SEJARAH JAJAN WINGKO BABAT LAMONGAN
SEJARAH JAJAN WINGKO BABAT LAMONGAN.
Oleh Dr Purwadi, M.Hum.
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – LOKANTARA,
Hp. 087864404347
A. Wingko Sebagai Sarana Diplomasi Kenegaraan.
Wingko Babat punya peran dalam melancarkan diplomasi kenegaraan. Asal usul wingko Babat dalam lintasan peradaban, selalu berhubungan dengan nama Lamongan hingga menjadi Kabupaten.
Makna Lamongan yaitu labuh labet marang momongan. Labuh labet berarti memberikan jasa pengabdian lahir batin secara menyeluruh, utuh, tangguh. Momongan berarti tanggung jawab, tugas, asuhan, binaan, pekerjaan, pakaryan, amanah.
Dengan demikian Lamongan memiliki makna memberikan seluruh tenaga, pikiran, waktu, ucapan, perbuatan demi keselamatan, keamanan, kemajuan, keluhuran, keagungan, kemakmuran pada tugas yang diemban. Lamongan juga berarti melaksanakan tugas kenegaraan dengan penuh tanggung jawab.
Nama Lamongan sendiri sebagai bentuk penghormatan kepada Demang Ronggohadi. Atas usul Adipati Ronggolawe, Demang Ronggohadi menjadi pengikut setia Raden Wijaya, pendiri dan raja kraton Majapahit pertama. Sejak tahun 1293 Demang Ronggohadi diangkat menjadi kepala istana kraton Majapahit. Tugas Ronggohadi meliputi urusan protokol, logistik, tata cara upacara kenegaraan Majapahit.
Pada tanggal 15 Sela 1215 Saka atau 10 November 1293 Raden Wijaya dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardana. Upacara penobatan ini diatur dengan rapi. Mulai dari pemilihan busana, jadwal, kepanitiaan, konsumsi, iringan gendhing, sesaji, pusaka, ruangan, dan tamu undangan diperhatikan teliti.
Demang Ronggohadi melaksanakan tugas kenegaraan dengan sempurna. Kejayaan Majapahit yang besar dan harum berkat jasa Ronggohadi. Pengabdian Demang Ronggohadi berlangsung tahun 1293 – 1309, dengan prestasi gemilang dan mengagumkan. Lila lan legawa kanggo mulyane negara. Selama bertugas beliau tak lupa meyakinkan arti penting jajan wingko.
Demang Ronggohadi pensiun dari istana Majapahit tahun 1309. Lantas pulang kampung di daerah Cuncing Sendangrejo Ngumbang. Prabu Jayanagara raja Majapahit, pengganti Raden Wijaya turut mengantar Demang Ronggohadi. Sejak kecil Prabu Joyonagoro diasuh oleh Demang Ronggohadi.
Wajar jika keduanya mempunyai hubungan emosi yang amat dalam. Demang Ronggohadi dianggap sebagai orang tua dan guru oleh Prabu Joyonagoro. Sikap Demang Ronggohadi memang ramah tamah, pemurah, jujur, suka menolong, menghormati pada sesama dan selalu mengutamakan kepentingan orang banyak. Amemangun karyenak tyasing sasama.
Diplomasi kenegaraan pada masa itu dilakukan lewat seni budaya. Termasuk dengan hadirnya wingko Babat.
Keluhuran budi, keteladanan, keutamaan, kebijaksanaan Ronggohadi sangat diperhatikan oleh raja Majapahit. Setelah wafat tahun 1319 namanya diabadikan oleh Prabu Jayanegara. Demang Ronggohadi sudah memberi labuh labet atau pengabdian kepada momongan, yakni Prabu Joyonagoro serta Kerajaan Majapahit.
Adipati Ronggolawe sebagai sahabat akrab mengusulkan Ronggohadi untuk dijadikan nama wilayah dengan sebutan Lamongan. Dalam percakapan informal, beliau menawarkan produk wingko. Agar digunakan untuk suguhan istana.
Prabu Jayanegara menyetujui dan meresmikan nama wilayah Lamongan pada tanggal 26 Mei 1321. Upacara peresmian nama Lamongan dilaksanakan dengan megah mewah indah.
