RITUAL JUMATAN RAJA SURAKARTA DI MASJID AGUNG DITINJAU DARI SEGI FILSAFAT TEOLOGIS
RITUAL JUMATAN RAJA SURAKARTA DI MASJID AGUNG DITINJAU DARI SEGI FILSAFAT TEOLOGIS
Purwadi,
Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tradisi ritual Jumatan yang terjadi di lingkungan Kraton Surakarta Hadiningrat. Ritual shalat Jumat wajib dilakukan oleh Raja Surakarta. Sri Susuhunan Paku Buwana XIV mengikuti ritual shalat Jumat selama tujuh kali. Bersama dengan abdi dalem ritual shalat Jumat dilaksanakan di Masjid Agung Kraton Surakarta. Data lapangan ini ditinjau dengan metode kefilsafatan. Pemahaman secara filosofis atas fenomena budaya dianalisis secara menyeluruh. Teori budaya digunakan untuk memperoleh pengertian mendalam atas ritual shalat Jumat. Hasil yang diharapkan dari pembahasan artikel ini terkait dengan usaha untuk menggali kearifan lokal. Penerapan etika tradisional yang bersumber dari tata cara adat Kraton Surakarta bisa digunakan untuk panduan kepemimpinan era mutakhir. Kesinambungan tradisi lokal nasional dan global menghasilkan tata kehidupan yang aman damai dan harmonis. Metode filsafat teologis dan teori budaya dalam analisis data memberi pencerahan atas fenomena adat di Kraton Surakarta Hadiningrat sebagai pusat budaya Jawa.
Kata kunci: Ritual, Jumatan, Masjid Agung
A.
Pengantar
Ajaran agama diperoleh Raja Surakarta ketika khotib sedang memberi ceramah. Pola kepemimpinan Kraton Surakarta dengan demikian berpangkal dari nilai keagamaan. Butir butir religius diresapi buat bekal kepemimpinan Raja Surakarta yang baru saja dinobatkan. Pembekalan tentang nilai spiritual begitu penting bagi seorang raja.
Masyarakat adat dengan begitu mendapat pencerahan dari prosesi Jumatan. Suri teladan dari kepemimpinan Kraton Surakarta ini tetap relevan sepanjang masa. Kepemimpinan kultural bisa diterapkan seiring dengan berbagai perkembangan teknologi di era digital dewasa ini. Keprihatinan ini sempat diungkapkan oleh Bhakta (2017) yang menyarankan agar generasi muda selalu dibina. Pendidikan karakter dengan demikian dianggap sangat penting bagi masyarakat.
Gagasan untuk mengkaji ritual Jumatan ini sungguh relevan bila dikaitkan dengan nilai kearifan lokal. Koentjaraningrat (1984) menjelaskan ritual Jawa sebagai bentuk peradaban. Melalui media pewayangan gagasan itu terpublikasikan lebih luas. Usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan terus menerus mengkaji dan melestarikan budaya.
B. Metode dan Landasan Teori
Kegiatan penelitian ini hendak menjelaskan ritual shalat Jumat Paku Buwana XIV di Masjid Agung Surakarta. Filsafat teologis digunakan sebagai metode untuk pembahasan data. Teori budaya digunakan untuk menganalisis data lapangan. Raja Surakarta setelah dinobatkan wajib melakukan shalat Jumat selama tujuh kali berturut turut. Abdullah Ciptoprawiro (1986) mengulas sistem filsafat Jawa yang dihubungkan dengan aktivitas religius orang Jawa. Tempatnya di Masjid Agung Karaton Surakarta Hadiningrat.
Abdi dalem dan sentana
Kraton Surakarta bersungguh sungguh dalam upacara ritual. Dari perspektif Ketuhanan atau teologis merupakan bentuk kesadaran transendental. Pemimpin memberi suri teladan tentang aspek ketakwaan. Bersama dengan para abdi pimpinan Kraton Surakarta mewujudkan praktek religius. Teologi kejawen beriringan dengan paham keagamaan. Dengan metode kefilsafatan teologis dan analisis teoritis budaya penerapan keyakinan dilandasi pemikiran plural. Paham keagamaan berjalan beriringan dengan unsur kebudayaan. Hasil analisis data diharapkan tumbuh sikap terpuji dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Landasan teori budaya religius itu memungkinkan analisis data dapat dilakukan dengan tepat dan utuh. Dengan tafsir hermeneutik Sumaryono (2001) menjelaskan fenomena budaya sedangkan Damardjati Supadjar (2001) mengajarkan supaya tiap tiap orang hendaknya mau mawas diri.
