PAKU BUWANA XIV MBANGUN PRAJA

 PAKU BUWANA XIV 
MBANGUN PRAJA




KEPEMIMPINAN KRATON SURAKARTA DALAM TINJAUAN FILSAFAT SOSIAL


Purwadi, 

Universitas Negeri Yogyakarta


Abstrak


Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan sistem kepemimpinan Kraton Surakarta. Metode kefilsafatan sosial digunakan untuk mengulas data pembahasan. Teori budaya disertakan dalam rangka memperoleh pemahaman yang benar dan utuh. Filsafat sosial dalam kajian ini berusaha memahami fenomena budaya yang terjadi di lingkungan Kraton Surakarta. Sistem kepemimpinan  sosial masyarakat adat Kraton Surakarta ini sudah berlangsung berabad abad. Rentang waktu yang panjang tentu terdapat pengalaman kolektif. Kraton Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, maka pengalaman kolektif itu mesti memuat kearifan lokal yang berhubungan dengan kepemimpinan. Butir butir nilai kepemimpinan tradisional Kraton Surakarta berguna untuk pembinaan budi pekerti luhur. Pembahasan artikel ini dengan demikian dapat digunakan sebagai panduan untuk memperkokoh kepribadian bangsa. Tinjauan filsafat sosial terhadap kepemimpinan adat istiadat Kraton Surakarta memberi sumbangan terhadap anyaman peradaban dunia yang lebih mulia sejahtera aman damai. 


Kata kunci : Kepemimpinan, Kraton Surakarta, filsafat


A. Pengantar


Peradaban Jawa yang berpusat di Kraton Surakarta dimulai pada tanggal 20 Pebruari 1745. Berdirinya Kraton Surakarta atas jasa Sinuwun Paku Buwana II. Kelancaran proses kepemimpinan berkat bantuan garwa prameswari Ratu Mas Lamongan. Kepemimpinan tradisional yang berbasis budaya berkembang sangat bermutu. Yudi Latif (2025) telah melakukan kajian tentang sistem kepemimpinan pada sosial masa lampau.


Pengaruh kepemimpinan sosial Kraton Surakarta sungguh besar. Melalui literasi klasik butir butir luhur nilai kepemimpinan tradisional tersebar di segala penjuru. Serat Cebolek,  serat Dewaruci, serat Baratayuda, serat Rama, serat Wiwaha Jarwa, serat Wulangreh, serat Centhini, Serat Wulang Putri, serat Candrarini, serat Paramayoga, serat Pustaka Raja dan serat Sana Sunu merupakan dokumentasi tertulis. Informasi sosial budaya ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Media tradisional itu cukup dihayati dalam kehidupan sehari hari oleh masyarakat. 


Adat istiadat Jawa perlu dilestarikan oleh segenap warga negara. Konsep kepemimpinan tradisional Kraton Surakarta itu merupakan bentuk sumbangan yang berharga untuk mewujudkan toleransi atas keberagaman. Daru Winarti dkk (2023) menjelaskan arti penting nilai kearifan lokal. Budaya nusantara beraneka rupa. Kerja sama dan sikap saling menghormati perlu dijunjung tinggi. Pendekatan budaya dalam rangka untuk menerapkan keselarasan sosial. 


B. Metode dan Landasan Teori


Penggunaan metode dan landasan teori untuk mempertajam analis data. Literasi klasik ciptaan pujangga Jawa berisi tentang kepemimpinan. Kraton Surakarta mewariskan nilai kepemimpinan tradisional secara tertulis. Metode kefilsafatan Jawa telah diulas oleh Abdullah Ciptoprawiro (1986). Bila dihubungkan dengan masalah sosial, maka tepat sekali Damardjati Supadjar (2001) menganjurkan adanya sikap mawas diri. 


Perspektif budaya sangat relevan bila digunakan untuk memahami kepemimpinan Kraton Surakarta. Teori budaya yang dikemukakan oleh Wiwien Widyawati (2008) mengulas pandangan moral. Andi Harsono (2005) memberi analis budaya yang berasal dari sastra piwulang.


Nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kepemimpinan tepat sekali untuk usaha pembinaan jiwa kebangsaan. Lebih lanjut Endang Daruni (2004) sudah menghubungkan dengan jiwa kebangsaan sebagai wujud pengamalan moral Pancasila. Kajian budaya dengan pendekatan filsafat budaya jelas sesuai dengan kandungan moral sastra piwulang. Kraton Surakarta  secara turun temurun memiliki teladan utama dalam menabur nilai kabajikan. 


