SEJARAH KI AGENG TARUB.

SEJARAH 

KI AGENG TARUB. 

Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum. 
Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA

Hp 087864404347. 


A. Ki Ageng Tarub Leluhur Raja Jawa. 


Leluhur raja Jawa bernama Ki Ageng Tarub. Nama yang begitu populer di kalangan rias manten. Karena sering terlibat pasang Tarub dalam pesta pernikahan. 


Lahir dan besar Ki Ageng Tarub di daerah Purwodadi. Nama Purwodadi berasal dari bahasa Sansekerta Purwo dan Dadi. Purwo berarti asal usul, sejarah, perkembangan, permulaan, paling dulu, paling tua, sulung, dan lama sekali. Dadi berarti berhasil, sukses, gemilang, cemerlang, suka, gembira, cerah dan terang benderang. Dengan demikian kata Purwadadi berarti sejarah permulaan yang memberi keberhasilan cemerlang.  Pada kenyataannya masyarakat kota Purwadadi kabupaten Grobogan menjadi cikal bakal permulaan sejarah kerajaan di tanah Jawa.


Prabu Ajisaka adalah raja Medang Kamulan yang berasal dari negeri Hindustan. Kedatangannya untuk menyelamatkan tanah Jawa dari gangguan Prabu Dewata Kacengkar, seorang raja raksasa yang gemar makan daging manusia. Kerajaan Medang Kamulan tersebut tepat berada di kota Purwodadi. Boleh dikatakan kabupaten Grobogan merupakan daerah terjadinya sejarah tua. Sejak itu pula orang Jawa mulai mengenal tahun 1 Saka. Dari kerajaan Medang Kamulan Purwodadi ini kemudian pindah ke wilayah selatan di bawah kaki gunung Merapi. Kerajaan tersebut menjadi negri Pengging pada tahun 423 Saka. Rajanya bernama Kanjeng Sinuwun Prabu Kusumawicitra. 

 

Selama dipimpin Prabu Ajisaka kerajaan Medang Kamulan tampil sebagai negeri kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Jasa dan kepahlawanan Prabu Ajisaka dikenang dengan adanya tulisan aksara Jawa. Prabu Ajisaka mengajari orang Jawa agar trampil membaca dan menulis. Kini dikenal aksara Jawa yang berbunyi ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga. Aksara Jawa itu memiliki nilai filosofis yang tinggi.  Ha na ca ra ka, berarti ada utusan Tuhan yang bernama manusia. Da ta sa wa la berarti manusia harus patuh pada Tuhan. Pa dha ja ya nya berarti manusia diberi hak dan kewajiban. Ma ga ba tha nga berarti manusia harus menuju pada kesempurnaan hidup, yakni emating pati patitis. 


Biografi Ki Ageng Tarub berhubungan dengan Grobogan. Kabupaten Grobogan selalu berperan dalam perjalanan sejarah. Tersebutlah Bupati Tuban yang bernama Kanjeng Raden Tumenggung Wilwatikta mempunyai dua putra yaitu Raden Mas Sahid dan Dewi Retno Roso Wulan. Kelak Raden Mas Sahid bergelar Kanjeng Sunan Kalijaga, wali terkenal pada jaman kerajaan Demak Bintoro, sedang Dewi Retno Roso Wulan adalah seorang putri pertapa yang sakti mandraguna.


Pada tahun 1300 M ada utusan mubaligh dari Arab yaitu Syekh Jumadil Kubro beliau mempunyai putri bernama Nyai Ageng Thobiroh yang berputra Syekh Maulana Magribi. Beliau suka melakukan tirakat, lara lapa tapa brata. Tanah Jawa sudah akrab dengan Negeri Mesir, Persia, Arab, Turki dan Gujarat. Pelan-pelan agama Islam berkembang dengan pesat dan damai berkat syiar yang dilakukan oleh Wali Sanga. Hubungan diplomasi itu berlangsung terus dari jaman kerajaan Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram.


Syekh Maulana Magribi mulai memasukkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat Jawa yaitu dengan mendekatkan diri pada Allah secara bertapa. Cara bertapanya Syekh Maulana Magribi dengan cara naik ke atas pohon yaitu bertapa Ngalong dan akibatnya bertemu dengan putri bupati Tuban yang bernama Dewi Retno Roso Wulan. Karena pada waktu itu Dewi Retno Roso Wulan diperintah oleh ingkang rama bertapa ngidang masuk alas wanawasa selama 7 tahun tidak boleh pulang dan makan kecuali daun yang ada di hutan. Perintah bertapa ini dilakukan oleh Dewi Retno Roso Wulan supaya cita-citanya untuk bertemu dengan ingkang raka Raden Sahid dapat terwujud. Dalam proses pencariannya ia bertemu dengan Syekh Maulana Magribi. 