Dengan penggunaan metode yang tepat diharapkan terwujud sebuah harmoni. Maka keselarasan sosial diwujudkan dengan basis toleransi atas keberagaman. Untuk memahami itu diperlukan adanya pengetahuan tentang ritual Jumatan di Masjid Agung yang dilandasi dengan konsep filsafat budaya. Kraton Surakarta yang memiliki aneka ritual itu jelas berkontribusi buat anggunnya anyaman peradaban.
C. Hasil Pembahasan
Analisis terhadap data penelitian dilakukan dengan pendekatan filsafat teologis. Solichin dkk (2021) dengan tepat mengulas hubungan budaya dengan agama. Pembahasan diharapkan menghasilkan endapan pemikiran yang berguna untuk memahami fenomena budaya. Komunitas adat telah menyediakan kearifan lokal yang jelas.
1.
Keutamaan Ritual Adat
Adat istiadat terkait dengan penobatan raja selalu dengan tata cara. Aktivitas kultural ini berhubungan dengan paugeran atau hukum adat.
Penobatan KGPH Hangabehi sebagai Raja Kraton Surakarta terjadi pada hari Kamis Wage, 13 Nopember 2025. Prosesi adat dilanjutkan dengan ritual shalat Jumat di Masjid Agung Kraton Surakarta Hadiningrat. Acara ritual shalat Jumat ini berlangsung selama tujuh kali secara berturut turut.
Catatan kultural itu terjadi pada tanggal 12 Desember 2025. Sunan Paku Buwana XIV tedhak ing Masjid Agung Kraton Surakarta. Dzikir dan Yasinan mapan ing Kraton Surakarta.
Pengageng Sasana Wilapa punya tradisi yang wajib dilakukan. Lembaga Dewan Adat ini dipimpin GKR Wandannsari atau Gusti Mung. Berlangsung terus menerus.
Pengageng Kraton Surakarta lan abdi dalem sami ngrampungi wajib. Gusti Mung ngadani dzikir lan Yasinan rutin tiap malem Jumat di Kraton Surakarta. Bertempat di Bangsal Smarakata, kegiatan religius dilakukan pada tanggal 11 Desember 2025. Pengageng sentana dan abdi dalem lenggah saluku tunggal. Kegiatan dzikir tahlil di Kraton Surakarta bini merupakan bentuk konvergensi antara kelompok dan aliran.
Priyayi dan santri sebetulnya identitas yang bisa saling melengkapi. Maka kalangan istana Jawa berusaha untuk melakukan aktivitas syariat. Kraton Surakarta tidak mengenal paham sekuler. Arab digarap, Jawa digawa. Syariat yang dekat dengan santri tumbuh subur bagi ritual para bangsawan. Retnowati (2020) menjelaskan tata cara untuk memperoleh kesadaran yang baik. Dikotomi priyayi dan santri lantas menjadi harmonis. Kraton Surakarta mendukung proses sambang sambung sawang srawung.
Abangan dan religi merupakan identitas kultural. Para pengikut kejawen kerap kali dikatakan kurang peduli dengan aktivitas religius. Ternyata Kraton Surakarta menjadi media yang ampuh buat keselarasan sosial. Kraton Surakarta mewujudkan tatanan yang selaras serasi seimbang.
Toleransi dan Pluralisme menjadi kebutuhan dasar. Maka peserta tahlil dzikir berasal dari beragam kalangan. Keyakinan yang berlainan dapat duduk lesehan berdampingan. Doa bersama tanpa harus satu keyakinan. Kraton Surakarta menjunjung tinggi pluralisme yang memuat prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Kawula dan Gusti terbukti bisa menyatu dengan nyata. Maka manunggaling kawula gusti tercipta kesetaraan yang tepat bermanfaat. Kawula punya hak dan kewajiban. Demikian pula Gusti sebagai akronim baguse ati. Punya hak kewajiban yang penting. Kraton Surakarta mendukung prinsip kebersamaan keterbukaan dan kemitraan. Sutiyono (2023) menguraikan aspek budaya yang berguna untuk membangun kepribadian.
Kebangsaan dan tradis ternyata bisa berjalan beriringan.
