Ratu Sumarti Paku Buwana X
Ratu Sumarti Paku Buwana X
Purwadi, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara, hp.087864404347
A. Raden Ajeng Sumarti.
Garwa prameswari Paku Buwana X. Bernama Raden Ajeng Sumarti. Putri Sri Mangkunegara IV. Putri Mangkunegaran ini bergelar Kanjeng Ratu Sumarti Paku Buwana X.
Jasa dan Perjuangan.
Paku Buwana X punya jasa yang berlimpah ruah. Perjuangan ini patut sebagai suri teladan. Maka Pemerintah Indonesia menetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Kraton Surakarta dibangun di atas desa Sala yang masih berawa rawa. Tanah rawa ini dibeli dari Ki Gedhe Sala. Sinuwun Paku Buwana II membayar Satu Leksa Ringgit. Harga itu mahal sekali (Bratadiningrat, 1992: 84). Kraton Surakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1745 pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana II. Beliau juga mendapat gelar Sinuwun Kumbul.
Berdirinya kraton Surakarta mendapat dukungan penuh dari Ki Gedhe Sala. Saat ini kraton Surakarta merupakan pusat dan sumber budaya Jawa yang edi peni dan adi luhung.
1. Sunan Paku Buwana II
Lahir Selasa Pahing, 23 Sawal 1634 atau 8 Desember 1711 di Kartasura. Menjadi raja pada hari Kamis Legi, 16 Besar 1650 atau 15 Agustus 1726. Dan di Surakarta tahun 1745. Wafat tahun 1749.
2. Sunan Paku Buwana III
Lahir Sabtu Wage, 26 Ruwah 1656 atau 24 Februari 1732. Menjadi raja pada hari Senin Wage, 5 Sura 1675 atau 15 Desember 1749. Wafat Jum’at Wage, 25 Besar 1714, atau 26 September 1788.
3. Sunan Paku Buwana IV
Lahir Kamis Wage, 18 Rabi’ul Akhir 1694 atau 2 September 1768. Menjadi raja pada hari Senin Paing, 28 Besar 1714, atau 29 September 1788. Wafat Senin Paing, 25 Besar 1747, atau 2 Oktober 1820.
5. Sunan Paku Buwana V
Lahir Selasa, 5 Rabi’ul Akhir 1711 atau 15 Februari 1785. Menjadi raja pada hari Sela-sa, 3 Muharam 1748, atau 10 Oktober 1820. Wafat Jum’at, 29 Besar 1750, atau 5 September 1823.
6. Sunan Paku Buwana VI
Lahir Ahad Wage, 18 Sapar 1734, atau 26 April 1807. Menjadi raja pada hari Senin, 10 Sura 1751, atau 15 September 1824. Wafat Ahad Pon, 12 Rejeb 1777 atau 2 Juni 1849 di Ambon.
7. Sunan Paku Buwana VII
Lahir Kamis Wage, 16 Muharam 1723 atau 28 Juli 1796. Menjadi raja pada hari Senin Wage, 22 Besar 1753 atau 14 Juni 1830. Wafat Senin Legi, 27 Siam 1786 atau 28 Juli 1858.
8. Sunan Paku Buwana VIII
Lahir pada hari Senin, 20 April 1789. Menjadi putra mahkota pada hari Kamis 15 Besar 1731 atau 1805.
9. Sunan Paku Buwana IX
Lahir Rabu, 7 Saban 1758 atau 22 Desember 1830. Menjadi raja pada tanggal 30 Desember 1861. Wafat Jum’at Legi, 28 Ruwah 1822 atau 16 Maret 1893.
10. Sunan Paku Buwana X
Lahir Kamis Legi, 21 Rejeb 1795 Jawa atau 29 November 1866. Menjadi raja pada tanggal 30 Maret 1839. Wafat pada tanggal 20 Februari 1939.
11. Sunan Paku Buwana XI
Lahir Senin, 25 Rabi’ul Akhir 1815, atau 1 Februari 1886. Menjadi raja pada hari Rabu Legi, 7 Mulud 1878, atau 26 April 1939. Wafat Sabtu, 21 Jumadilakir 1876 atau 2 Juni 1945.