Pada tahun 1321 bertemulah Syeh Maulana Magribi dengan Dewi Roso Wulan. Pertemuan itu terjadi di saat masih bertapa. Ternyata dari pertemuan mereka terjalin rasa saling mencintai dan akhirnya menjadi suami istri, dilanjutkan dengan pulang ke Adipati Tuban untuk menghadap ingkang rama, tetapi pulangnya Dewi Retno Roso Wulan seorang diri tidak disertai oleh Syekh Maulana Magribi. Sesampainya di Tuban beliau ditanya, “Siapa suamimu, sehingga kamu pulang dalam keadaan hamil?” Saat beliau ditanya beliau tidak menjawab, akhrinya beliau kembali ke hutan lagi untuk mencari Syekh Maulana Magribi ayah anak tersebut. Di tengah perjalanan mencari Syekh Maulana Magribi beliau melahirkan bayi, tempat dimana Dewi Retno Roso Wulan melahirkan bayi itu sampai sekarang diberi nama Desa Babar.


Gunung Kendheng sejak dulu dipercaya sebagai penangkal tolak balak buat sekalian wabah, pagebluk, hama dan penyakit. Gunung Kendheng inilah yang menjadi saksi atas kelahiran putri linuwih. Setelah ponang jabang bayi lahir, niat untuk mencari ayahnya dilanjutkan. Saat dicari ayah bayi masih dalam keadaan bertapa di atas pohon giyanti. Akhirnya Syekh Maulana Magribi turun dari pertapaannya dan menimang bayi, kemudian bayi itu dibuatkan tempat yang sangat indah, yaitu Bokor Kencono.


Di kala itu Roro Kasih baru saja kehilangan suami yang bernama Aryo Penanggungan karena meninggal dunia dan belum dikaruniai anak, karena sayangnya Roro Kasih terhadap sang suami walau sudah wafat, setiap malam ia selalu menengok makamnya. Pada saat itu Syekh Maulana Magribi membawa putranya yang telah dimasukkan Bokor Kencono dan diletakkan di dekat pasareyan Aryo Penanggungan. Di malam itu juga kebetulan Roro Kasih keluar dari rumah menengok arah pasareyan suaminya, ternyata di dekat pasareyan ada sebuah bokor. Ternyata di dalamnya ada bayi yang sangat mungil dan lucu sekali.


Kali Lusi yang mengalir dari daerah Rembang, Blora, dan Grobogan dulu sering digunakan untuk melakukan tapa kungkum. Seorang ayah yang menanti kelahiran putranya biasanya didahului dengan ritual tapa ngeli di kali Lusi. Pada saat itu Roro Kasih sangat terperanjat melihat si jabang bayi, diambilnya ponang jabang bayi itu lalu dibawa pulang. Kabar mengenai orang yang meninggal bisa memberikan anak kepada istri jandanya telah tersiar sampai ke pelosok negeri. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat kebenaran berita tersebut. Akhirnya Roro Kasih yang tidak punya harta benda menjadi kaya raya dari uluran tangan orang-orang yang datang melihat bayi tersebut. Oleh Roro Kasih bayi itu diberi nama Kidang Telangkas Joko Tarub. Nama Joko Tarub diambil dari Taruban yang dibuat di atas pasareyan suaminya, karena di kala bayi itu diambil Roro Kasih dari atas pasareyan Haryo Tanggung, pasareyan dibuat bangunan Taruban. Tempat itu hingga kini tetap arum kuncara.


Dalam berbagai kesempatan kisah Ki Ageng Tarub banyak disebarkan melalui cerita ketoprak, ludruk, kentrung, sandiwara dan sinetron. Hal ini membuktikan bahwa nama Ki Ageng Tarub cukup populer. Tahun 1340 Joko Tarub mempunyai kesenangan menangkap kupu-kupu di ladang. Setelah dewasa Joko Tarub mulai berani masuk hutan untuk mencari burung, di hutan beliau bertemu orang tua yang memberikan bimbingan ilmu agama dan diberi aji-aji. Namanya ‘Tulup Tunjung Lanang.’