C. Hasil Pembahasan


1. Konsep Kepemimpinan Tradisional


Pola kepemimpinan tradisional bertumpu pada nilai adat istiadat. Konsep ini sudah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Folklor atau tradisi lisan menjadi bagian yang utama dalam tranformasi nilai. Masyarakat umum percaya begitu saja. Tidak ada gugatan, protes dan kritikan. Tradisi dianggap sebagai  kebenaran mutlak. 


Kraton Surakarta memiliki adat istiadat yang dipercaya oleh para pengikut. Tradisi itu tidak boleh diubah. Pemikiran untuk mengubah dianggap sebagai kesalahan fatal. Taat pada adat dipercaya akan mendapatkan berkah berlimpah ruah. Ikut tata cara tradisional dianggap mendatangkan pahala berlipat ganda. Pemimpin adat mendapat posisi yang amat terhormat. 


Dalam tradisi kepemimpinan Kraton Surakarta terdapat folklor tentang peran Juru Martani. Kedudukan Juru Martani terlalu tinggi. Bahkan melampaui pengaruh pemimpin formal. Panembahan Senapati sebagai raja selalu memerlukan bimbingan Juru Martani. Padahal Juru Martani tidak memiliki jabatan apa pun di Kerajaan Mataram. Panembahan Senapati yang memimpin antara tahun 1583 - 1601 berjalan lancar, berkah asuhan Juru Martani. Begitulah pengaruh pemimpin informal. Pola kepemimpinan tradisional di Kraton Surakarta pasti dijadikan sebagai refleksi pemikiran. Dhandhanggula merupakan tembang yang memberi suasana kelapangan. Dhandhanggula merupakan situasi enak nikmat yang manis dan harmonis. 


Dhandhanggula


Winisuda Gusti Hangabehi, 

Jumenengan nata binathara, 

Nglungsur dhampar retna jene, 

Mangka Kanjeng Sinuwun, 

Sunan Paku Buwana nenggih, 

Ingkang ping kawan welas, 

Santana sarujuk, 

Kawula mangayu bagya,

Raja Putra Mataram

Pangeran Pati, 

Surakarta Diningrat. 


Panca paksi wiyati dwi warsi,

Sinengkalan konjuk Sri Narendra, 

Nuju hari Kemis Wage, 

Telulas tanggalipun, 

Dene sasi Nopember nguni, 

Rong ewu slawe nyata, 

Kalampahan sampun, 

Tata cara kanarendran, 

Hangabehi sigra jumeneng narpati, 

Sunan Paku Buwana. 


Tembang dhandhanggula berarti rasa yang penuh dengan kemanisan. Arti bebas kutipan tembang dhandhanggula di atas terkait dengan praktek kepemimpinan tradisional. Para abdi dalem merasa menyatu dengan pemimpin. Penobatan raja membuat suasana terbaru. Seolah olah raja yang baru dilantik memiliki kharisma besar. Harapan untuk mendapat kedamaian sangat diyakini dalam hati. Begitu terharunya, sampai air mata menetes. 


Dalam lingkungan Kraton Surakarta asal usul amat penting. Keturunan raja terlalu dihormati. Pada hari Kamis Wage, tanggal 13 Nopember 2025 KGPH Hangabehi dinobatkan sebagai putra mahkota, dengan nama Pangeran Pati Raja Putra Amangkunegara VII. Selanjutnya dilanntik sebagai Sri Susuhunan Paku Buwana XIV. Tata cara sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Segenap pembesar kerajaan menerima dengan setulus hati. Dalam tembang pangkur dijelaskan lebih terinci. 


Pangkur


Ing Sasana Handrawina, 

Gusti Ratu Wandansari ngembani, 

Kanjeng Panembahan Agung,

Lembaga Dewan Adat, 

Paring dhawuh miturut sakeh pituduh, 

Angger angger paugeran, 

Amrih wilujeng basuki. 


Gancar lancar gya kababar, 

Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi, 

Sami njunjung mawi petung, 

Sunan Paku Buwana, 

Narendra gung binathara sinengkuyung, 

Ber budi bawa laksana, 

Mbahu dhendha nyakrawati. 