Pembinaan kebangsaan demi merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Identitas lokal demi memperkokoh kepribadian nasional. Surakarta memberi kontribusi buat pembinaan nilai kebangsaan dan nasionalisme. Dari Surakarta untuk Indonesia dan dunia. Memayu hayuning bawana. Paku Buwana XIV menjalankan tugas adat warisan leluhur.
2.
Refleksi Hakikat Spiritual
Perjalanan historis masyarakat Jawa penuh dengan refleksi spiritual. Hakikat hidup dijalani dengan renungan yang mendalam. Tujuan hidup dirumuskan dengan penalaran yang cukup baik. Arah kehidupan juga diberi landasan spiritual yang memadai. Orang jangan sampai terjerumus pada kehidupan yang nista dan rendah. Endang Daruni (2004) mengulas budaya yang berhubungan dengan moral Pancasila. Maka kutipan syair dari tembang dhandhanggula tersebut perlu dikaji dengan teliti.
Dugi wanci hari Rebo Legi,
Tinanggalan Desember sedasa,
Nuju genep tahun slawe,
Mawi sengkalanipun,
Titi paksi mendra suwiwi,
Pengetan tata cara,
Dinten patang puluh,
Surud dalem Sri Narendra,
Kanjeng Paku Buwana Telulas nguni,
Wusnya manjing suwarga.
Makna tembang dhandhanggula tersebut terkait dengan aspek historis. Masa sekarang merupakan kelanjutan masa lalu. Masa depan merupakan sambungan dari perjuangan masa kini. Sadar historis menjadikan orang makin bijaksana. Pelajaran diperoleh dari pengalaman. Putro dkk (2021) menerangkan literasi Jawa sebagai alat untuk membina budi pekerti. Kraton Surakarta menyimpan dokumentasi historis lewat sastra babad. Maka tembang pangkur ini memuat aspek kepemimpinan Kraton Surakarta yang berkelanjutan terus.
Mangke nata Surakarta,
Nuli nglungsur keprabon Hangabehi,
Sampun lenggah dhampar ratu,
Sinengkuyung sentana,
Abdi dalem sangkaning sajuru juru,
Kersane Lembaga Adat,
Ndherek Gusti Wandansari.
Makna tembang pangkur tersebut terkait dengan usaha untuk membimbing anak muda. Senior menuntun yunior. Oleh karena Kraton Surakarta makin tersohor. Raja Surakarta mau magang kerja. Sistem belajar yang aktif dan partisipatif. Penggunaan metode pembelajaran yang bisa digunakan sebagai bahan percontohan. Maka kutipan tembang pucung ini sarat makna tentang pendidikan dasar.
Amituhu abdi sentana bebantu,
Kraton Surakarta,
Ngayahi pakaryan nagri,
Sung sesumbang weh pepadhang jagad terang.
Makna tembang pucung tersebut terkait dengan usaha untuk menerangi dunia. Dengan ilmu dunia makin cerah. Panani (2019) membahas sumber ajaran utama bagi orang Jawa. Dengan agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup terasa lebih indah. Maka kutipan tembang gambuh berikut seolah olah dunia makin serah ceria.
Ngudi ngelmi sesurup,
Surakarta tambah moncer murup,
Urup urip pasuwitan karep karip,
Sentana wengku winengku,
Abdi dalem momong momot.
Makna tembang gambuh tersebut terkait dengan kelapangan dada. Orang sabar pasti subur. Orang goroh pasti growah. Hukum sebab akibat terjadi nyata. Orang mesti mau toleransi terhadap segala keragaman. Jiwa selalu akomodatif dan persuasif. Maka kutipan tembang kinanthi ini mengajari untuk selalu berjiwa besar.
Wilujengan gya lumaku,
Ulama ndonga mastuti,
Ing Sasana Handrawina,
Tahlil tahmid takbir dikir,
Mbrengengeng kadya bremara,
Puji sumundhul wiyati.
Makna tembang kinanthi di atas terkait dengan usaha untuk persiapan hari esok. Ibarat orang bepergian jauh tentu jelas yang dituju. Bekal harus tersedia cukup. Rute perjalanan harus tepat. Jangan sampai terjadi mara bahaya. Kutipan tembang mijl ini bisa dijadikan sebagai bahan pemikiran.
Sekar kenanga mawar melathi,
Ganda arum mawor,
Dupa kumelun kukusing gedhe,
Lumampah lelungit nujweng langit,
Wungu wangi wingit,
Unggul kabul punjul.