Di waktu mendapat tulup beliau langsung pulang menyampaikan berita kepada ibu asuhnya, selain itu juga bercerita bahwa di tengah hutan telah berjumpa dengan orang yang sangat tua, dalam pertemuan itulah beliau diberi aji-aji Tulup Tanjung Lanang. Mengingat rasa sayangnya kepada anak satu-satunya, Roro Kasih tidak memperbolehkan putranya ke hutan lagi, mereka khawatir kalau ingkang putra dimakan hewan buas atau dibunuh orang yang tidak senang kepadanya. Namun demikian Joko Tarub tidak takut, apalagi beliau mempunyai aji-aji Tulup Tunjung Lanang, maka Joko Tarub tetap senang masuk ke hutan berburu.


Kebiasaan berburu peksi tetap dilakukan, sehingga pada suatu ketika sampailah di atas gunung. Pada saat di atas gunung, Joko Tarub mendengar suara peksi perkutut, lalu dilepaskannya anak tulup ke arah peksi tersebut, namun usahanya gagal. Kegagalannya itu membuat Joko Tarub berfikir dan beranggapan bahwa peksi perkutut itu bukan peksi biasa. Usaha berburu peksi dilanjutkan hingga terdengar lagi suara peksi dari arah selatan. Didekati dan dilepaskan anak tulup ke arah peksi itu, namun tidak mengenai peksi itu dan ternyata anak tulup mengenai dahan jati. Tempatnya yang ditinggal peksi tadi sekarang diberi nama Karang Getas. Usaha berburu peksi selalu gagal sehingga hatinya terasa sedih, karena sedihnya Joko Tarub, tempat yang ditinggalkan sekarang dinamai Dukuh Sedah.


Kemudian terdengar lagi suara peksi dari arah selatan. Didekati posisi yang strategis, peksi tersebut dalam keadaan ter-pojok, maka anak tulup dilepas. Namun tidak kena lagi dan peksi terbang ke selatan, tempat tersebut diberi nama Dukuh Pojok. Joko Tarub terus memburunya, peksi itu terbang ke selatan dan hinggap di atas pohon asam. Oleh Joko Tarub dilepaskan anak tulup ke arah peksi tetapi tidak mengenai peksi dan bahkan peksi itu terbang lagi ke selatan. Tempat yang ditinggalkan sekarang diberi nama Dukuh Karangasem.


Di waktu mengejar peksi ke arah selatan, Joko Tarub me-renungi peksi tersebut. Dalam ucapannya mengatakan ini peksi atau godaan tempat merenungnya Joko Tarub diberi nama Dukuh Godan. Joko Tarub mengejar terus ke arah selatan namun peksi tersebut terus terbang ke selatan. Tempat melihatnya Joko Tarub sekarang diberi nama Dukuh Jentir. 


Joko Tarub terus melacak ke arah selatan sampai ke lokasi Sendang Tlaga. Di tepi sendhang Tlaga Joko Tarub menancapkan tulupnya, karena saat itu telah tiba waktu sholat dhuhur. Beliau langsung menuju sendang mengambil air wudhu. Di saat Joko Tarub sedang wudhu datanglah widodari untuk mandi, saat itu busana widodari yang dilepas diletakkan di atas tulup Joko Tarub yang ditancapkan di tepi sendang.


 Setelah habis wudhu langsung pulang ke rumah laporan kepada keng ibu, “Saya tidak dapat peksi, cuma dapat busana perempuan yang ada di Sendang Tlaga.” Masyarakat banyak mengunjungi sendang Tlaga Widodari untuk ngalap berkah.


Para petani menghormati kehadiran Dewi Nawang Wulan dengan cara nanggap pertunjukan seni langen beksa tayub. Dewi Nawang Wulan sangat dihormati oleh para petani di pulau Jawa karena melambangkan kesuburan. 


Joko Tarub menikah dengan widodari yang bernama Dewi Nawang Wulan. Adapun sendang yang digunakan untuk mandi widodari diberi nama Sendang Tlaga Widodari Nawang Wulan, yang berada di lokasi Dukuh Sreman Desa Pojok Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan. Tanah sendang Tlaga Widodari tersebut milik Kraton Surakarta Hadiningrat (tanah perdikan). Sampai sekarang Sendang Tlaga Widodari dikeramatkan setiap malam 10 Muharam.