Arti tembang pangkur berhubungan dengan kerelaan hati. Makna kutipan tembang pangkur itu berisi tentang bangunan Sasana  Handrawina. Lembaga Dewan Adat yang diipimpin oleh GKR Wandansari menjadi panitia utama. Hadir pula Kanjeng Panembahan Agung sebagai sesepuh kerajaan. KGPH Hangabehi melakukan sungkem tanda penuh penghormatan. 


Resmi sudah penobatan raja yang didukung penuh oleh Lembaga Dewan Adat. Sinuwun Paku Buwana XIV segera memimpin Kerajaan Surakarta. Tiap ada upacara adat yang diselenggarakan oleh Kraton Surakarta mesti dipimipin oleh raja. Dengan wibawa tradisional, kepemimpinan tradisional Kraton Surakarta berjalan sesuai dengan angger angger atau hukum adat. Tembang pucung di bawah ini bisa dijadikan sebagai bahan renungan. Tembang pucung bisa digunakan untuk memahami kebenaran sejati. 


Pucung


Jroning kalbu abdi dalem amituhu, 

Anut paugeran, 

Lembaga Adat mengkoni, 

Bakti darma Surakarta mrih kuncara. 


Unjuk atur Dewan Adat mring leluhur, 

Enggal marak sowan, 

Pajimatan Imogiri, 

Ing pangangkah sagotrah ginanjar berkah. 


Arti tembang pucung itu terkait dengan usaha untuk memahami ilmu pengetahuan. Maka maksud tembang pucung tersebut berhubungan dengan tata cara adat. Kepemimpinan tradisional selalu mencari legitimasi. Dengan cara melakukan serangkaian upacara. 


Terlebih dahulu sowan pada leluhur yang berada di Puralaya Kotagedhe. Kemudian dilanjutkan sowan ke Pajimatan Imogiri. Lantas mohon doa restu pada penguasa laut selatan. Upacara spiritual itu jelas untuk mengokohkan eksistensi kepemimpinan tradisional Jawa. 


Dalam pola kepemimpinan Kraton Surakarta peran pujangga sangat penting. Pangeran Kadilangu merupakan tokoh utama dalam pembangunan awal Kraton Surakarta. Konsep kepemimpinan tradisional diulas dengan sistem tradisional. Pangeran Kadilangu mewakili dinasti Demak Bintara dan keluarga Sunan Kalijaga. 


Pangeran Wijil juga berperan aktif dalam mewarnai kepemimpinan tradisional. Dalam Kraton Surakarta Pangeran Wijil mewakili dinasti kewalian Bonang. Masyarakat Tuban memberi kontribusi buat kemajuan. Kepemimpinan tradisional bersifat partisipatif. Semangat kebersamaan dan keterbukaan sangat dijunjung tinggi. 


Kyai Yasadipura merupakan pujangga Kraton Surakarta yang ternama. Peran sebagai pembentuk karakter kepemimpinan tradisional sangat menonjol. Kemampuan dalam bidang sastra membuat posisi Kraton Surakarta begitu penting. Kepemimpinan tradisional bertambah wibawa. Bakat kapujanggan nanti diteruskan oleh pujangga Ranggawarsita. Kepemimpinan tradisional berbasis budaya yang kokoh. Serat Witaradya memuat ajaran kepemimpinan yang handal profesional. Kepemimpinan budaya Jawa makin tampil anggun dan agung. Pola kepemimpinan tradisional bisa selaras dengan dunia modern. 


2. Konsep Kepemimpinan Legal Formal


Surakarta menjadi ibukota Mataram pada jaman pemerintahan Paku Buwana II. Konsep kepemimpinan formal terlebih dulu berada di kota Kartasura. Paku Buwana II secara legal formal berkuasa di Kraton Mataram Kartasura sejak tahun 1726 hingga tahun 1745 

Kepemimpinan legal formal berbuah material handal. Modal kapital menjadi bekal pindahan ibukota secara total. Kota Ponorogo dijadikan markas pindahan ibukota Mataram. Darsiti (2001) mengulas sejarah kehidupan Kraton Surakarta. 


Kepemimpinan legal formal dilanjutkan oleh Paku Buwana III yang bertahta tahun 1749 - 1788. Birokrasi tertata rapi, rakyat bahagia sentosa. Ratu Beruk mendukung modal kapital berbasiskan agrobisnis lokal. Pertanian perkebunan perikanan pelayaran perdagangan lancar berjalan. Ekonomi berputar dari segala latar. Maka kehidupan rakyat makmur segar.