12. Sunan Paku Buwana XII
Lahir Selasa Legi, 20 Ramelan 1855, atau 14 April 1925. Menjadi raja pada hari Jum’at Pahing, 19 Rejeb 1876, atau 29 Juni 1945. Wafat 11 Juni 2004.
13. Sunan Paku Buwana XIII
Lahir pada hari Senin, 28 Juni 1948 atau 21 Ruwah tahun Dal 1879. Menjadi raja, Jum’at Kliwon 10 September 2004 atau 25 Rejeb 1937.
B. Pengasuh Generasi Kraton
Sinuwun Paku Buwono X. Kejayaan masa silam bangsa Indonesia dapat dilacak dari rentetan kehidupan sejarah raja-raja di nusantara. Bahkan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai kerajaan nasional yang luas dan besar pengaruhnya. Kedua kerajaan ini memberi inspirasi bagi kerajaan pelanjutnya untuk membangun peradaban yang lebih anggun dan agung. Di antara sekian banyak raja raja nusantara yang perlu diketahui peranannya adalah Sunan Paku Buwono X yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat.
Dalam lintasan sejarah nasional, Kraton Surakarta merupakan kelanjutan dari kraton Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit (Denys Lombard, 2000: 173). Dengan demikian secara genealogis, Sunan Paku Buwono X adalah pewaris sah atas nilai nilai kebesaran kerajaan Majapahit yang telah mampu mengukir prestasi gemilang.
Pemerintahan negara Majapahit yang menguasai dan mempersatukan nusantara tentu menjadi inspirasi bagi Sunan Paku Buwono X dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Kraton Surakarta yang diperintah oleh Sri Sunan pada zamannya merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Oleh karena raja memiliki kekuasaan yang sangat besar sebagai sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bahkan dianggap sebagai ‘wakil Tuhan di muka bumi (Soemarsaid Moertono, 1985: 2-5).
Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sang raja yang berkuasa.
Bersama GKR Pembayun PB X di rumah Harjowinatan
Sunan Paku Buwono X termasuk raja yang taat dengan tradisi yang diwariskan leluhurnya.
Ajaran ajaran yang diwariskan oleh para pendahulunya di Kraton Surakarta selalu ia dijadikan referensi untuk memecahkan problematika yang dihadapinya. Sebegitu pentingnya nilai etis filosofis untuk pegangan hidup sehari hari maka para penguasa Kraton Surakarta, juga terlibat aktif dalam bidang sastra budaya. Oleh karena itu muncul istilah brahmana raja, sebuah predikat agung yang mendudukkan raja sekaligus bergelar pujangga (Moejanto, 1994: 43).
Dapat disebutkan misalnya Sunan Paku Buwono IV yang mengarang Serat Wulangreh. Beliau memberi konsep kepemimpinan yang menjunjung azas profesionalisme. Dikatakan bahwa narendra tan darbe garwa myang putra atau raja tidak mempunyai istri dan anak, di sini Sunan Paku Buwono IV menegaskan bahwa raja selaku institusi yang memegang kekuasaan eksekutif kraton tidak boleh mencampuradukkan dengan segala hal yang berkaitan dengan urusan pribadi dan keluarga.
Urusan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada angger-angger atau tata aturan yang telah disepakati bersama. Wejangan Serat Wulangreh ini dihayati benar oleh Sunan Paku Buwono X (Darusuprapta, 1986: 90).
Pikiran utama yang dipegang teguh oleh para raja Surakarta berpangkal tolak dan konsep Ber Budi Bawa Laksana. Ber budi mengandung makna yang berkaitan dengan unsur keramahan dan kemurahan sang raja kepada segenap kawula dasih atau warganya. Sedangkan Bawa laksana mengandung arti konsistensi dan konsekuensi atas segala kebijakan dan kebijaksanaan kraton.
Perkataan dan perbuatan raja mesti bisa dipertanggung jawabkan di hadapan bangsa dan negara. Ungkapan manunggaling kawula Gusti memberi orientasi bahwa raja sebagai Gusti mesti selalu bersemayam di hati kawula atau rakyat.