Joko Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan tahun 1341. Beliau mendapat gelar Ki Ageng atau Sunan Tarub, beliau menyebarkan agama Islam untuk meneruskan perjuangan bapaknya. Dalam pernikahannya Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan dikaruniai keturunan putri yang diberi nama Dewi Nawangsih.


Lestari sampai saat ini. Begitulah anyaman peradaban yang diwariskan oleh Ki Ageng Tarub buat putra wayah. 



B. Tata Cara Mantu di Nusantara. 


Upacara pernikahan adat Jawa mengambil teladan dari Ki Ageng Tarub. Prosesi ini tampak agung anggun. Lebih dari itu prosesi ini menjadi sarana berdoa untuk memperoleh kemuliaan. 


Ki Ageng Tarub Mantu Menikahkan Dewi Nawangsih dengan Raden Bodan Kejawan Putra Prabu Brawijaya V


Negara Majapahit terkenal sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Pada waktu itu kerajaan Majapahit diperintah oleh Sinuwun Prabu Brawijaya V. Setelah ditinggal istrinya wafat, sang raja sakit dan tidak mau menduduki kursi kerajaan. Suatu malam beliau bermimpi bila ingin sakitnya sembuh, harus mengawini Putri Wiring Kuning. Kemudian raja terbangun dari tidurnya, selanjutnya dipanggil dan diperintahnya sang patih untuk mengumpulkan semua putri putrinya yang ada di kerajaan. Setelah semua berkumpul, setiap putri diteliti dan dicocokkan yang sesuai dengan mimpinya. Berdasarkan hasil penelitian yang cocok dengan mimpinya yaitu Putri Wiring Kuning ternyata adalah pembantunya, kemudian pembantunya diambil menjadi istri. Tidak begitu lama pernikahannya dengan Dewi Wiring Kuning sudah ada tanda-tanda bahwa istrinya telah hamil. Beberapa waktu kemudian setelah waktunya tiba lahirlah si ponang jabang bayi. Kemudian Sang Prabu memanggil Dana Pratapa untuk memelihara dan mengasuh bayi tersebut.


Bayi yang diserahkan Sinuwun Prabu Brawijaya V kepada Ki Dana Pratapa adalah laki-laki diberi nama Bondan Kejawan. Di masa kanak-kanak Bondan Kejawan tahu bahwa ayah asuhnya akan membayar pajak ke kerajaan, maka ia berniat akan ikut, tetapi tidak diperbolehkan oleh ayah asuhnya. Dengan tidak diijinkannya ikut ke kerajaan, dia nekat laru dulu dan sampailah di kerajaan. Sesampainya di kerajaan langsung masuk dan naik ke atas kursi raja, kemudian membunyikan bende kerajaan. Mendengar bende kerajaan dibunyikan sang raja amat marah. Anak tersebut ditangkap.


Tidak begitu lama kejadian itu kemudian datanglah Dana Pratapa dengan membawa padi untuk membayar pajak. Selesai membayar pajak dia menghadap raja dan menanyakan anak kecil yang membunyikan bende kerajaan. Diberitahukan pada sang raja bahwa putra sang raja sendiri. Raja Brawijaya V memanggil anak kecil itu sambil membawa kaca untuk melihat wajahnya sendiri ternyata mirip dengan wajah anak tersebut. Selanjutnya Dana Pratapa disuruh sang raja untuk mengantarkan ingkang putra kepada saudaranya yaitu Ki Ageng Tarub agar ingkang putra diasuh dan dididik agama Islam.


Dengan pendidikan ilmu agama dan budi pekerti dari Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan tumbuh sebagai anak dewasa yang menguasai banyak hal termasuk ajaran agama Islam. Dengan tingkah laku yang baik, pengetahuan yang luas serta kepribadian yang matang, timbullah niat Bondan Kejawan untuk berumah tangga. Kemudian Bondan Kejawan dijodohkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih. Oleh Ki Ageng Tarub, Bondan Kejawan disuruh untuk melanjutkan perjuangannya. Para leluhur Mataram itu sungguh berjasa membangun peradaban agung.