Sri Susuhunan Paku Buwana IV bertahta tahun 1788 - 1820. Kepemimpinan legal formal dihimpun lewat serat Wulangreh. Ratu Handoyo membantu modal kapital berkat keuntungan pabrik garam Kalianget. Ratu Sukaptinah atau Kencana Wungu membantu modal kapital berkat keuntungan dari bisnis minyak bumi. 


Atas inisiatif Paku Buwana V, kepemimpinan legal formal berlangsung pada tahun 1820 - 1823. Serat Centhini disusun berdasarkan data lapangan. Ratu Mas Sasrakusuma membatu modal kapital berkat keuntungan dari usaha tambang emas. Pertambangan emas Pancurendang Ajibarang Banyumas dan Bumiayu memperkaya devisa negara. Surakarta menjadi negara sejahtera. 


Inspirasi kraton Pajang menjadi dasar Paku Buwana V untuk bertahta tahun 1823 - 1830. Kepemimpinan legal formal berjalan penuh dengan kehormatan. Kanjeng Ratu Mas Sima membantu modal kapital berkat keuntungan dari usaha ukur ukuran dan minyak bumi. Trah Ki Ageng Singaprana memiliki darah Pajang Demak dan Majapahit. 


Hidup dan maju ilmu pengetahuan berkat dorongan Paku Buwana VII. Kepemimpinan legal formal dipegang tahun 1830 - 1858. Teknologi dan investasi dari manca negari mengalir deras. Kesusastraan dipimipin langsung oleh pujangga Ranggawarsita. Hukum dan peraturan disusun rapi. Kepemimpinan legal formal berlangsung sangat tertib. 


Paku Buwana VIII bertahta tahun 1858 - 1861. Adapun kepemimpinan legal formal banyak dibantu oleh trah Kartasura, Boyolali, Pengging. Dinasti Paku Buwana IV, Paku Buwana VI dan jaringan mulai konsolidasi. Kraton Surakarta menjadi aman tertib dan stabilitas terjaga. Rakyat merasa ayem tentrem. 


Adapun kekuasaan legal formal Kraton Surakarta dipegang oleh Paku Buwana IX pada tahun 1861 - 1893. Kereta api berhasil dibangun di seluruh pelosok tanah Jawa. Sukses gemilang ini disertai dengan kemajuan ekonomi. Pabrik gula, kebun tebu, kebun tembakau, kebun kopi dan kebun kina memberi keuntungan. Rakyat benar benar makmur dan luhur. 


Ingkang Minulya saha Wicaksana adalah gelar untuk Paku Buwana X. Masa gemilang terjadi pada tahun 1893 - 1939. Kekuasaan legal formal menjadi Kraton Surakarta sebagai negara mercusuar. Boleh dikatakan sebagai negara kaya raya. Megah mewah gagah indah pantas disandang Kraton Surakarta. Warisan mudah dikenang sepanjang masa. 


Usaha Paku Buwana XI pada pergerakan nasional tampak nyata. Terjadi pada tahun 1939 - 1945 yang penuh dengan keteladanan dan kepahlawanan. BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia berkat bantuan Sinuwun Paku Buwana XI. Jasa dan perjuangan pantas untuk suri teladan. 


Masa kemerdekaan Indonesia diperintah oleh Paku Buwana XII. Antara tahun 1945 - 2004 Kraton Surakarta menjadi pengembang budaya. Sri Sunan Paku Buwana XII tokoh perdamaian yang rendah hati dan berwibawa tinggi. Pejabat Republik Indonesia mendapat penghormatan layak. Hubungan pemerintah Republik Indonesia dengan Kraton Surakarta begitu selaras serasi seimbang. 


Lantas konsep kepemimpinan legal formal Kraton Surakarta dipegang Paku Buwana XIII tahun 2004 - 2025. Masa yang penuh dinamika ini dibantu oleh Lembaga Dewan Adat yang dipimpin oleh GKR Wandansari. Abdi dalem dengan semangat membantu kehidupan Karaton Surakarta Hadiningrat. 