Berkaitan dengan perkembangan peradaban dunia masa kini, perlu kiranya memperhatikan wejangan Sultan Agung, Raja Mataram yang menjadi panutan Sunan Paku Buwono X yang memberi pesan mangasah mingising budi mamasuh malaning bumi. Sebuah ajaran yang menghendaki keselarasan antara makro kosmos (jagad gumelar) dan makro kosmos (jagad gumulung).
Itulah intisari makna yang dikandung dalam sesanti mamayu hayuning bawana (Soerjohoedojo Soetardi,1922: 151). Untuk memahami perjuangan, jasa dan pengabdian Sunan Paku Buwono X kepada nusa dan bangsa, perlu dikaji sisi historis, filosofis, dan praksis yang meliputi perjalanan hidup dan karya karyanya.
C. Perusahaan Kraton
Masa Kecil di Lingkungan Kraton.
Sunan Paku Buwono X lahir Kamis Legi, 21 Rejeb 1795 Jawa atau 29 November 1866 dari permaisuri Raden Ajeng Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Nama kecilnya adalah nama Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna (Puspaningrat, 1996: 12). Beliau dilahirkan sebagai putra ke-30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama pemerintahan Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri raja tidak melahirkan putra laki-laki.
Dikatakan bahwa untuk mengumumkan kelahiran agung ini dibunyikan segala macam bunyian, tambur dan slompret dan di Panggung Songgobuwono dibunyikan meriam, para abdi dalem niyogo diperintahkan nabuh gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil (RM Karno, 1990: 25). Sri Mangkunegara IV juga merasa sangat bahagia, karena Raden Ajeng Kustijah yang juga kemenakannya dapat menjadi perantara lahirnya calon putra mahkota yang kelak akan memerintah di kerajaan Surakarta Hadiningrat (RM Sayid, 1980: 66).
Rakyat sangat gembira karena untuk negeri Surakarta Hadiningrat sudah ada calon pengganti raja, seorang Pangeran Adipati, negara akan bertambah makmur. Karena itu rakyat dan seluruh kerabat kraton memohon kepada Yang Maha Agung, agar sang narendra putra selalu diberi keselamatan dan selalu dalam keadaan sehat walafiat. Selama satu minggu di kraton diadakan tirakatan semalam suntuk. Eyang putri, Ibu Sinuwun Paku Buwono IX, sangat menyayangi cucunya, sehingga sang cucu selama masih kecil tidurnya sama eyang putri. Setelah menjelang dewasa Sang Pangeran Adipati dibuatkan gedung tersendiri yang dinamakan gedung Sasono Hadi (RM Karno, 1990: 25).
Raden Ajeng Kustijah permaisuri Paku Buwono IX adalah putri Pangeran Hadiwijaya dengan Ratu Bendara. Pernikahan beliau berlangsung pada 1865, ketika Sunan telah memegang pemerintahan selama 4 tahun dan telah menginjak usia 35 tahun.
Setelah RM Gusti Sayidin Malikul Kusna berusia tiga tahun (1869), Sunan Paku Buwono IX mengangkatnya menjadi Pangeran Adipati Anom dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram V Ing Kraton Surakarta Hadiningrat ( Puspaningrat, 1996: 12). Gubernur Jenderal pun menghaturkan selamat atas lahirnya sang Pangeran Muda, juga memberi restu atas pengangkatan Sang Pangeran menjadi Pangeran Adipati Anom. Suasana di Bangsal Praba Suyasa, Kraton Surakarta.
Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan pendidikan yang keras sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru terpilih. Tradisi demikian, telah terbentuk sejak zaman kuno, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan (Darsiti Soeratman, 1990: 7). Demikian pula dengan Sang Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk putra mahkota itu diarahkan agar ia kelak dapat memangku jabatannya sebagai raja utama.
Pendidikan diberikan secara Jawa yang diikuti Pangeran Adipati Anom, meliputi berbagai bidang pengetahuan mengenai kesusasteraan, agama termasuk mengaji, besi aji, dan segala hal tentang kuda;
kesenian, termasuk seni tari;
ketrampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secara Barat;
olah raga, seperti berenang dan menunggang kuda;
pendidikan dari buku buku lama dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat serat piwulang Jawa
pengetahuan psikologi, kejiwaan.
pelajaran bahasa seperti Arab, Melayu, Belanda (RM Sayid, 1980: 45).