Tata cara adat istiadat pernikahan Jawa sesungguhnya tradisi yang diwariskan oleh Ki Ageng Tarub. Beliau adalah leluhur Kraton Mataram yang meninggalkan wejangan wedharan dan wulangan bagi sekalian masyarakat Jawa. Pernikahan menjadi sarana untuk melestarikan wiji sejati. Konsep bibit bebet bobot terkait dengan asal-usul, prestasi dan kualitas diri. Oleh karena itu pernikahan merupakan peristiwa kultural yang amat sakral. Dalam Babab Ila-ila yang disusun oleh Ki Ageng Tarub pada tahun 1521 memberi deskripsi tentang ilmu laku, jangka jangkah, kudrat wiradat yang berhubungan dengan tata bale wisma. Membangun bahtera rumah tangga mesti berlandaskan paugeran turun temurun.


Doa puji pangastuti Ki Ageng Tarub saat menikahkan Dewi Nawangsih dengan Raden Bondhan Kejawan mbabar trah kusuma rembesing madu. Artinya mereka melahirkan generasi unggul, agung, anggun. Dalam sejarah peradaban Jawa mereka mampu tampil sebagai insan ber budi bawa laksana, yang berjiwa besar bijak bestari. Sebagai sarjana martapi, cendekiawan ulung tampillah Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Banyubiru. 


Pendidikan humaniora yang ditaburkan para murid Ki Ageng Tarub memberi pencerahan buat Panembahan Senopati dan raja-raja Jawa selanjutnya. Kunci sukses mereka dalam menghiasi peradaban Jawa terletak pada perpaduan agama dan budaya. Demikian pula dalam penyelenggaraan pernikahan, pakem kebudayaan selalu dipegang teguh. Eloknya lagi tuntunan budaya itu tetap relevan di era globalisasi.


Perhelatan pernikahan umumnya menggunakan tata cara Ki Ageng Tarub. Tradisi ini berlangsung turun tumurun. 



C. Ki Ageng Tarub Tokoh Pewaris Adat Istiadat. 


Tata cara pernikahan adat Nusantara meniru gagrag Ki Ageng Tarub. Mantenan yang diselenggarakan oleh generasi sekarang tetap melanjutkan tradisi masa lampau. 


Pernikahan Bondan Kejawan dengan Dewi Nawangsih pada tahun 1360 mempunyai anak Ki Ageng Getas Pendowo. Selanjutnya pada 1380 Ki Ageng Getas Pendowo mempunyai anak Ki Ageng Sela (Syekh Abdurrohman). Dari beliaulah terlahir raja-raja di Tanah Jawa Mataram Islam sampai menurunkan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Makam Ki Ageng Tarub terletak di desa Tarub, Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Haul Ki Ageng Tarub setiap tanggal 15 Sapar, istighosah dan solawat nariyah setiap malam 14 purnama. Sampai sekarang makam tersebut banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. 


Dari segi silsilah, Ki Ageng Sela masih keturunan raja Majapahit, Sinuwun Prabu Brawijaya V. Sinuwun Prabu Brawijaya V menurunkan Raden Bondan Kejawen atau Lembu Peteng. Lembu Peteng menurunkan Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa menurunkan Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela menurunkan Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan menurunkan Panembahan Senapati. Panembahan Senapati menurunkan para raja Mataram.


Ki Ageng Sela tinggal di Sela, Tawangharjo, Purwadadi, Grobogan, Jawa Tengah. Beliau dikenal sebagai tokoh yang dapat menangkap petir. Nama lain Ki Ageng Sela adalah Bagus Songgom atau Ki Ageng Ngabdurrahman ing Sela. Dinasti Ki Ageng Sela adalah sebagai berikut: 


1. Sinuwun Prabu Brawijaya berputra Raden Bondan Kejawen.


2. Raden Bondan Kejawen berputra Ki Ageng Getas Pandawa.


3. Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela.


Beliau adalah guru Mas Karebet, Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Ajarannya yaitu Pepali Ki Ageng Sela atau Serat Pepali yang berisi ajaran budi pekerti luhur. Pusakanya adalah Bendhe Ki Becak. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1584 Adipati Sutawijaya menggeser kekuasaan Pajang beralih ke Mataram. Ki Ageng Sela yang dianggap sebagai nenek moyang Dinasti Mataram mengungkapkan prinsip etis. 


Salah satu warisan Ki Ageng Tarub adalah tradisi memasang tarub pada saat perhelatan pernikahan orang Jawa. Tarub dapat berarti atap yang tersusun dari bleketepe. Bleketepe berasal dari kata ketepe yang berarti anyaman daun kelapa satu tangkai. Ketepe ditata mengelilingi rumah secara penuh atau dalam bahasa Jawa di’blek’, kemudian disebut bleketepe. Jadi tarub adalah bleketepe yang ditata dan disusun secara beraturan utamanya dipakai sebagai atap, dan juga dipakai sebagai pagar maupun dinding pembatas.