Pesta seni rakyat dan pasar malam diselenggarakan 7 hari lamanya. Warga Lamongan suka parisuka. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama. Nama Demang Ronggohadi sungguh harum dan wangi ke kanan dan ke kiri. Pengusaha wingko pantas mengenang.
Masyarakat menyebut Demang Ronggohadi dengan gelar Ki Ageng Lamongan. Orang kebanyakan cukup menyebut Mbah Lamongan atau Mbah Lamong. Mereka menjadikan Mbah Lamong sebagai pepundhen kang pinundhi pundhi pindha pusaka sakti.
Wilayah Lamongan menjadi daerah pesisir yang strategis dan penting. Pada tahun 1478 Lamongan dibina oleh Kasultanan Demak Bintara. Raja Demak Raden Patah atau Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar Patah Jimbun Sirullah I menunjuk Ronggo Aboe Amin. Keturunan Demang Ronggohadi ini diberi amanah untuk memimpin wilayah Lamongan.
Ronggo Aboe Amin bekerja dengan sepenuh hati. Selama memimpin daerah Lamongan, Demang Ronggo Aboe Amin kerap berkonsultasi kepada Syekh Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu. Beliau adalah orang tua Sunan Giri yang terkenal berilmu tinggi, waskitha ngerti sakdurunge winarah.
Demang Ronggo Aboe Amin sangat menghormati leluhur. Mendhem jero mikul dhuwur kepada orang mulia. Tiap malam Jumah Legi Demang Ronggo Aboe Amin sering tirakatan di makam Dewi Andongsaroli ibunda Patih Gajahmada. Pada malam Slasa Kliwon tirakatan di makam Syekh Hisyamudin. Ilmu iku kelakone kanthi laku. Untuk memperoleh derajad pangkat dan semat, warga Lamongan sering nglakoni dengan lara lapa tapa brata.
Jajan Wingko handalan warga Lamongan. Lebih bergengsi lagi setelah tukoh wanita Lamongan menjadi Permaisuri raja Karaton Surakarta Hadiningrat.
B. Pelopor Jajan Wingko Babat.
Kanjeng Ratu Mas adalah Putri Pangeran Purboyo, Bupati Lamongan. Beliau yang Menurunkan Raja-raja Surakarta. Terkenal sebagai tokoh yang mengangkat wingko sebagai menu kalangan istana.
Lamongan semakin maju, berkembang, makmur dan misuwur. Gedhe obore padhang jagade, dhuwur kukuse, adoh kuncarane, ampuh kawibawane. Pembangunan lahir batin selaras serasi seimbang. Kanjeng Sunan Drajad berhasil membina warga Lamongan.
Mereka memiliki akhlakul karimah dan budi pekerti luhur. Sunan Drajad sebagai anggota wali Sanga ditugaskan oleh Sultan Demak Bintara untuk mendidik mental spiritual rakyat Lamongan. Ajaran Sunan Drajad sebagai bekal untuk mendapatkan drajat pangkat semat.
Sukses gemilang warga Lamongan mendapat dukungan dari kerajaan Pajang. Pada tanggal 10 Dzulhijjah 976 H atau Kamis Pahing 26 Mei 1569 Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya datang ke Lamongan. Beliau melantik Kanjeng Raden Tumenggung Surojoyo sebagai bupati Lamongan. Jajan wingko tersedia berlimpah ruah.
Kanjeng Raden Tumenggung Surojoyo masih keturunan Demang Ronggohadi dari garis ayah. Sedangkan dari garis ibu masih keturunan Adipati Ronggolawe. Dengan demikian posisi Tumenggung Surojoyo cukup kuat, karena trahing kusuma rembesing madu.
Pada masa kerajaan Mataram dipimpin oleh Sinuwun Hadi Prabu Hanyakrawati, Kabupaten Lamongan dipimpin oleh Raden Panji Adipati Keling tahun 1596. Beliau didukung raja Mataram untuk menanam kayu jati di sepanjang lereng gunung Kendheng. Kabupaten Lamongan semakin kaya raya.