Sunan Paku Buwono X pada waktu masih kecil belum dikhitankan. Duduk di muka bawahnya adiknya bernama BRM Sudarmaji (KPH Tjakraningrat)
KGP Adipati Anom menyadari bahwa syarat untuk men-jadi Raja ialah menguasai segala ilmu yang ada, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur negara, baik itu ilmu kebathinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur, agar kelak menjadi manusia yang berbudi luhur dan berwatak utama, maupun ilmu dari barat, agar dapat mengikuti dan memahami keadaan dunia.
Segalanya ini dipelajari di kraton, segala macam guru baik dalam ilmu barat maupun ilmu ketimuran didatangkan ke kraton.
Sejak muda, putra mahkota di Kraton Surakarta telah diperkenalkan dengan tugas-tugas kenegaraan di samping tugas belajar. Salah satu tugas itu adalah menjadi pimpinan Rad Kadipaten Anom, semacam majelis yang berisi tokoh-tokoh keluarga kerajaan sebagai dewan pertimbangan raja ( Puspaningrat, 1996: 13). Namun sebelum ia menginjak usia dewasa, tugas sebagai ketua Rad Kadipaten Anom dilaksanakan oleh Pangeran Arya Prabuningrat. Ia juga merangkap menjadi ketua Rijksraad, sejenis Rad Kadipaten Anom namun komposisinya terdiri dari tokoh tokoh masyarakat, pengusaha, ulama dan sebagainya.
Dalam pengajaran etika, tata krama dan diplomasi, Pangeran Adipati Anom sejak berusia 7 tahun, selalu diajak mengikuti ayahandanya memenuhi undangan residen untuk makan siang di rumah residen. Kadangkala ia bahkan datang sebagai wakil raja. Jika sebagai wakil raja, putra mahkota yang masih di bawah umur itu, mendapat kehormatan seperti yang ditujukan kepada raja, misalnya memperoleh penghormatan dentuman meriam, apabila ia melewati benteng Vastenburg. Selain itu ia melakukan tugas atas nama Raja.
Selama itu, para pangeran yang lebih tua, demikian pula pepatih dalem masuk dalam rombongan pengiring wakil raja itu (RM Sayid, 1980: 51).
Para pangeran putra yang usianya lebih tua dari putra mahkota adalah: Pangeran Hangabehi, Pangeran Arya Mataram, Pangeran Arya Natakusuma, Pangeran Arya Nyakrakusuma, Pangeran Arya Kusumadiningrat, Pangeran Arya Purbaningrat, dan Pangeran Arya Cakradiningrat. Pada 1884, ketika sudah berusia 18 tahunf putra mahkota itu diangkat secara kehormatan oleh Pemerintah menjadi Letnan Kolonel pada Angkatan Perang Kerajaan Belanda (Groneman, 1886). Dua tahun kemudian (1886), ia mulai menjalankan tugasnya sebagai ketua Rad Kadipaten Anom. Pada 1890, putra mahkota itu telah menjadi Kolonel dan dinikahkan dengan Raden Ajeng Sumarti, putri Mangkunegara IV.
D. Putri Mangkunegaran
Menjadi Raja Surakarta. Pada tahun 1893, Pangeran Adipati Anom dinobatkan sebagai raja Kraton Surakarta menggantikan ayahnya, dengan gelar Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau ringkasnya Sunan Paku Buwono X ( Puspaningrat, 1996: 6).
Pemerintah menaikkan pangkat militernya menjadi Mayor Jenderal (Groneman, 1886). Pemberian pangkat militer secara tituler oleh kepada raja-raja Jawa telah dimulai sejak pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah manca negara. Berikut ini adalah peta kekuasaan kraton Surakarta pada masa Sunan Paku Buwono X, yang berwarna coklat.
Sunan Paku Buwono X sebagai raja, kemudian melakukan sejumlah pembaruan politik, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan di Kraton Surakarta yang tercatat dengan tinta emas hingga saat ini. Upacara jumenengan Sri Susuhunan.
Pada intinya, Kraton Surakarta Hadiningrat mencatat sebagai berikut:
1. Bidang Politik dan Pemerintahan: membantu dan mengayomi organisasi organisasi nasional, melindungi tokoh-tokoh politik nasional.
