KONSEP MORAL DALAM SERAT BIMA SUCI
KARYA YASADIPURA I
KATA PENGANTAR
Midering rat angelangut
Lelana njajah negari
Mubeng tepining samudra
Andosok wana wasa
Tumurun ing jurang terbis
Selama 23 tahun, tanpa selang-seling saya menjadi gelandangan di
sekolah, dengan irama datar. Dari kota Nganjuk yang berbeteng Gunung Wilis,
Gunung Kendheng, dan Gunung Pandan saya merantau ke kota Yogyakarta untuk
berguru di Pawiyatan Luhur UGM, Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat.
Sejak gagat rahina, saya cepat-cepat melangkah enjing bidhal gumuruh,
berangkat ke kampus dengan rute Selokan Mataram sambil narabas ing mega
mendhung, mubeng ngideri jagat, ngulandara lelana ngunggahi gunung,
katungkul ngumbar gagasan satemah ginawa ngimpi. Sebuah lakon yang belum
selesai dan tidak akan pernah selesai.
Sesuai dengan tata krama akademik perkenankanlah saya mengucapkan
terima kasih kepada Rektor UGM, Dekan Fakultas Filsafat, dan Dekan Fakultas
Sastra beserta jajarannya yang telah membantu saya untuk menempuh pendidikan
sarjana, magister dan doktor dengan penuh kelapangan.
Kepada Promotor Ibu Prof. Dr. Hj. Endang Daruni Asdi, saya
mengucapkan matur nuwun, dan sungkem pangabekti. Setiap seminggu sekali,
pagi hari antara jam 6.00 - 8.00 saya mendapat bimbingan intensif di Padhepokan
Pandega Karya 8. Hubungan guru murid yang hangat dan ajaib sungguh
menggairahkan hidup saya. Perjalanan menuju - Karangwuni yang saya tempuh
dengan pit-pitan yang berhias tas plastik lawas, saya merasakan seolah-olah
sedang sowan ke pertapan Saptoharga.
Kepada Bapak Dr. Damardjati Supadjar, Rektor Universitas Jagad Raya,
keparenga kawula ngaturaken gunging panuwun ingkang tanpa pepindhan.
Panjenengan sampun anggulawenthah kawula kanthi legawaning penggalih. Di
mana dan kapan saja, setiap menghadap Paka Damardjati, saya selalu mendapat
tontonan dan tuntunan, kebijakan-kebijakan, konsep, rekreasi dan
serutama-sarutama.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Panitia Penguji Disertasi
yaitu Prof. Drs. Marsono, SU., Prof. Dr. Lasiyo, MA, dan Prof. Dr. R Sujadi, SH,
SU., yang sudah bekerja keras demi kesempurnaan kualitas Disertasi. Dalam hati
saya was-was dan sedikit malu, kepada tim penguji karena setelah saya teliti ada
saja kekeliruan akibat kemalasan dan kecerobohan.
Rasa haru, trenyuh, bekti dan pasrah sumarah saya persembahkan kepada
keluarga Bapak Rasyid Baswedan, Bapak Samhari Baswedan dan Mas Anies
Baswedan. Hutang budi saua kepada keluarga Baswedan yang berupa dorongan
material spiritual sungguh tidak mungkin akan dapat saya bayar. Hanya saja saya
akan berjanji kepada keluarga ini bahwa saya akan terus belajar dan berkarya di
bidang seni budaya selama hayat dikandung badan.
Tokoh pemikir lain yang tidak akan pernah saya lupakan yaitu Prof. Dr.
Jimly Asshidiqie, MA., guru Besar Hukum UI dan pengurus Habibie Center yang
telah bersedia membantu belajar saya paad program magister dan doktor. Pak
Jimly sudah memberi jalan hidup yang berharga buat saya.
Kelancaran pendidikan doktor saya juga berkat uluran tangan Bapak Drs.
H. Solichin, Ketua Umum Sekretariat Pewayangan Nasional Indonesia
(SENAWANG) dan mantan Sekretaris Menteri Wasbangpan. Wejangan dan
sokongan yang sangat gamblang dari Pak Solichin ibarat setetes embun di terik
matahari. Semangat saya senantiasa bergelora tiap kali bertemu dengan Pak
Solichin.
Sahabat karib yang harus saja junjung harkat dan martabatnya yaitu
Nuswantoro. Kyai Nuswantoro adalah proklamator doktor saya. Ketika semangat
saya lesu tahun 1998, Kyai Nuswantoro itulah yang membangkitkan dengan
analisis pribadi yang argumentatif. Kepihakan dan kejelianmu patut dikagumi.