Makna tembang mijil itu terkait dengan munculnya tekat yang menyala. Semangat berjuang disertai dengan renungan yang matang. Budi pekerti melandasi tiap perbuatan. Lahirnya cita cita mulia berkat refleksi kefilsafatan. Dengan demikian kutipan tembang asmarandana ini memberi kesadaran tentang kehalusan hati.
Nata ber bandhu ber budi,
Sunan Kaping Kawan Welas,
Asih dasih esuk sore,
Grapyak penak jenak enak,
Tuna santak bathi sanak,
Sambang sambung sawang srawung,
Tulung tinulung bebrayan.
Makna tembang asmarandana ini terkait dengan aspek belas kasih dalam dunia pendidikan. Supana dkk (2021) mengajarkan pendidikan karakter dari keterangan pujangga Kraton Surakarta. Refleksi atas karya pujangga dilakukan oleh orang Jawa lewat media macapat. Penerapan melalui tekat setia yang berati loyalitas. Saraya berarti mau memberi uluran tangan dan bantuan. Rumeksa berarti partisipasi dalam pelestarian. Kutipan tembang sinom ini memuat pemikiran tentang kerelaan.
Myang Lembaga Dewan Adat,
Warga Pakasa ngleluri,
Setya saraya rumeksa,
Bekti mring ibu pertiwi,
Pinandhegan narpati,
Ngestupada pra leluhur,
Baraya Mataram,
Mulang muruk milang miling,
Surakarta angrenggani jagad raya.
Makna tembang sinom terkait dengan pembinaan mental spiritual generasi muda. Pendidikan yang berbobot tentu berpengaruh pada jiwa generasi penerus. Kewajiban orang tua untuk menjamin mutu pendidikan. Materi pembelajaran terus didorong agar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Waktu tenaga dan pikiran mesti dihitung cermat. Tembang megatruh ini memberi kesadaran tentang aspek kemanunggalan.
Tanggap tangguh ampuh sabarang ginayuh,
Kinarya tepa palupi,
Surakarta ngarah ngayun,
Kayungyun yasa utami,
Piwulang saking kedhaton.
Makna tembang megatruh terkait dengan usaha yang menyatu. Yakni kesatuan antara lahir batin awal akhir jiwa raga. Sutiyono (2023) menganjurkan seseorang untuk tetap memiliki poros budaya sebagai bentuk dari kearifan lokal. Manusia seutuhnya terjadi manakala hidupnya seimbang. Sadar bahwa perlu adanya keselarasan dalam menempuh proses perjuangan. Tembang maskumambang memberi harapan atas masa depan.
Gya lumaris pertitis darah Mentawis,
Surakarta Hadiningrat,
Rahayu bagya lestari,
Dunya dumugi delahan.
Makna tembang maskumambang itu terkait dengan aspek kebahagiaan. Perjuangan yang betul mendapat hasil maksimal. Wasino dkk (2021) telah menjelaskan kehidupan rakyat kecil berdasarkan karya pujangga. Keuntungan hidup dunia dan akhirat diperoleh dengan perjuangan maksimal. Maka tembang durma berikut memberi motifasi agar sukses gemilang berada di tangan.
Cancut taliwanda lega suka lila,
Surakarta cecawis,
Sumedya panjangka,
Abdi dalem jumangkah,
Pakarti pakerti pekerti,
Sagung Sentana,
Pangarsa nitik becik.
Makna tembang durma itu terkait dengan tekat kuat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Masjid Agung Karaton Surakarta dibangun oleh Paku Buwana III. Raja Surakarta selalu mau melaksanakan shalat selama 7 kali berturut- turut. Para abdi dalem sama kersa ndherek ngibadah secara berjamaah. Demi nggayuh kamulyan jagad sakalir. Kesadaran sosial yang dilakukan Raja Surakarta dengan ritual Jumatan bersifat religius.
3.
Kesadaran Sosial Religius
Masyarakat Jawa memiliki tata cara yang beraneka ragam. Kehidupan sehari hari selalu disertai dengan sistem religius yang tinggi. Abdullah Ciptoprawiro (1986) mengulas cara berpikir kefilsafatan orang Jawa. Dari keterangan ini lantas dihubungkan dengan kepercayaan. Kutipan tembang dhandhanggula berikut merupakan usaha untuk mengembangkan kualitas kehidupan.