Contoh seperti Bung Karno, HOS Cokroaminoto dan Agus Salim; Sunan Paku Buwono X secara terbuka maupun diam diam memberi sokongan fasilitas dan dana kepada perkumpulan perkumpulan politik itu; membuat radya laksana kraton; mendirikan Raad Bale Agung sebagai Dewan Perwakilan Rakyat di Kraton dan membuka keran demokrasi; mendirikan Rijksraad, memperbaiki birokrasi dan manajemen pemerintahan.
2. Bidang Ekonomi: membangun sejumlah pasar, seperti Pasar Gedhe Harjonagoro, membangun Bank Banda Lumaksa, mendirikan pabrik gula, pabrik teh dan perkebunan, pabrik cerutu dan sejumlah perusahaan yang berorientasi publik.
3. Bidang Sarana Publik: membangun jaringan listrik di kota solo pada tahun 1902, membangun PDAM seluruh kota Solo, merenovasi stasiun dan membuka jalur kereta api, membangun jalan-jalan dan jembatan, seperti Jembatan Bacem dan Jurug, membangun gedung pertemuan publik Habi Praya.
4. Bidang Pendidikan: mendirikan sekolah Mamba’ul Ulum di kompleks Masjid Agung, membangun sekolah sejumlah TK Pamardi Siwi, HIS Kasatriyan, Sekolah sekolah Desa, Sekolah Angka II, mempermudah akses sekolah kepada seluruh kawula Mataram dan memberikan beasiswa kepada sejumlah bangsawan untuk meneruskan studi di Eropa.
5. Bidang Keagamaan: mencetak kader-kader ulama melalui Mamba’ul Ulum, meneruskan syiar Islam dalam grebeg maulid, mendirikan sejumlah masjid di Surakarta dan sekitarnya.
6. Bidang Sosial: mendirikan panti jompo dan yatim piatu, memprakarsai berdirinya organisasi organisasi sosial seperti Narpa Wandawa, organisasi wanita dan sebagainya.
7. Bidang Kesehatan dan Olahraga: mendirikan Rumah Sakit Kadipolo, memberikan bantuan pendidikan kedokteran bagi para bangsawan, mendirikan apotik dan poliklinik layanan kesehatan, membangun sarana olahraga dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keolahragaan.
8. Bidang Arsitektur: melakukan renovasi besar besaran terhadap sejumlah bangunan kraton, mendirikan pagar dan batas kota, membangun empat tanggul sebagai pintu air kota Surakarta, membangun pesanggrahan wisata, membangun kembali bangunan bangunan bersejarah seperti makam para leluhur Mataram di Kotagede, Imogiri, Laweyan dan Pengging.
9. Bidang Komunikasi, membangun stasiun radio dan mendorong tumbuhnya pers.
10. Bidang Seni dan Budaya: mendorong tumbuhnya seni dan budaya, modernisasi kaum priyayi, membuka perpustakaan Radya Pustaka untuk publik.
Selain itu masih banyak sekali prestasi gemilang Sunan Paku Buwono X dan Kraton Surakarta. Di antaranya yang menyangkut hubungan kekeluargaan antara para penerus dinasti Mataram di Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dalam masa pemerintahannya, tercatat kerja sama yang harmonis antar keempat dinasti tersebut.
Sunan Paku Buwono X dalam memerintah Kraton Surakarta didampingi oleh saudara kandungnya (Pangeran Sentana), maupun anak anaknya sendiri (Pangeran Putra). Hal ini adalah satu keniscayaan yang pasti terjadi di dalam pemerintahan kerajaan.
Di antaranya adalah Pangeran Arya Dipakusuma, cucu Paku Buwono IV, Pangeran Arya Cakranegara, cucu Paku Buwo-no VII, Pangeran Arya Suryaatmaja, cucu Paku Buwono VI, dan empat orang cucu Paku Buwono IX. Mereka adalah Pangeran Rangga Danupaya, Pangeran Arya Mataram, Pangeran Tumenggung Sindusena, dan Pangeran Panji Singasari.