Para bidadari agung, Herma, Rita, Dina, Diah, Betha, Tintin, Yuni, Ana,
Ratna, Eni, Pedi, Rafi, Fiki, Sari, Ulfa, dan Wikan yang sangat setiap dan berbakti
sungguh membekas di hati. Semoga bahagia dan lancar jodoh
Secara kelembagaan saya harus mengucapkan terima kasih kepada Jamaah
Shalahuddin, Balairung Bulaksumur, UKM, HMI, PMII, KM, BEM, SM, IDEA,
Media Presindo Sandikata, PDIP, PK, Golkar, PAN, PBB, Kobinde, Puskesling,
IRE, Yayasan Alif, CSCD, KUAK, Senawangi dan Lembaga Jawa Kuno. Semua
organisasi ini semoga menjadi soko guru sosial yang kokoh.
Dalam bentuk kekeluargaan perlu saya sebut di sini yaitu keluarga Bapak
Masruki, Bapak Haryana, Ibu Syaefullah, Mas Suprih, Mas Tio, Mas Mustakhin,
Pak Misran, Mas Pujo, dan Pak Djoko Suryo. Ikatan batin merembes ke seluruh
jaringan keluarga.
Kawan-kawan yang gigih dengan dukungan yang berarti Yanuardi, Nasir,
Timbul, Akuat, Awali Yasin, Chowzin, Ebo, Bramantyo, Samidi, Mamad,
Katiman, Risna, Arie Djito, Edi Dwi Efendi, Ari-Laca, Mas Broto, Kyai
Triyatmo, Mas Wahid, Mas Ikbal, Mas Najib, Hermawan, Agussalim, Ida, Bandi,
Nusam, Mas Rudi Wahyono, Isma Hudayana, Nita, Supriyadi, Elan, Rika, Hari
Jumanto, Idham, Alfan, Ganjar, Nurul Huda dan Haris. Walaupun kecil, mereka
telah menyumbangkan material dan spiritual yang ikhlas, bersahabat dan egaliter.
Saya sungguh beruntung karena kedua orang tua (Pak Ridjan dan Mbok
Yatinem) memanjakan saya untuk meguru dengan sangat leluasa. Seingat saya
wiwit
kuncung nganti gelung dalam soal sekolah mendapat prioritas utama dan
terutama, meskipun untuk urusan lain sangat birokratis. Untuk adik saya Partini
saya juga bergembira, karena selama ini tidak pernah bikin repot sama sekali.
Bahkan kalau saya hitung-hitung dalam keluarga yang hanya empat orang itu,
sayalah yang sok kuasa dan pek menange dhewe.
Apabila ada pihak yang berjasa terhadap proses belajar program doktor
belum disebut namanya, saya benar-benar menyesal dan rela minta maaf. Yang
jelas, saya sudah berusaha dengan membolak-balik catatan harian, kalau masih
ada yang tertinggal, tentu merupakan suatu hal yang di luar kemampuan saya.
Sekali lagi saya nyuwun pangaksama.
Ada tokoh legendaris yang selalu membahagiakan dan memberi inspirasi
saya. Dia adalah Putri Tambang Raras. Segala kekecewaanmu saya bisa
memahami. Terus terang, untuk urusan tertentu saya menghitung-hitung, sehingga
tidak ada keputusan yang jelas. Sumber mala petaka berawal dari saya. Nyuwun
pangapuntin, nggih.
Setelah memaparkan atur panuwun diatas, sebenarnya saya ada perasaan
tidak rela. Banyak kawan-kawan saya yang cemerlang otaknya, namun terganjal
karier pendidikanya. Seumpama manajemen pendidikan di indonesia itu terbuka
dan efektif, tentulah sudah membuahkan kualitas doktor yang produktif dan
berlimpah ruah.
Dengan selesainya pendidikan formal, sejak SD hingga program doktor
ini, saya berkewajiban untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu
pengetahuan yang saya peroleh. Saya berjanji akan menulis setiap semester tiga
buku, dengan topik kebudayaan Jawa, Nusantara dan Asia Tenggara. Saya akan
berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan gagasan itu.
Akhirnya saya mengucapkan matur nuwun dan nyuwun pangestu demi
perjuangan selanjutnya.