Paguyuban Pasinaon ngudi,
Pambiwara Marcukundha samya,
Sigra sigrak gya suwiteng,
Surakarta Kedhatun,
Nguri uri budaya adi,
Luhung ing kesenian,
Mrih kuncara arum,
Saindhenging jagad raya,
Pinersudi angrembaka edi peni,
Angrengga nuswantara.
Arti tembang dhandhanggula tersebut berhubungan dengan usaha untuk memperkokoh jatidiri. Kajian atas sastra bahasa seni budaya dilakukan terus menerus. Abdi dalem Surakarta menggunakan lembaga pengajaran sebagai sarana meningkatkan kualitas diri. Ritual shalat Jumat bagi Raja Surakarta tentu menambah bobot kepribadian. Retnowati (2020) mengulas arti penting literasi Jawa buat membina budi pekerti. Identitas kelompok dipahami sebagai bentuk interaksi sosial yang penuh berkah. Kutipan tembang pangkur berikut jelas berguna untuk meningkatkan bobot kepemimpinan Raja Surakarta.
Mekar Sanggar Pawiyatan,
Siyang ratri siswa siswi memetri,
Gumregah greget gumregut,
Sinau paripurna,
Tekan tekun trus kayungyun barang kayun,
Pepoyaning kautaman,
Pinter bener wignya wasis.
Arti tembang pangkur di atas berhubungan dengan usaha mencari ilmu. Raja Surakarta gemar menulis sastra piwulang. Literasi klasik disalin. Tiap waktu diadakan diskusi tembang macapat. Makna simbolik diulas secara denotatif dan konotatif. Dengan harapan pengetahuan makin sistematis integral dan komprehensif. Barangkali kutipan tembang pucung berikut masih relevan dengan proses belajar mengajar.
Wus ginayuh ngelmu Jawi barang kawruh,
Ing Pasipamarta,
Mbudidaya gelis wasis,
Mbabar blajar nuli piguna kawentar.
Arti tembang pucung tersebut berhubungan dengan aktivitas belajar mengajar. Kraton Surakarta memiliki lembaga pengajaran guna memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai. Dalam ritual shalat Jumat Raja Surakarta mendapat ilmu agama. Lewat khutbah Jumat Raja Surakarta yang baru saja bertahta perlu bimbingan dari ulama. Wejangan khotib berisi tentang keshalehan sosial. Kepemimpinan yang berdasarkan ajaran agama bisa membawa berkah. Panani (2019) mengulas sastra piwulang ciptaan Raja Surakarta. Dengan demikian penerapan kepemimpinan Kraton Surakarta bersifat religius. Kutipan tembang gambuh di bawah ini kelas terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Bahu suku panemu,
Kang lumaku dwija ngarah maju,
Basa sastra adi luhung edi peni,
Tata busana binesus,
Anut paugeran Kraton.
Arti dari tembang gambuh itu berhubungan dengan usaha untuk pergaulan. Tata pergaulan dilandasi sikap saling menghormati. Bawahan hormat pada atasan. Anak hormat pada orang tua. Adik hormat pada kakak. Interaksi sosial antar abdi dalem berlangsung harmonis. Hubungan sosial dalam istana Jawa berlandaskan etika. Hukum moral dijunjung tinggi. Harmoni sangat diutamakan. Istanto (2018) menjelaskan fakta simbolik yang terdapat dalam ornamen Candi Jawa. Pengenalan pemahaman dan pergaulan diatur sebaik baiknya. Kutipan tembang kinanthi berikut ini merupakan modal interaksi sosial.
Ketrampilan kagem sangu,
Leladi dhateng sesami,
Minangka pranatacara,
Juru paes mitayani,
Pra warga Pasipamarta,
Pakaryan purna den ayahi.
Arti tembang kinanthi tersebut berhubungan dengan bekal hidup. Sebaiknya masa depan ditata dengan saksama. Segala langkah perlu hati hati. Paku Buwana IV dalam serat wulangreh mengatakan bahwa orang tidak boleh sombong. Pelan atau lamban sikap sombong itu bisa bikin jatuh. Tak boleh meremehkan orang lain. Boleh jadi yang direndahkan itu malah lebih baik. Supana dkk (2021) mengulas arti penting literasi yang muncul dari pujangga Kraton Surakarta. Oleh karena itu untuk keluar dari masalah dilukiskan dalam tembang mijil berikut ini.