Tiba saatnya sejak tanggal 13 Nopember 2025 Paku Buwana XIV diberi amanah untuk memegang kepemimpinan legal formal. Konsep kepemimpinan legal formal menganut dasar dasar menejemen modern. Kraton Surakarta memiliki sistem menejemen modern yang dijalankan oleh Lembaga Dewan Adat. Pegawai digaji berdasarkan jasa dan keperluan. Barang dan jasa diatur dengan birokrasi yang tertib. Kutipan tembang gambuh ini perlu dijadikan sebagai bahan acuan. Soetrisno (2004) mengulas sastra tembang yang penuh makna simbolik. Tembang gambuh itu menyadarkan arti penting pergaulan antar warga masyarakat. 


Gambuh


Pariwara gumuruh, 

Surakarta tuk sumbering kawruh, 

Tanah Jawi ngrenggani ibu pertiwi, 

Kanjeng Sinuwun ing ngayun, 

Mranata punggawa Kraton. 


Jumangkah bareng maju, 

Lembaga Dewan Adat anuju, 

Amarsudi gawa gawe edi peni, 

Seserep urup sumurup, 

Gebyar mubyar asri tinon. 


Arti tembang gambuh terkait dengan interaksi sosial. Tafsir tembang gambuh itu berhubungan dengan konsep kepemimpinan formal. Publikasi literasi klasik perlu dilakukan terus menerus. Serat Wulang Putra bisa dijadikan teladan. Paku Buwana IX memberi penjelasan tentang kepemimpinan yang baik. Abdullah Ciptoprawiro (1986) berhasil memberi penjelasan tentang konsep dasar kepemimpinan. 


Dalam tembang kinanthi berikut terdapat pelajaran yang berguna bagi seorang pemimpin. Kinanthi berarti bekal. Bagi siapa saja yang mau memimpin mesti berbekal ilmu pengetahuan yang memadai. Soekirman (2012) telah menjelaskan pola kepemimpinan formal. Pengalaman sebagai praktisi menambah bobot kepemimpinan. Oleh karena itu sangat tepat apabila dijadikan sebagai bahan studi tentang kepemimpinan formal pada masa mutakhir, sebagaimana ungkapan tembang kinanthi yang bermakna siap sedia. 


Kinanthi


Lumaku kanthi rahayu, 

Lembaga Adat miyarsi, 

Sinuwun Paku Buwana, 

Kawan welas wusnya prapti, 

Titi mangsa kawisuda, 

Kabeh abdi nayogyani. 


Ndherek suwita kayungyun, 

Pepoyaning mesu budi, 

Wadhahing Lembaga Adat, 

Sareng Ratu Wandansari,

Ngupakara dhatulaya, 

Sri Narpati mrih lestari. 


Arti tembang kinanthi itu terkait dengan kesadaran persiapan hari esok. 

Bekal yang cukup untuk mengabdi pada negara diungkapkan oleh kutipan tembang kinanthi. Pemimpin formal mesti memiliki bekal yang cukup. Terutama dalam bidang mental spiritual. Munarsih (2004) jelas menekankan arti penting kajian literasi klasik yang memuat dasar dasar kepemimpinan. Segala tingkah laku dan kebijakan pemimpin mesti bisa bertanggung jawab. Dukungan akan terus mengalir manakala pemimpin selalu menjaga amanah. Daru Winarti dkk (2023) mengulas kepemimpinan Jawa yang berhubungan dengan aspek kebudayaan yang berakar  kuat. 


Contoh contoh kebaikan seorang pemimpin formal perlu diusahakan terus. Kajian Soetrisno (2005) memungkinkan untuk mendapat nilai kebajikan. Jirzanah dkk (2023) telah mengulas tentang sistem kepemimpinan yang dihubungkan dengan peran wanita. Tembang megatruh ini memberi tuntunan terhadap pola kepemimpinan formal yang bersifat terbuka dan jujur. Perlu sekali dijadikan refleksi buat para pemegang kekuasaan.  Arti tembang mijil memberi kesadaran bangsa terhadap masa kelahiran. 


Mijil


Ing madyaning pura jalanidhi, 

Punjering kedhaton, 

Saka Dhomas ing Mutyara Bale, 

Kanjeng Ratu Sri Kencana Sari, 

Kepareng ngestreni, 

Surakarta hayu. 


Sri Narendra mahas ing ngasepi, 

Ngudi karahayon, 

Panggung Sangga Buwana papane, 

Anggegampil lenggah saluku satunggil, 

Angsal drajat inggil, 

Turun Wahyu Ratu. 