Pangeran Arya Kusumadilaga, Pangeran Arya Mangkudiningrat, Pangeran Arya Hadiningrat, Pangeran Arya Mlayakusuma, Pangeran Arya Nata-praja dan Pangeran Arya Natadiningrat (Darsiti Soeratman, 1989: 22). Para pangeran tersebut memainkan peranan sosial politik yang sangat penting dan menjadi tanan kanan Sunan dalam berbagai kepentingan di luar urusan birokrasi kerajaan.
Pada tahun 1935, pangeran putra dalem berjumlah 10 orang, di samping itu terdapat 10 orang pangeran sentana.
Pada dasawarsa kedua abad XX, di dalam kraton masih terdapat sepuluh orang pangeran putra Paku Buwono IX. Empat di antaranya adalah saudara tua sunan (Darsiti Soeratman, 1989: 155). Mereka adalah Pangeran Arya Natakusuma; Pangeran Arya Prabuningrat, bersama Pangeran Hangabehi menjadi bekel putra sentana dalem, merangkap ketua Pengadilan Kadipaten Anom dan juga ketua Rijksraad; Pangeran Arya Kusumadiningrat, anggota Rijksraad, dan Pangeran Arya Purbadiningrat.
Rijksraad (Dewan Kerajaan), yang didirikan oleh Sunan Paku Buwono X pada 1905, beranggotakan tiga belas orang, terdiri atas putra putra Paku Buwono IX, beberapa pangeran putra raja yang sedang memerintah, ditambah dengan RMA Wuryaningrat bupati nayaka yang menjadi menantu Raja. Rijksraad juga berhak membahas masalah pengganti raja.
E. Prameswari Paku Buwana X
Silsilah Sunan Paku Buwono X. Lukisan Sunan Paku Buwono X dengan segala kebesaran . Terlihat sejumlah lencana pada ageman dalem. Lukisan Gusti Kanjeng Ratu Kencana, permaisuri Sunan Paku Buwono X. Sunan Paku Buwono X dan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Puteri Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Para raja Surakarta masih keturunan Dinasti Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit (Sindusastra, 1978: 19).
Demikian pula Sunan Paku Buwono X. Apabila dirunut, maka dapatlah disusun daftar silsilah sebagai berikut:
1. Prabu Brawijaya V Majapahit ( 1478)
2. Bondan Kejawan
3. Ki Getas Pandawa
4. Ki Ageng Sela
5. Ki Ageng Ngenis
6. Ki Ageng Pemanahan, menerima tanah perdikan Mataram.
7. Panembahan Senopati (1587 - 1601)
8. Prabu Hanyakrawati (1601 - 1613)
9. Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613 - 1645)
10. Sunan Amangkuat I (1645 - 1677)
11. Sunan Amangkuat II (1677– 1703)
12. Sunan Amangkuat III (1703 – 1708)
13. Sunan Paku Buwono I (1708 – 1719)
14. Sunan Amangkuat IV (1719 – 1726)
15. Sunan Paku Buwono II (1726 - 1749)
16. Sunan Paku Buwono III (1749 - 1788)
17. Sunan Paku Buwono IV (1788 - 1820)
18. Sunan Paku Buwono V (1820 - 1823)
19. Sunan Paku Buwono VI (1823 - 1830)
20. Sunan Paku Buwono VII (1830 - 1858)
21. Sunan Paku Buwono VIII (1858 - 1861)
22. Sunan Paku Buwono IX (1861 - 1893)
23. Sunan Paku Buwono X (1893 - 1939)
(Padmawarsita, 1953)
Prameswari dalem atau garwa padmi Sunan Paku Buwono X ada 2 yaitu:
1. Gusti Kanjeng Ratu Paku Buwono atau Raden Ajeng Sumarti, putri Mangkunegara IV, Surakarta, nikah hari Kamis Pon 20 Besar Alip 1819 atau 7 Agustus 1890, dalam usia 24 tahun
2. Gusti Kanjeng Ratu Mas atau Gusti Raden Ajeng Mursudarinah yakni putri Sultan Hamengku Buwono VII, Kraton Yogyakarta nikah hari Rabu Wage 17 Besar Jimawal 1845 atau 27 Oktober 1915, mempunyai seorang putri yakni Gusti Kanjeng Ratu Pembayun ( Puspaningrat, 1996: 14).