Adat istiadat Karaton Surakarta, tradisi pasang Tarub ini dilakukan untuk menghormati, meneladani, sekaligus melestarikan apa yang pernah dilakukan oleh salah satu leluhur karaton jaman dahulu, yakni Ki Ageng Tarub, ketika ingin menikahkan puterinya. Menyadari rumah beliau yang kecil, maka beliau membuat bleketepe kemudian disusun dan ditata sedemikian rupa dipasang di sekeliling atap rumah dan juga dijadikan pagar.


Rumah Ki Ageng Tarub yang tadinya kecil kemudian kelihatan menjadi lebih luas karena tambahan atapnya, sekalgus kelihatan lebih indah sehingga menjadi wahanan untuk menghormati para tamu. Hal inilah yang secara turun-temurun dilestarikan. Jadi makna dari tradisi pasang tarub ini pertama, tarub yang dipasang sebagai atap atau tambahan atap di depan rumah sebagai tanda penghormatan sekaligus penanda tempat duduknya para tamu. Kedua, tarub yang dipasang di belakang rumah (biasanya untuk perluasan area memasak) merupakan penanda bahwa pemangku hajat secara atika memenuhi kewajiban dalam menjamu tamu.


Tekad suci menjadi modal utama membangun rumah tang-ga. Orang menikah harus mempelajari seluk beluk kepribadian. Garwa berarti sigaraning nyawa, berarti belahan jiwa yang saling melengkapi. Nilai etis filosofis tata cara pernikahan Jawi baik kiranya sebagai bahan refleksi. Butir-butir kearifan lokal yang tak pernah lekang oleh segala perubahan jaman. Ajaran simbolis dalam Babad Ila-ila dapat digunakan sebagai kaca benggala buat para mempelai yang mengawali hidup baru. 


Dhandhanggula 


Pepaliku ajinen mbrekati, 

tur Selamet sarta kuwarasan, 

pepali iku mangkene: 

aja agawe angkuh, 

aja ladak lan aja jail, 

aja ati serakah, 

lan aja celimut, 

lan aja mburu aleman, 

aja lada wong ladak pan gelis mati, 

lan aja ati ngiwa.


Padha sira titirua kaki, 

jalma patrap iku kasihana, 

iku arahen sawabe, 

ambrekati wong iku, 

nora kena sira wadani, 

tiniru iku kena, 

pambegane alus, 

yen angucap ngarah-arah, 

yen alungguh nora pegat ngati-ati, 

nora gelem gumampang.


Sapa sapa wong kang gawe becik, 

nora wurung mbenjang manggih arja, 

tekeng saturun-turune, 

yen sira dadi agung, 

amarintah marang wong cilik, 

aja sedaya-daya, 

mundhak ora tulus, 

nggonmu dadi pangauban, 

aja nacah, marentaha kang patitis, 

nganggoa tepa-tepa.



Terjemahan:


Pepaliku hargailah supaya memberkahi, 

lagi pula selamat, serta sehat, 

pepali itu seperti berikut: 

jangan berbuat angkuh, 

jangan bengis dan jangan jahil 

jangan hati serakah, 

dan jangan panjang tangan, 

jangan memburu pujian, 

jangan mangku orang angkuh lekas mati, 

dan jangan cenderung kekiri.


Hendaklah meniru kaki, 

janma susila, itu sayangilah, 

caharilah sawabnya ! 