Yogyakarta, 27 Desember 2001
Rabu Pahing 1 Syawal 1421 H
Purwadi
INTISARI
Krisis multidimensi yang terjadi pada masa Mataram menyebabkan
kerajaan itu terpecah-pecah menjadi empat yaitu: Kraton Surakarta, Kraton
Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Para raja Jawa dan elit
pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti lagi. Kedudukan raja
hanya sebagai simbol belaka, tanpa wibawa kekuasaan. Penderitaan politik dan
ekonomi mereka atasi dengan mengalihkan perhatian publik ke arah sastra, seni,
dan budaya yang bermuatan etik dan mistik. Salah satu karya sastra yang
mengandung unsur etik dan mistik itu adalah Sêrat Bima Suci.
Sêrat Bima Suci diciptakan Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta.
Secara historis Sêrat Bima Suci berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu
Siwamurti pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan
karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindu. Sêrat Bima Suci
merupakan perpaduan antara sastra mistik yang mengandung paham asli
Jawa-Hindu, dan Islam.
Keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam menjadi tema
pokok Sêrat Bima Suci. Hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersifat
teologis tercermin dalam ungkapan manunggaling kawula gusti dan curiga
manjing warangka. Hubungan manusia dengan alam yang bersifat
antropoekologis tercermin dalam ungkapan, mangasah mingising budi, mamasuh
malaning bumi, dan memayu hayuning bawana, yang bermuara pada
pembentukan jalma sulaksana, insan kamil, sarira bathara, manusia paripurna
yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, dan kepala-dadanya.
Ungkapan mati sajroning ngaurip dalam Sêrat Bima Suci memberi isyarat
persuasif kepada manusia agar selalu éling lan waspada, bersahaja,
mengendalikan diri, mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia lara lapa
tapa brata dan bersyukur meskipun berkesempitan. Perjuangan hidup di alam
padang yang fana ini dalam Sêrat Bima Suci berkaitan dengan usaha untuk
memahami sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan kehidupan, yaitu
khusnul khatimah atau akhir perjalanan hidup yang membahagiakan.
Pembinaan pribadi manusia paripurna dalam Sêrat Bima Suci dianjurkan
dengan melaksanakan syariat-tarikat-hakikat-makrifat, sêmbah raga-sêmbah
cipta-sêmbah jiwa-sêmbah rasa. Keempat laku itu senantiasa dihalangi oleh nafsu
manusia yaitu amarah- lawwamah-sufiyah, polemos-egocentros-eros. Hanya
nafsu mutmainah atau religius yang mendukung keutamaan laku mulia, sehingga
manusia selamat dalam meniti empat tujuan hidupnya:
kama-artha-dharma-moksa, kenikmatan-kesejahteraan-ketertiban-kelepasan, yang
harus dilalui dengan ujian dan cobaan, derita dan air mata.
Problematika kehidupan yang silih berganti menurut Sêrat Bima Suci
harus diselesaikan dengan cara arif bijaksana, tepat guna, hasil guna, efektif
efisien, profesional sufistik, dan humanistik religius sebagaimana personifikasi
tokoh Bima yang telah mencapai derajat satria pinandhita, yang bertekad tapa
ngramé atau menjalankan kerja sosial dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan.
Kepaduan antara ilmu-amal, cipta-rasa, dan karsa-karya merupakan ekuilibrium
untuk menata masa depan yang lebih cemerlang. Refleksi atas eksistensi etis
filosofis Sêrat Bima Suci ini merupakan salah satu tawaran problem solving
terhadap permasalahan kontemporer dalam konteks sosiohistoris.
ABSTRACT
Multidimention crisis had caused Kraton Mataram to be four small
kingdoms. They are Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunegaran
and Pura Pakualaman. The kings of Java hadn’t had power significantly. Their
position only as symbol, without charisma of authority. Politic and economic
suffering had pushed them to transfer public attention to literature, art, and culture
that fill ethic and mystic. The literature that fill ethic and mystic is Sêrat Bima
Suci.
Sêrat Bima Suci was created by Yasadipura I in the beginning period of
Kraton Surakarta. Historically Sêrat Bima Suci is still related with kitab Nawaruci
that was created by Empu Siwamurti in the end period of Majapahit Kingdom.
Kitab Nawaruci is a literature of Javanese mystic that get influence from
Hinduism doctrine. Sêrat Bima Suci is a literature of mystic that has acculturation
between Javanism, Hinduism, and Islamism.
The harmonity of relation between Got, human and world become central
theme of Sêrat Bima Suci. The relation among human and God theologically has
said as expression at manunggaling kawula gusti and curiga manjing warangka.
The relation among human and world anthropoecologically has said as expression
of mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi, and memayu hayuning
bawana that move to formation of jalma sulaksana, insan kamil, sarira bathara, a
perfect human that has balanced life between lahir batin, jiwa-raga,
intellectual-spiritual, and head-heart.