Saben panggih sagah sugih singgih,
Dhumateng Karaton,
Surakarta Hadiningrat ngronce,
Gawa gawe abdi dalem amastuti,
Tandha darma bakti,
Kabudayan luhur.
Arti tembang mijil tersebut berhubungan dengan usaha untuk mengeluarkan energi. Cita cita sosial agar orang bisa berhasil. Raja Surakarta berpedoman pada kebaikan, maka gagasan luar akan tercapai. Mijil berarti keluar. Dari sini orang bisa keluar atas problem yang muncul. Permasalahan diatasi dengan bijaksana. Dengan kejernihan hati dan kecerdasan pikiran, seseorang dapat mengatasi masalah dengan tuntas. Putro dkk (2021) mengulas bidang religius yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Kutipan tembang durma berikut tanda orang mau bertanggung jawab penuh atas segala pekerjaan.
Patuh taat mring Lembaga Dewan Adat,
Pangayom mitayani,
Sasana Wilapa,
Pangesuh Pambiwara,
Ndhedherek Ratu Wandansari,
Pasipamarta,
Laju laku lestari.
Arti tembang durma tersebut berhubungan dengan usaha untuk maju. Biasanya untuk mencapai kemajuan selalu berhadapan dengan ujian dan cobaan. Panani (2019) mengutip kearifan lokal dalam literasi klasik yang berguna untuk meningkatkan mutu peradaban. Halangan silih berganti. Sikap sabar sangat penting. Tabah dan sabar dalam menghadapi persoalan merupakan kunci sukses. Tembang asmarandana ini memuat pesat tentang kesabaran dalam menghadapi segala ujian.
Titi laras pathet gendhing,
Marsudi Pasipamarta,
Slendro pelog cilik gedhe,
Duk ngrampungi pegaweyan,
Pasamuwan ing bebrayan,
Ngerti petung pakem dunung,
Krana ajar mawi dhasar.
Arti tembang asmarandana tersebut berhubungan dengan aspek kasih sayang. Abdi dalem Kraton Surakarta diharapkan untuk saling mengasihi tolong menolong dan guyub rukun. Kerja sama antar warga memudahkan segala urusan. Retnowati (2021) menjelaskan aspek kearifan lokal dalam membangun mental spiritual. Semangat gotong royong sesuai dengan nilai Pancasila. Kebangsaan sangat diutamakan oleh para kawula. Maka kutipan tembang sinom perlu diperhatikan oleh segenap anak muda.
Kawignyan Pasipamarta,
Micara miraga manis,
Sambung srawung sambang sawang,
Manunggaling pasuwitan,
Laksita sarwi aris,
Sagah saguh turah ampuh,
Ing pahargyan mantenan,
Tanggapane banjur laris,
Pinercaya dening sanak kadang mitra.
Arti tembang sinom tersebut berhubungan dengan usaha pembinaan generasi muda. Sinom bermakna orang muda. Dengan memahami karakter anak muda, maka masa depan bisa ditata lebih baik. Wasino dkk (2021) menekankan aspek humanisme dalam budaya. Pendidikan karakter berguna untuk mengimbangi mental materialistik. Oleh karena itu tembang megatruh di bawah ini jelas merupakan peringatan yang baik dan terarah. Makna megatruh terkait dengan kesatuan ruh dan raga.
Wulang wuruk den gegulang gathuk mathuk,
Reriptan Pujangga Jawi,
Wulangreh lan Sana Sunu,
Wira Iswara Centhini,
Anggitane para Katong.
Arti tembang megatruh di atas berkaitan dengan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Raja Surakarta menciptakan karya sastra sebagai bahan refleksi. Orang Jawa menyebut dengan istilah sastra piwulang. Dalam hal ini Solichin dkk (20021) memberi penjelasan hubungan seni Kraton dengan aspek keagamaan. Metrum yang digunakan melalui tembang macapat. Instrumen untuk melukiskan kesatuan jiwa dan raga. Kutipan tembang maskumambang membuat rasa optimis.
Pasipamarta trus tumangkar pinanggih,
Tambah ber bandhu ber bandha,
Wirya arta mbanyu mili,
Berkah Kraton Surakarta.