Saat Raden Panji Puspakusumo memimpin Kabupaten Lamongan, beliau mendapat kepercayaan untuk memamerkan kuliner. Orang Lamongan diundang oleh Sinuwun Amangkurat Tegal Arum tahun 1651 untuk membuat pecel lele, soto dan wingko babat. Tempatnya di Plered. Raja Mataram sangat suka dengan masakan khas Lamongan.
Raden Panji Surengrono menjabat bupati Lamongan pada tahun 1682. Dilantik oleh Sinuwun Amangkurat Amral, raja Mataram yang beribukota di Kartasura. Hubungan keduanya sangat akrab. Karena Sinuwun Amangkurat Amral atau Sunan Amangkurat Surabaya pada masa kecilnya tinggal di Surabaya.
Namanya Raden Rahmat, cucu Pangeran Pekik Bupati Surabaya. Setelah Raden Rahmat bergelar Sinuwun Amangkurat Amral atau Amangkurat Surabaya, Bupati Lamongan diangkat menjadi komisaris pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Raden Panji Surenggono memang ahli dalam bidang maritim dan pelayaran.
Bupati Lamongan pada masa Raden Panji Dewa Kaloran dibina oleh Sinuwun Amangkurat Jawi. Warga Lamongan yang tinggal di daerah Babad, Bluluk, Brondong, Deket, Glagah, Kalitengah, Kedungpring, Karangbinangun, Karanggeneng, dikirim ke Lasem Rembang. Mereka belajar untuk membuat trasi.
Makanan wingko Babat jadi handalan daerah. Sedangkan warga dari Laren, Maduran, Mantup, Modo, Ngimbang, Paciran, Pucuk, Sambeng, Sarirejo dikirim ke Grobogan Purwodadi untuk belajar industri kecap. Warga dari Sekaran, Solokuro, Sugio, Sukodadi, Sukorame, Tikung, Kembangbaki, Turi dikirim ke Jepara untuk belajar ukir-ukiran.
Kabupaten Lamongan sejak tahun 1713 dipimpin oleh Kanjeng Raden Adipati Condrokusumo. Pada masa ini wingko Babat jadi makanan primadona. Beliau putra kedua Kanjeng Sinuwun Paku Buwono I, raja Mataram Kartasura. Ibunya bernama Kanjeng Ratu Mas Balitar, putri Bupati Madiun. Sebelum menjadi Bupati Lamongan nama Adipati Condrokusumo adalah Pangeran Purboyo. Putri Adipati Condrokusumo ini bernama Kanjeng Ratu Mas. Bintang Kabupaten Lamongan ini sungguh cantik jelita, mustikane putri tetunggule widodari.
Putra Sinuwun Amangkurat Jawi, yang lahir dari garwa prameswari bernama Gusti Pangeran Probosuyoso. Kelak beliau bergelar Sinuwun Paku Buwono II. Beliau menikah dengan Kanjeng Ratu Mas, putri Adipati Condrokusumo atau Pangeran Purboyo, Bupati Lamongan. Pernikahan Sinuwun Paku Buwono II dengan Kanjeng Ratu Mas merupakan usaha kumpule balung pisah.
Wingko Babat menjadi suguhan elet. Kanjeng Ratu Mas, putri Bupati Lamongan menjadi permaisuri Kanjeng Sinuwun Paku Buwono II. Kedudukan sosial yang amat tinggi. Dari rahim permaisuri nanti yang berhak untuk menduduki tahta kerajaan Mataram. Sinuwun Paku Buwono II memerintah tahun 1726 – 1749. Tahun 1745 ibukota Mataram pindah dari Kartasura ke Surakarta. Biaya pindahan ibukota banyak disokong oleh Bupati Lamongan. Kanjeng Ratu Mas juga komisaris utama pelabuhan, Tanjung Emas, Tanjung Kodok dan Tanjung Perak.
Dari pernikahan Kanjeng Ratu Mas Lamongan dengan Sinuwun Paku Buwono II lahir Gusti Raden Mas Suryadi. Kelak Raden Mas Suryadi bergelar Kanjeng Sinuwun Paku Buwono III yang memerintah karaton Surakarta Hadiningrat tahun 1749 – 1788. Beliau adalah raja gung binathara mbahu dhendha nyakrawati, ber budi bawa laksana, ambeg adil paramarta, memayu hayuning bawana.