The expression of mati sajroning ngaurip in Sêrat Bima Suci gives
persuasive signal to men so that they always eling lan waspada, simple,
introspection, to avoid enjoyment of material, to do lara lapa tapa brata and
happy although they are sad. The struggle of life in the world according to Sêrat
Bima Suci connect with the effort to understand sangkan paraning dumadi or
from and to where this life, that is khusnul khatimah or the happy ending life.
The education of perfect human character according to Sêrat Bima Suci is
ordered with to do syariat-tarikat-hakikat-makrifat, sêmbah raga-sêmbah
cipta-sêmbah jiwa-sêmbah rasa. The four of doctrine are always troubled by
human insting. They are nafsu
amarah-lawwamah-sufiyah,
polemos-egocentros-eros. It is only insting of mutmainah or religious that support
the good behavior, so that men get safety in reaching the purpose of their life.
There are kama-artha-dharma-moksa, enjoyment-prosperity-law-freedom, that all
of them ought to do with examination of life. There is suffering and difficulty.
Some problems of life according to Sêrat Bima Suci must be solved by
wisdom, effectively, efficiently, sufistic professional and religious humanistic as
personification of figure Bima that reach degree as satria pinandita, that always
do tapa ngramé or do social work religiously. The unity between ilmu-amal,
cipta-rasa, karsa-karya is the equilibrium to arrange the better future. The
reflection of ethical philosophy existention of Sêrat Bima Suci is one of discourses
of problem solving to some contemporary problems in sociohistory context.
RINGKASAN
Pertumbuhan kesusasteraan Jawa sudah dikenal secara luas dan selang
waktu yang cukup lama. Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Candakarana
yang dibuat pada masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka
dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Sêrat
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi
(Poerbatjaraka, 1957: 1-2). Kemudian ditemukan pula sebuah prasasti
peninggalan raja Balitung pada tahun 907 yang menceritakan Kisah Bhima
Kumara dan Ramayana. Dalam beberapa teks kuno itu juga disebutkan seorang
dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Profesionalitas
seniman dipacu oleh penghargaan material yang layak demi produktivitas dan
kreativitasnya.
Di samping kemakmuran dan kejayaan pada suatu negeri, yang
mengilhami pengarang adalah peristiwa yang mengandung unsur heroisme tinggi.
Kepahlawanan Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan memberi inspirasi bagi
Êmpu Kanwa untuk menciptakan karya agung, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha,
yang ceritanya terkenal hingga sekarang.
Êmpu Sedan dan Êmpu Panuluh mengarang Kakawin Bharatayuddha,
yang menceritakan kisah peperangan besar antara keluarga Pandawa dengan
Kurawa. Kitab Bharatayuddha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, raja
Kediri (Daha) yang disebut dalam tiga prasasti tahun 1135, 1136 dan 1144.
Prasasti itu menyebut nama pribadi Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, atau
Jayabhayalaksana dan memakai nama penobatan Sri Warmeswara. Prabu
Jayabhaya meninggal tahun 1157 setelah menyerahkan tahtanya kepada Sri
Sarweswara (Zoetmulder, 1985: 342).
Kecuali mengarang kitab Bharatayuddha sebagai kelanjutan karya Êmpu
sedah, Êmpu Panuluh juga mengarang kitab Hariwangsa atas restu Prabu
Jayabhaya karya Êmpu Panuluh lainnya, yaitu kitab Gathotkacasraya
(Zoetmulder, 1985: 345-346). Sêrat Hariwangsa berisi tentang kisah romantika
percintaan antara Kresna dengan Dewi Rukmini. Sêrat Gathotkacasray
RINGKASAN
Pertumbuhan kesusasteraan Jawa sudah dikenal secara luas dan selang
waktu yang cukup lama. Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Candakarana
yang dibuat pada masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka
dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Sêrat
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi
(Poerbatjaraka, 1957: 1-2). Kemudian ditemukan pula sebuah prasasti
peninggalan raja Balitung pada tahun 907 yang menceritakan Kisah Bhima
Kumara dan Ramayana. Dalam beberapa teks kuno itu juga disebutkan seorang
dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Profesionalitas
seniman dipacu oleh penghargaan material yang layak demi produktivitas dan
kreativitasnya.
Di samping kemakmuran dan kejayaan pada suatu negeri, yang
mengilhami pengarang adalah peristiwa yang mengandung unsur heroisme tinggi.
Kepahlawanan Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan memberi inspirasi bagi
Êmpu Kanwa untuk menciptakan karya agung, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha,
yang ceritanya terkenal hingga sekarang.