Tembang Maskumambang di atas berarti harapan para abdi dalem atas masa depan. Dengan pengabdian sepenuh hati seseorang akan mendapat barokah. Apalagi aura mistis Kraton Surakarta di mata penghayat kejawen bisa mendatangkan suasana ayem tentram. Sutiyono (2023) menjelaskan aspek budaya Jawa dengan persoalan teologi masyarakat. Damardjati Supadjar (2001) mengajarkan sikap mawas diri. Sedangkan Endah Daruni (2004) mengajarkan moral Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masing masing mengacu pada literasi Jawa yang pernah muncul di Kraton Surakarta. Oleh karena itu banyak orang yang melakukan meditasi di sekitar lingkungan istana pada waktu malam hari.
4.
Aktivitas Ritual demi Tertib Sosial
Ulasan mengenai ritual Jumatan telah dilakukan oleh para pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat. Kyai Yasadipura menulis serat Dewaruci yang memuat ajaran mistik sosial. Raden Ngabehi Ranggawarsita menulis serat Pustaka Raja Purwa yang memuat upacara sakral. Pangeran Kusumadilaga menulis tata cara yang berkaitan dengan ritual seni. Damardjati Supadjar (2001) meyakinkan bahwa semua ritual kejawen memiliki makna filosofis.
Adat istiadat ritual yang dilakukan oleh Paku Buwana II terjadi sejak tahun 1745. Berdirinya Kraton Surakarta tak lepas dari adat istiadat yang diwariskan oleh Kraton Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. Tumenggung Hanggawangsa dari Kotawinangun bertugas untuk mendirikan bangunan Kraton Surakarta. Upacara adat dilakukan dengan jangkep genep genap. Sesaji dan japa mantra menyertai. Andi dalem purwa kinanthi mengurus kelancaran ritual yang melibatkan berbagai unsur sosial. Uraian Sorkirman (2013) sesuai dengan gagasan keberagaman orang Jawa rantau. Oleh karena itu Soetrisno (2004) menjelaskan arti penting ritual orang Jawa melalui kidung pakeliran. Nilai etika sosial harus diterapkan seiring dengan estetika Jawa.
Berdirinya Masjid Agung pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III menjadi babak baru. Upacara ritual selalu melibatkan Abdi dalem ulama. Doa dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab berpadu indah selaras serasi seimbang. Raja kerap shalat Jumat bersama jamaah Masjid Agung. Pergaulan menjadi setara dengan tetap menjunjung tinggi nilai etika. Endang Daruni (2004) menekankan arti penting etika Pancasila dalam hidup bermasyarakat dengan latar belakang yang beragam. Dengan begitu Damardjati Supadjar (2001) telah merumuskan tata nilai kebangsaan yang bersumber dari kearifan lokal dengan menekankan sikap introspeksi.
Sejak tahun 1788 Krato Surakarta dipimpin oleh Paku Buwana IV. Ritual kenegaraan dipandu melalui serat Wulangreh. Abdullah Ciptoprawiro (1986) dengan sendirinya telah menjabarkan arti filosofis pentingnya ritual di istana Jawa. Kegiatan Kraton Surakarta penuh dengan perlambang. Sumaryono (2001) menekankan pentingnya tafsir hermeneutik atas fenomena budaya. Kekayaan simbolik ini perlu pemahaman yang serius dari para pengkaji. Ternyata aspek sosial selalu menyertai kegiatan kultural.
Bangga atas tradisi itu yang diteruskan oleh Paku Buwana XIV. Dengan semangat kebersamaan kemitraan keterbukaan itu ritual Jumatan membawa berkah bagi segenap elemen sosial. Partisipasi aktif dari relawan sungguh menawan. Kedatangan para relawan itu tanpa undangan dan bayaran. Dengan begitu ritual Jumatan menjadi lebih mudah murah meriah. Cermin manunggaling kawula gusti. Yakni pemimpin dan rakyat bertekat untuk bersatu padu.
Cemas dan kuatir yang dirasakan oleh Bhakta (2017) memang cukup beralasan. Generasi muda banyak yang melanggar norma sosial, norma adat dan norma negara. Kemerosotan moral terjadi pada banyak kasus dan tempat. Oleh karena itu Panani (2019) mengingatkan pada kesadaran literasi. Tepat sekali anjuran Supana dkk (2021) yang mengkaji nilai luhur kapujanggan. Literasi klasik ciptaan pujangga menjadi alat untuk mempertajam kepekaan sosial.