Makna tembang mijil yakni kesucian masa lahir. Situasi aman damai sejahtera menjadi tema sentral makna tembang mijil di atas. Kepemimpinan formal harus jujur terbuka sederhana tepat guna berhasil duna efektif efisien. Oleh karena itu Soekirman (2012) berusaha memberi contoh dengan mengkaji literasi tradisional. Heri Santoso (2023) menganjurkan adanya kepemimpinan yang berhubungan dengan pendidikan karakter. 


Untuk itu Soetrisno (2004) mengulas kidung pakeliran. Kebetulan para pengkaji ilmu tradisional  itu juga praktisi kepemimpinan modern mutakhir. Terdapat teladan utama dalam seni pewayangan yang mengungkap nilai kepemimpinan tradisional. Barangkali kutipan tembang asmarandana berikut menambah keyakinan hati seorang pemimpin yang penuh sifat belas kasih. 


Asmaradana


Sarengat yekti katiti, 

Kanjeng Sinuwun ngibadah, 

Tumuju ing Masjid Gedhe, 

Mangka dadi srana sarat, 

Tumrap narendra Mataram, 

Sholat Jumat kaping pitu, 

Takmir ngulama jamaah. 


Khalifahtullah Agami, 

Sayidina Ngabdurrahman, 

Ngamal ngelmi trap trapane, 

Senapati ing Ngalaga, 

Kanjeng Sri Paku Buwana, 

Cerak muhung Masjid Agung, 

Surakarta Hadiningrat. 


Arti tembang asmarandana di atas menjelaskan konsep kepemimpinan formal. Yudi Latif (2005) memberi narasi yang berhasil atas pola kepemimpinan formal masa silam. Jasmerah atau jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Masa lampau merupakan pengalaman berharga. Berguna untuk masa kini. Penting untuk merencanakan kegiatan pada masa depan yang lebih cemerlang. Untuk itu diperlukan pemahaman atas fenomena spiritual kejawen. 


3. Konsep Kepemimpinan Spiritual


Orang Jawa terlalu peduli pada dunia spiritual. Kekuatan spiritual Kraton Surakarta dibangun dengan ilmu dan laku. Konsep ilmu berhubungan dengan pola tranformasi sistem pengetahuan. Konsep laku berhubungan dengan sistem meditasi terapan. Sabda para pembesar Kraton Surakarta dianggap memiliki daya tarik tinggi. Misalnya tembang durma berikut berisi tentang pola kepemimpinan spiritual. Ronaldo (2023) telah mengkaji etika kepemimpinan yang bersumber dari seni wayang. Palaran tembang durma bisa digunakan sebagai bahan renungan budaya. 


Durma


Patuh taat lan Lembaga Dewan Adat, 

Sarana darma bakti, 

Santana pangarsa, 

Abdi dalem kawula, 

Pakarti pakerti pekerti, 

Tata negara, 

Pemerintah Republik.


Jamak lumrah nut owah gingsiring jaman, 

Sajroning NKRI, 

Mula Dewan Adat, 

Ngarah arah lumampah, 

Laras laris lurus lumaris, 

Kabar kababar, 

Hukum kanthi permati. 


Makna tembang durma terkait dengan semangat patriotik. Yakni jiwa pemberani yang mau berkorban demi nusa bangsa. Berani karena benar sangat dianjurkan dalam tembang durma di atas. Kraton Surakarta memberi contoh penerapan konsep tentang kepemimpinan spiritual. Endang Daruni (2004) menganjurkan agar tetap mengingat moral Pancasila dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sumaryono (2001) menganjurkan tafsir hermeneutik untuk memperoleh pemahaman budaya yang sistematis integral dan komprehensif. 


Eling lan waspada merupakan bagian dari konsep kepemimpinan spiritual. Tembang megatruh berikut sangat cocok dengan jiwa yang bersih. Abdullah Ciptoprawiro (1986) menganjurkan agar orang Jawa selalu ngudi kasampurnan. Refleksi pemikiran yang berasal dari sastra piwulang jelas penting. Dunia merasa terbantu dengan adanya kajian dari pujangga agung. Tembang megatruh memberi kesadaran tentang hakikat ruh. 


Megatruh


Warta unggul saking pujangga pinunjul, 

Yasadipura ping siji, 

Hasta brata sung wewuruk, 

Tumraping sagung narpati, 

Dimen minulya mencorong. 