memberi berkah orang itu, 

tidak boleh kau mencelanya, 

lebih baik menirunya, 

pendiriannya halus, 

jika mengucap hati-hati, 

jika duduk tiada putus-putusnya berhati-hati, 

tidak suka serampangan 


Barang siapa yang berbuat baik, 

tiada urung kelak menemui bahagia, 

sampai kepada keturunannya, 

jika kamu menjadi orang besar, 

memerintah orang kecil, 

jangan keras keras, 

nantinya tak akan tetap, 

kamu menjadi pelindung, 

jangan sembarangan perintahlah yang tepat, 

pakailah kira-kira


Ki Ageng Sela dianggap leluhur Kraton Mataram yang sakti mandraguna. Masyarakat Jawa percaya bahwa beliau dapat menangkap petir. Para petani merasa terlindungi dari bahaya petir manakala menyebut nama Ki Ageng Sela. Makamnya di Purwodadi Jawa Tengah. Salah satu warisan Ki Ageng Tarub adalah tradisi mema-sang tarub pada saat perhelatan pernikahan orang Jawa. Tarub dapat berarti atap yang tersusun dari bleketepe. Bleketepe berasal dari kata ketepe yang berarti anyaman daun kelapa satu tangkai. Ketepe ditata mengelilingi rumah secara penuh atau dalam bahasa Jawa di’blek’, kemudian disebut bleketepe. Jadi tarub adalah bleketepe yang ditata dan disusun secara beraturan utamanya dipakai sebagai atap, dan juga dipakai sebagai pagar maupun dinding pembatas.


Pada tanggal 12 Desember 2015, tepatnya pada hari Sabtu Kliwon segenap mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta melakukan kunjungan di makam Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Selo di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah. Mereka diasuh oleh dosen pembimbing Ibu Avi Meilawati, MA, yang diterima langsung oleh juru kunci KRT Hastono Hadipuro. Dengan melakukan sarasehan mereka membahas sejarah dan warisan Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Selo. Kegiatan ini sekaligus membuktikan bahwa generasi muda tetap melestarikan sejarah leluhur. 


Pemimpin Kabupaten Grobogan kenal budaya. Ajaran leluhur menjadi bibit kawit cikal bakal peradaban. Demi ibu pertiwi mereka rela berdarma bakti. 


1. Adipati Martapura 1726 – 1746

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Amangkurat Jawi, raja Mataram Kartasura.


2. KRT Suryonegoro 1746 – 1761

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono II, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


3. KRT Kartodirjo 1761 – 1768

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


4. KRT Yudonegoro 1768 – 1775

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


5. KRT Surokerto 1775 – 1787

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono III, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


6. KRT Yudokerto 1787 – 1795

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


7. KRT Sutoyudo 1795 – 1801

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


8. KRT Kartoyudo 1801 – 1815

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


9. KRT Sosronagoro I 1815 – 1840

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


10. KRT Sosronagoro II 1840 – 1864

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono VII, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


11. KRT Martonagoro 1864 – 1875

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


12. KRT Yudohadinagoro 1875 – 1902

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IX, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


13. KRT Haryo Kusumo 1902 – 1908

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


14. KRT Haryo Sunarto 1908 – 1933

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


15. KRT Sukarman Martonagoro 1933 – 1944

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono X, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


16. KRT Sugeng Hadinagoro 1944 – 1946

Dilantik pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono XI, raja kraton Surakarta Hadiningrat.


17. Raden Kaseno 1946 – 1948

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


18. Raden Prawoto Sudibyo 1948 – 1949

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


19. R Subroto 1949 – 1950

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


20. R Sadono 1950 – 1954

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


21. Haji Andi Patokohi 1954 – 1957

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


22. H Abdul Hamid 1957 – 1958

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


23. R Upoyo Prawirodilogo 1958 – 1964

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


24. Supangat 1964 – 1967

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.


25. R Marjaban 1967 – 1970

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


26. R Umar Khasan 1970 – 1974

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


27. Kolonel Soegiri 1974 – 1986

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


28. Kolonel Mulyono 1986 – 1996

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


29. Kolonel Suwito 1996 – 2001

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.


30. Agus Supriyanto, SE 2001 – 2011

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Megawati.


31. Bambang Pudjiyono, SH 2011 – 2016

Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


32. Sri Sumarni 2016 – 2021 

 Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.



Kabupaten Grobogan yang beribukota di Purwodadi sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Leluhur masyarakat Grobogan telah melakukan pembukaan atas peradaban tanah Jawa. 


Semua leluhur raja Jawa berasal dari kabupaten Grobogan, sebagai wilayah yang mendapat julukan panjang punjung pasir wukir. Panjang dawa pocapane, punjung dhuwur kawibawane, pasir samodra wukir gunung. Pratandha yen negara kang ngungkurake pegunungan, nengenaken pasabinan, ngiringaken benawi, mangku bandaran agung.


Ki Ageng Tarub memberi warisan budaya bermutu. Adat Istiadat mantenan gagrag Ki Ageng Tarub diikuti segenap masyarakat di Nusantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.