Selain itu Sunan Paku Buwono X mempunyai garwa ampeyan sebanyak 36 dan putra-putri dalem berjumlah 63. Adapun putra-putri Sunan Paku Buwono X adalah sebagai berikut:
1. GKR Alit
2. GRAy Singasari
3. GRAy Pergiwati
4. GRM Antasena (Sunan Paku Buwono XI)
5. KGPH Kusumayuda
6. GPH Natapura
7. GPH Natabrata
8. GRM Sutandar.
9. GPH Hadisurya
10. GRAy Arya Jayanegara
11. KG Panembahan Hadiwijaya Maharsi Tama
12. GRAy Adipati Paku Alam VII, GRAy Retnapuasa.
13. GRAy Tandanegara, GRAj Kusretna Fatimah.
14. GRAy Pawiradiningrat, GRAj Kuskhatijah
15. GPH Suryabrata, GRM Sumeh.
16. GRAy Sasradipura, GRAj Kusnah
17. GRAy Jayadiningrat, GRAj Kusyah
18. KGPH Kusumabrata, GRM Irawan.
19. GPH Demang Tanpa Nangkil, GRM Nawawi.
20. GRAj Kusmandinah.
21. GRAy Wuryaningrat, GRAj Kustantinah
22. GPH Hadinegara, GRM Rofiatun
23. GPH Purbanegara, GRM Sujana
24. GRAy Cakradiningrat, GRAj Kusindinah
25. GRAy Suryaningrat, GRAj Kusnapsiyah
26. GRAy Purnama Hadiningrat, GRAj Kussalbiyah
27. GPH Hadikusuma, GRM Sanitiyasa
28. GRM Sunata.
29. GRAy Suryanegara, GRAj Kusma’ani
30. GRAy Wiryadiningrat, GRAj Kus’aimah
31. GRAy Adipati Sasradiningrat, GRAj Kus’aisyah
32. GPH Surya Hamijaya, GRM Sudira
33. GRAy Adipati Sasranegara, GRAj Kustarinah
34. GRAy Suripta, GRAj Kusmartinah
35. Mr. KGPH Jaya Hadikusuma, GRM Sutijap
36. Ir. Mr. GPH Natakusuma, GRM Sahid.
37. GRAy Mangkuyuda, GRAj Kuspiyah
38. GRAy Cakrakusuma, GRAj Kussrinah
39. GRM Sangadi
40. GRAy Sartana, GRAj Kusmaknawiyah
41. GRM Ngaliman.
42. GRAy Susetya.
43. GRAy Natadilaga, GRAj Kustrinah
44. GRAj Kustrini.
45. GRAy Bratadiningrat, GRAj Kusdinah
46. Jenderal TNI GPAH Jati Kusuma, GRM Soebandana.
47. GPH Suryakusuma, GRM Suninta
48. GPH Cakraningrat, GRM Kasan
49. GPH Natapraja, GRM Kusen
50. GRM Suyitna
51. GKR Pambayun, GRAy Sekar Kedaton Kustiyah.
52. GRAy Pramukusuma, GRAj Kusduryatinah
53. Mr. GPH Puspakusuma, GRM Suranta
54. GRAy Kusumajati, GRAj Kusprapti
55. GRAy Natanegara, GRAj Kustimah
56. GRAj Kustikah.
57. GPH Mangkukusuma, GRM Suwardi
58. GPH Aryamataram, SH
59. GRAj Kusbandinah.
60. GPH Priyambada, GRM Subandriya
61. GRM Suwanta
62. GRM Sugandi
63. GPH Nyakrakusuma, GRM Subarja (Bratadiningrat, 1992).
Sunan Paku Buwono X adalah pejuang yang telah memberikan kontribusi nyata terhadap perintisan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai raja sebuah kerajaan berdaulat yang memerintah dua pertiga tanah Jawa, dalam rentang waktu yang sangat panjang, yakni 46 tahun, tentu memainkan peranan yang sangat penting sehubungan dengan interaksi bangsa Jawa terhadap bangsa bangsa asing khususnya Belanda dan Jepang.