Narasi tentang arti penting kebudayaan telah dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1984). Faktor ritual mendapat ulasan yang sangat mendalam. Tidak heran bila Paku Buwana V sudah memberi uraian tentang ritual Jumatan. Melalui serat Centhini ritual Jumatan raja Surakarta yang memerintah tahun 1820 - 1823 ini dilakukan dengan rinci. Serat Centhini ini nanti menjadi inspirasi bagi Paku Buwana IX yang memerintah tahun 1861 - 1893 dalam menyusun serat Wira Iswara. Tantangan untuk berbuat kebajikan buat generasi muda yaitu kewajiban untuk meneruskan tradisi warisan para leluhur.
Pemahaman kultural ini didukung penuh oleh segala lapisan sosial. Tidak berlebihan bila Putro (2021) menganjurkan adanya keseimbangan antara agama dan budaya lewat sastra piwulang. Retnowati (2020) lebih rinci mengulas ajaran Paku Buwana IV lewat serat Wulangreh. Ritual Jumatan yang melibatkan peran masyarakat sangat tepat. Kegiatan ritual budaya dan agama berjalan beriringan. Dengan harapan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang guyub rukun aman damai sejahtera.
D.
Penutup
Prosesi penobatan Raja Surakarta dengan menyertakan ritual yang mesti dijalani. Filsafat teologis Jawa tercermin dalam ritual shalat Jumat raja Surakarta. Sunan Paku Buwana XIV melaksanakan shalat Jumat bersama dengan para sentana dan pengageng. Abdi dalem mengikuti sesuai dengan petunjuk, dengan harapan mendapat berkah kehidupan.
Perjalanan ritual shalat Jumat raja Surakarta selama tujuh kali memiliki nilai simbolik. Tujuh berarti bilangan pitu atau pitulungan. Dengan harapan abdi dalem sentana dan warga kerajaan senantiasa mendapat pertolongan. Hidup makmur lahir batin menjadi dambaan. Kebutuhan jasmani rohani tercukupi. Keseimbangan jiwa raga terjadi dengan baik. Kraton Surakarta tetap berguna buat sekalian jagad raya.
Tiap melakukan ritual shalat Jumat ratusan abdi dalem sentana ikut serta. Kejadian ini dinamakan ngalab berkah. Usaha untuk mendapat rahmat dan keberuntungan. Dari perspektif filsafat teologis raja Surakarta berusaha untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Pemimpin Kraton Surakarta dalam literasi tradisional berkewajiban untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan dunia.
Daftar Pustaka
Abdullah Ciptoprawiro. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta. Gramedia.
Bhakta D.K. 2017. Degradation of Moral Values Among Young Generation A Contemporary Issue in India. International Research Journal of Interdisciplinary and Multidisciplinary Studies 3(5) 128 - 133.
Damardjati Supadjar. 2001. Mawas Diri. Yogyakarta. Philosophy Press.
Endang Daruni. 2004. Moral Pancasila. Yogyakarta. Pustaka Raja.
Istanto. 2018. Estetika Hindu pada Perwujudan Ornamen Candi di Jawa. Jurnal Imaji 18(2) 155 - 161.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta. Gramedia.
Panani. 2019. Serat Wulangreh Ajaran Keutamaan Moral Membangun Pekerti Yang Luhur. Jurnal Filsafat 29(2) 275 - 299.
Putro dkk. 2021. Religiusitas Islam dalam Serat Wedhatama Pupuh Gambuh. Jurnal Smart( Studi Masyarakat Religi dan Tradisi) 7(01) 71 - 84.
Retnowati. 2020. Nilai Luhur Serat Wulangreh Pupuh Gambuh Membangun Karakter Generasi Milenial. Indonesian Journal of Educational Sciences (IJES) 3(1) 01 - 11.
Soekirman. 2013. Sergai Kampung Kami. Yogyakarta. Bangun Bangsa.
Soetrisno. 2004. Kidung Pakeliran. Yogyakarta. Pustaka Raja.
Solichin dkk. 2021. Nafas Islam dalam Wayang. Jakarta. Yayasan Sinergi Persadatama.
Sumaryono. 2001. Hermeneutik. Yogyakarta. Kanisius.
Supana dkk. 2021. Cadicologist Sudies of Personal Letters Manuscript Poet R Ng Ranggawarsita. Solok. Basa.
Sutiyono. 2023. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Wasino dkk. 2021. Wong Cilik ini Javanese History and History Indonesian. Kemanusiaan 28(2) Pp 31 - 51.

Komentar
Posting Komentar