuah kepribadian yang kokoh di kalangan generasi penerus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal Usul Leluhur Prabowo Subianto

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.