Sunan Paku Buwono X telah menyorong masyarakat Jawa memasuki zaman baru. Masuknya zaman modernisasi yang berhembus dari bumi Eropa, dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan melakukan modernisasi di sebagian tanah Jawa yang dinaunginya, dengan Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya terhadap gerakan kaum republik juga semakin lama semakin membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan kraton disekolahkannya ke berbagai belahan dunia, telah kembali menjadi kader-kader perjuangan yang tangguh.
Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung dari para kerabat dan keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang telah dilakukan selama rentang waktu 46 tahun kepemimpinannya.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman yang disokongnya, ikut berubah pula situasi dan kondisi masyarakat. Ia sadar pula bahwa usianya sudah menjelang senja hari. Di lingkungan istana pun sudah terdengar pula sayub-sayub sanak kerabat membicarakan tentang suksesi di istana.
Awalnya pada tahun 1934, surat kabar Darmakandha berbahasa Melayu menampilkan tulisan berjudul Wahyu Cakraningrat (Darsiti Soeratman, 1989: 162). Dikemukakan bahwa setiap raja dalam memilih calon putra mahkota tidak semudah memilih anggota Regentschaps Raad (Dewan Kabupaten) atau Volksraad (Dewan Rakyat), karena pencalonan putra mahkota itu harus dihubung-lkan dengan wahyu kraton atau wahyu cakraningrat.
Walaupun pemerintahan Paku Buwono X sudah menginjak zaman baru, tetapi pemikiran tentang wahyu cakraningrat dihubungkan dengan calon pengganti raja, masih sangat kuat.
Sehubungan dengan pendapat itu, surat kabar itu menilai, bahwa apa yang dibahas dan diusulkan oleh berbagai pihak mengenai cara-cara penunjukkan putra mahkota yang mulai hangat waktu itu, hanya sampai pada tingkat lahiriahnya, sedang intinya belum tercakup. Hendaknya hal ini diserahkan kepada sunan yang telah memiliki pandangan yang bijaksana, atau Sunan Paku Buwono X sendiri. Diskusi disambut oleh Majalah Narpa Wandawa menyatakan sangat setuju dengan pendapat Darmakandha.
Disebutkan bahwa seorang putra mahkota yang selanjutnya akan diangkat menjadi raja, yang harus memikirkan rakyatnya, harus mendapat wahyu kraton, sebuah wahyu yang akan digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Wahyu di sini hendaknya diberi arti kelebihan.
Narpa Wandawa selanjutnya menambahkan bahwa siapapun di antara putra sunan yang menginginkan kedudukan pangeran adipati anom hendaknya tidak hanya tertarik pada kewibawaan yang akan diperoleh. Namun, segala sesuatu mengenai hal ini, sebaiknya diserahkan kepada sunan yang bijaksana.
Namun rupanya Sunan sudah melihat ke depan tentang nasib Negari Surakarta. Maka sampai ujung usianya, beliau tidak mengusulkan nama calon putra mahkota (Darsiti Soeratman, 1989: 162). Pada bulan Desember 1938, Sunan jatuh sakit, lalu pada 20 Februari 1939, Paku Buwono X wafat (Ricklefs, 1995: 89
Namun kehidupan harus terus berlangsung. Raja baru sebagai penerus harus ditentukan. Sumber-sumber menyebut nama Pangeran Hangabehi sebagai calon putra mahkota. Baru dua bulan kemudian, pada 26 April 1939, disepakati secara bulat, Pangeran Hangabehi dilantik menjadi Paku Buwono XI (Darsiti Soeratman, 1989: 90). Karaton Surakarta Hadiningrat tetap menjadi sumber inspirasi untuk membangun peradaban. Bersama elemen sosial lain, Karaton Surakarta Hadiningrat berjuang dalam bidang budaya. Rum kuncaraning bangsa dumunung ing luhuring budaya.
Perjuangan Sinuwun Paku Buwana X diakui Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional. Jasa dan perjuangannya menjadi suri teladan.
Ratu Sumarti Paku Buwana X berjasa besar. Putri Sri Mangkunegara IV pelopor usaha pabrik gula. Prameswari Sunan Paku Buwana X wunastan mustikane putri, tetunggule widodari.
Komentar
Posting Komentar