Sri narendra prayoga  paring sesuguh, 

Grapyak sigrak sandhang sandhing, 

Sambang sambung tulung srawung, 

Tuna santak sanak bathi, 

Momor momong Sang Akatong. 


Arti megatruh yaitu kesadaran kesatuan jiwa raga dan ruh. Maka tafsir tembang megatruh itu memuat butir butir kepemimpinan spiritual. Raja beserta para punggawa  istana berusaha untuk sekuat tenaga berdarma bakti kepada masyarakat. Damardjati Supadjar (2001) menekankan arti penting mawas diri. Untuk itu Iskandar Yasin (2025) dengan tepat mengambil terapan kepemimpinan spiritual dengan mengkaji dari pemikiran Perguruan Taman Siswa. 


Uraian Sri Harti Widyastuti dkk (2023) memberi deskripsi  tentang peran Paku Buwana IX dalam Konstelasi Sejarah Sastra Jawa. Barangkali kutipan tembang sinom berikut dapat memberi wawasan tentang konsep kepemimpinan spiritual. Khusus untuk para generasi muda ungkapan tembang sinom memang relevan. Andi Harsono (2005) menganjurkan agar para pemuda mau membaca serat Wulangreh. Kitab karya Sinuwun Paku Buwana IV ini cukup berhasil menjadi referensi yang hsandal dan bermoral. Para pemuda perlu belajar tembang sinom yang berarti pembinaan generasi muda. 


Sinom


Setya saraya rumeksa, 

Warga Pakasa sesanti, 

Pambiwara lumaksana, 

Pasipamarta pertitis, 

Suwita aris manis, 

Bebantu ing rinten dalu, 

Kadang rewang tuguran, 

Tata lahir tandang kardi,

Jiwa raga jroning batin laku tama. 


Paheman Narpa Wandawa, 

Putri Narpa mastuti, 

Pakempalan kasentanan, 

Mandra Budaya marsudi, 

Kartipraja makarti, 

Kebon Darat guyub rukun, 

Ngayahi kewajiban, 

Suka lila lahir batin, 

Surakarta ngejaya ing jagad raya. 


Arti yang tersurat dari kutipan tembang sinom itu jelas berhubungan dengan pola kepemimpinan spiritual. Sinom berarti masa meniti usia muda.  Retnowati (2020) memberi anjuran agar sastra piwulang digunakan untuk membina karakter generasi muda. Sikap rela hati akan bisa memperkokoh tipe kepemimpinan spiritual. Teladan utama yang diberikan oleh abdi dalem bisa dijadikan refleksi buat pemimpin formal. Yudi Latif (2025) dengan tepat memberi apresiasi terhadap sejarah masa lampau. Budi Sutrisna (2022) menjelaskan aspek simbolik orang Jawa. Perlambang menjadi faktor penting bagi masyarakat tradisional. 


Harapan terhadap penerapan pola kepemimpinan spiritual selalu mendatangkan sifat optimis. Tembang maskumambang ini memberi narasi yang baik terhadap masa depan. Hari esok selalu cemerlang. Uraian Soekirman (2012) tentang kesadaran Jawa perlu menjadi bahan renungan. Maskumambang secara simbolik bermakna sukses yang selalu tersedia di hamparan segala kesempatan. Sosialisasi nilai sosial sungguh bermakna bagi pengembangan kebudayaan. Tembang maskumambang ini bermakna sangat dalam bagi para penghayat kebatinan. 


Maskumambang


Ulat patrap pangucap rinengga manis, 

Abdi dalem Surakarta, 

Sukeng tyas pasuryan bening, 

Kutha gunung dugi desa. 


Bagya mulya suwiteng narpati,

Sri Sunan Paku Buwana, 

Kaping Patbelas pinanggih, 

Panjang punjung kerta harja.


Arti  umum tembang  maskumambang itu berhubungan dengan pembinaan mental generasi muda. Pola kepemimpinan spiritual bagi masyarakat Jawa diungkapkan oleh Soekirman (2012). Dengan mengambil kearifan lokal literasi klasik, masyarakat Jawa mendapat pencerahan. Melalui kajian serat Centhini Munarsih (2004) menjelaskan tentang aspek spiritual. Begitu pula Andi Harsono (2005) memberi keterangan tentang etika spiritual yang bersumber dari serat Wulangreh. Panani (2019) perlu mengutamakan moral dalam membina mental spiritual di kalangan generasi muda. Raja Surakarta menerapkan kepemimpinan spiritual dalam mewujudkan perdamaian. 