Putra Lamongan menjadi bintang peradaban. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas. Namanya agung, anggun, harum dan luhur. Sinuwun Paku Buwono III ini tampil sebagai Bapak Perdamaian Mataram. Beliau raja yang suka damai. Pada tanggal 13 Februari 1755 beliau menandatangani Perjanjian Giyanti, yang melegalkan berdirinya kraton Yogyakarta.
Pada tanggal 17 Maret 1757 beliau menandatangani Perjanjian Salatiga yang melegalkan Pura Mangkunegaran. Suguhan wingko Babat menyertai pertemuan. Keturunan Lamongan menjadi pelopor perdamaian dunia. Mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi.
Turun temurun nak tumanak putra wayah Kanjeng Ratu Mas dari kabupaten Lamongan selalu bertahta di kraton Surakarta Hadiningrat. Sinuwun Paku Buwono III – Sinuwun Paku Buwono XIII adalah keturunan Bupati Lamongan.
Sudah sewajarnya bila sekarang banyak warga Lamongan yang sadar sejarah. Mereka mengabdi kepada kraton Surakarta dengan sukarela dan sepenuh hati. Tugas kultural ini sangat mulia. Jasmerah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Kraton Surakarta adalah warisan pusaka warga Lamongan.
Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX dibangun rel kereta api yang melintasi kabupaten Lamongan. Peresmian stasiun Lamongan pada tanggal 1 Maret 1891.
Transportasi massal aman nyaman pun berjalan lancar. Lantas disusul dengan pembangunan rel kereta api dan stasiun Bluluk, Ngimbang, Kedungpring, Kambangan, Babat. Penduduk Lamongan yang berusaha dalam jajanan wingko Babat semakin jaya berbahagia. Makmur murah sandang pangan papan.
C. Menejemen Marketing Wingko Babat.
Pemasaran Wingko Babat dilakukan secara mandiri.
Para Bupati Lamongan membuat suasana kondusif. Wingko yang genghiasi peradaban dunia kuliner Lamongan.
1. Adipati Surajaya I 1569 – 1580. Dilantik pada masa pemerintahan Jaka Tingkir, raja Kraton Pajang.
2. Adipati Surajaya II 1580 – 1596. Dilantik pada masa pemerintahan Jaka Tingkir, raja Kraton Pajang.
3. Adipati Joyonagoro atau Panji Keling 1596 – 1609. Dilantik pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, raja Kraton Mataram.
4. Adipati Joyodirono 1609 – 1617. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Hadi Hanyakrawati, raja Kraton Mataram.
5. Adipati Panji Puspokusumo I 1617 – 1637. Dilantik pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja Kraton Mataram.
6. Adipati Panji Puspokusumo II 1637 – 1672. Dilantik pada masa pemerintahan Sultan Agung, raja Kraton Mataram.
7. Adipati Harjonagoro atau Panji Surengrono1672 – 1693. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum, raja Kraton Mataram.
8. Adipati Purbonagoro 1693 – 1705. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Amral, raja Kraton Mataram.
9. Adipati Condrokusumo I 1705 – 1724. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Emas, raja Kraton Mataram.
10. Adipati Condrokusumo II atau Panji Dewa Kaloran 1724 – 1750. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Amangkurat Jawi, raja Kraton Mataram.
11. Adipati Condrokusumo III 1750 – 1769. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
12. Adipati Mangunnagoro 1769 – 1802. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
13. Adipati Surengrono 1802 – 1822. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
14. Adipati Tojoyo 1822 – 1837. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono V, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
15. Adipati Onggoboyo 1837 – 1856. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
16. Adipati Kartonagoro 1856 – 1864. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
17. Adipati Wongsonagoro 1864 – 1870. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
18. Adipati Citrosono 1870 – 1887. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
19. Adipati Joyodirjo 1887 – 1890. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
20. Adipati Sosronagoro 1890– 1892. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
21. Adipati Joyohadinagoro 1892 – 1908. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
22. Adipati Cokronagoro 1908 – 1937. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
23. Adipati Cokrosudirjo 1937 – 1945. Dilantik pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, raja Kraton Surakarta Hadiningrat.
24. Sukadji 1945 – 1950. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
25. Abdul Hamid 1950 – 1960. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
26. Waskitho 1960 – 1963. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
27. Soepardan 1963 – 1965. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
28. Ali Afandi 1965 – 1967. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
29. Ismail 1967 – 1968. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
30. Soeparngadi 1968 – 1969. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
31. Kol Chasinoe 1969 – 1979. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
32. Kol Sutrisno Sudirjo 1979 – 1984. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
33. Dr. Moch Syafii Asy’ari 1984 – 1989. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
34. Moch Faried, SH 1989 – 1999. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
35. Agus Syamsudin, SH 1999 – 2000. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie.
36. Masfuk, SH 2000 – 2010. Dilantik pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
37. Fadeli, SH 2010 – 2020. Dilantik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko widodo.
Dhandhanggula Boyong Kedhaton
Wanakarta dadya sepen sepi.
Putra wayah buyut canggah nata.
Wareng tumresat padhane.
Kasapta drastha ratu.
Tarah kaping runawa ugi.
dalasan pra sunindra.
Habdining sang prabu.
kalebet para nayaka.
Sapangandhap lawan kawula sanagri.
Gumregut bawa praja.
Kyai pangulu miwah para ketip.
Alim kaji pra abdi ngulama.
Samya hunjuk pepujine.
Kang badhe tampi dhawuh.
Hanancepken waringin kalih.
Hing lun-alun utara.
Pringgoloyo tuhu.
Miwah patih Sindureja.
Waringin kidul dening Bekel mancanegari.
Toyomas Ponorogo.
Nata lenggah hing bangsal pangrawit.
Para opsir kalawan kumendan.
Samya ngadeg neng kirine.
Bangsal lenggahan prabu.
Pra prajurit banjeng habaris.
Wong manca miwah Jawa.
Haneng alun-alun.
Sri Narindra lon ngandika.
Dhusun Sala hingalih nama Nagari.
Surakarta Diningrat.
Sigra jengkar saking Kartawarni.
Ngalih kadhaton mring dhusun Sala.
Kebut sawadya balane.
Busekan sapraja gung.
Pinengetan hangkate huni.
Hanuju hari Buda.
henjing wancinipun.
Wimbaning lek ping Sapta Wlas.
Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi.
Hing Nata kang sangkala.
Kutipan dhandhanggula di atas melukiskan perpindahan ibukota Mataram dari Kartasura ke Surakarta. Proses perpindahan ini digagas oleh Gusti Kanjeng Ratu Emas, permaisuri Sinuwun Paku Buwono II. Wingko Babat dijadikan menu utama.
Gusti Kanjeng Ratu Emas adalah putri Bupati Lamongan. Saat perpindahan itu para pejabat kabupaten Lamongan diundang untuk melakukan penelitian, pengkajian, dan pelaksanaan pembangunan istana. Bahkan Pangeran Purboyo Bupati Lamongan memberi sumbangan yang berupa kayu jati, semen, minyak tanah dan batu marmer.
Hubungan kabupaten Lamongan dengan kraton Surakarta Hadiningrat memang selalu harmonis berdasarkan trah geneologis. Itulah fakta historis yang diperingati generasi muda. Segenap sentana dan abdi dalem Kraton Surakarta Hadiningrat. Pesta kerajaan selalu mengikutkan warga Lamongan. Terutama untuk urusan kuliner.
Peristiwa sejarah ini terjadi pada masa Paku Buwana II.
Dipilihnya desa Sala sebagai tempat pembangunan istana sudah melampaui hitungan yang matang. Para sesepuh diajak musyawarah. Maka kraton tetap lestari sampai sekarang. sewajarnya peristiwa historis besar ini menjadi kebanggaan bagi masyarakat Lamongan.
Wingko menjadi alat diplomasi. Ragam makanan tradisional menyebar ke segala penjuru. Kabupaten semakin arum kuncara ing saindhenging jagad raya.
Komentar
Posting Komentar