D. Kesimpulan


Peradaban Jawa mengakui bahwa Kraton Surakarta merupakan pusat kosmis. Orang Jawa beruntung karena memiliki kekayaan jasmani dan rohani. Benda benda material fisik beraneka rupa sebagai hak milik. Demikian juga adanya tradisi adat istiadat serta keyakinan yang sudah turun temurun merupakan kebanggaan non benda yang perlu dilestarikan. Keadaan itu memungkinkan orang Jawa bisa memberi sumbangan peradaban. 


Kepemimpinan orang Jawa yang berpusat di Kraton Surakarta memang berpengaruh lama. Dalam hal ini kepemimpinan tak harus bersifat kekuasaan. Pengaruh budaya yang kuat juga masuk dalam kategori kepemimpinan. Malah boleh dikatakan berperan lebih penting. Oleh karena itu kepemimpinan Kraton Surakarta yang bersifat budaya itu bisa menjadi kekuatan penyeimbang. Dalam perspektif hermeneutik perlu melakukan kajian tafsir budaya. Harmoni budaya berbuah kedamaian dan ketentraman. 


Peran budaya tradisional dalam era mutakhir sungguh penting. Kraton Surakarta dapat mengisi celah peradaban dalam bidang adat tradisi dan budaya. Kepemimpinan yang diterapkan oleh Kraton Surakarta secara kefilsafatan sosial akan terus berjalan, sesuai dengan perkembangan jaman. 


Daftar Pustaka


Abdullah Ciptoprawiro. 1986. Filsafat Jawa. Jakarta. Gramedia. 


Andi Harsono. 2005. Tafsir Serat Wulangreh. Yogyakarta. Pura Pustaka. 


Budi Sutrisna. 2022. Makna Simbolik Negara Ngalengka dalam Seni Wayang. Jurnal Filsafat 32(2) 190 - 198.


Damardjati Supadjar. 2001. Mawas Diri. Yogyakarta. Philosophy Press. 


Darsiti. 2001. Kehidupan Kraton Surakarta. Yogyakarta. Yayasan Untuk Indonesia. 


Daru Winarti dkk. 2023. Piwulang dalam Konteks Sosial dan Budaya Jawa. Yogyakarta. FIB UGM. 


Endang Daruni. 2004. Moral Pancasila. Yogyakarta. Pustaka Raja. 


Heri Santoso. 2023. Membangun Jiwa Merdeka bagi Dosen Pancasila Relevansinya bagi Penguatan Karakter Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter 7(2) 112 - 123.


Iskandar Yasin. 2025. Ensiklopedi Taman Siswa. Yogyakarta. Bangun Bangsa. 


Jirzanah dkk. 2023. Women Equality in Islamic Teaching  Seen Throughput the Perspective Fair and Civilized Humanity. Jurnal Filsafat 32(2) 190 -198. 


Munarsih. 2004. Serat Centhini Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta. Gelombang Pasang. 


Panani. 2019. Serat Wulangreh Ajaran Keutamaan Moral Membangun Pribadi Yang Luhur. Jurnal Filsafat 29(2) 275 - 299.


Retnowati. 2020. Nilai Luhur Serat Wulangreh Pupuh Gambuh Membangun Karakter Generasi Milenial. Indonesian Journal of Educational Sciences (IJES)) 3(1) 01 - 11.


Ronaldo. 2023. Kajian Nilai Nilai Filosofis Kesenian Wayang Kulit dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Jurnal Ilmu Budaya 10(1) 82-92.


Soekirman. 2012. Ensiklopedi Ilmu Serat Centhini. Yogyakarta. Pura Pustaka. 


Soetrisno. 2004. Kidung Pakeliran. Yogyakarta. Adityo Presindo. 


Sri Harti Widyastuti dkk. 2023. Sunan Paku Buwana IX dalam Konstelasi Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta. UNY Press. 


Sumaryono. 2021. Hermeneutik. Yogyakarta. Kanisius


Wiwien Widyawati. 2008. Etika Jawa. Yogyakarta. Pura Pustaka.


Yudi Latif. 2025. Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia. Jakarta. Kompas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Babad GKR WANDANSARI

Adipati Dayaningrat Pengging Sepuh

Kidung Idul Fitri