Êmpu Sedan dan Êmpu Panuluh mengarang Kakawin Bharatayuddha,
yang menceritakan kisah peperangan besar antara keluarga Pandawa dengan
Kurawa. Kitab Bharatayuddha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, raja
Kediri (Daha) yang disebut dalam tiga prasasti tahun 1135, 1136 dan 1144.
Prasasti itu menyebut nama pribadi Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, atau
Jayabhayalaksana dan memakai nama penobatan Sri Warmeswara. Prabu
Jayabhaya meninggal tahun 1157 setelah menyerahkan tahtanya kepada Sri
Sarweswara (Zoetmulder, 1985: 342).
Kecuali mengarang kitab Bharatayuddha sebagai kelanjutan karya Êmpu
sedah, Êmpu Panuluh juga mengarang kitab Hariwangsa atas restu Prabu
Jayabhaya karya Êmpu Panuluh lainnya, yaitu kitab Gathotkacasraya
(Zoetmulder, 1985: 345-346). Sêrat Hariwangsa berisi tentang kisah romantika
percintaan antara Kresna dengan Dewi Rukmini. Sêrat Gathotkacasray
menceritakan kisah Gathotkaca yang membantu percintaan Abimanyu dengan Siti
Sendari.
Pada zaman Ken Arok memerintah dengan gelar Prabu Girindrawangsaja,
Êmpu Tanakung mengarang kitab Wrêttasancaya dan Lubdhaka. Dengan
demikian kitab Wrêttasancaya dan Lubdaka ditulis setelah kekuasaan berpindah
dari Kediri ke Tumapel sekitar tahun 1144 Çaka atau 1222 Masehi (Poerbatjaraka,
1957: 34-37). Sêrat Wrêttasancaya berisi tentang pelajaran persajakan, metrum
sêkar agêng, dan contoh-contohnya. Sebagian isi Sêrat Wrêttasancaya itu
dikutip dalam Sêrat Ajipamasa karangan Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957:
34). Sêrat Lubdhaka berisi tentang kisah seorang pemburu yang berprofesi hina
menurut pandangan agama, namun dia dapat masuk dalam surga nirwana.
Kitab Nagarakrêtagama ditulis oleh Êmpu Prapanca sekitar tahun 1287
Çaka atau 1365, pada masa Prabu Hayamwuruk memerintah Kerajaan Majapahit.
Kitab lain yang ditulis pada masa prabu Hayamwuruk, yaitu kitab Arjunawiwaha
dan kitab Sutasoma atau Purusada Santa. Keduanya karya Êmpu Tantular
(Poerbatjaraka, 1957: 39-45). Sêrat Nagarakrêtagama berisi tentang laporan
perjalanan Prabu Hayamwuruk yang sedang inspeksi ke daerah-daerah, pedoman
tata cara upacara, tuntunan budi pekerti luhur dan metode mengatur tata
pemerintahan yang baik. Sêrat Arjunawiwaha mengisahkan peperangan antara
Prabu Dasamuka dengan Prabu Danaraja dan Prabu Sri Arjuna Sasrabahu. Sêrat
Sutasoma mengisahkan perjalanan spiritual seorang pangeran dan putra mahkota
kerajaan Astina, putra Prabu Mahaketu yang bernama Raden Sutasoma. Raden
Sutasoma adalah titisan Sang Hyang Buddha.
Perbendaharaan kesusasteraan Jawa bertambah dinamis setelah agama
Islam masuk ke bumi Nusantara yang disebarkan oleh para ulama dan saudagar
kaya. Paham tasawuf cukup mewarnai isi kesusasteraan Jawa. Para raja baru
yang telah memeluk Agama Islam seperti raja-raja Demak, Pajang dan Mataram
cukup aktif mendukung perkembangan sastra Islam. Kerja sama antara raja
dengan pengarang ini memunculkan adanya istilah Pujangga Istana, sehingga
karya sastranya kadang-kadang terpengaruh oleh kepentingan politik kraton.
Sebagian pujangga istana itu sadar akan posisinya, sehingga sorotan masyarakat
yang agak sinis dapat dihindari. Untuk menjaga idealismenya, pujangga istana itu
menyampaikan gagasannya lewat sasmita atau pêrlambang yang santun dan
halus.
Kehidupan kefilsafatan dalam kesusasteraan Jawa pada masa awal
kerajaan Surakarta mengalami masa keemasan. Kegairahan untuk menciptakan,
menggubah, dan menyadur karya sastra ini adalah hasil dari ketenangan politik
akibat perjanjian Giyanti dan Salatiga (Drewes, 1977: 199-201). Rupa-rupanya
nilai sastra dan budaya pada masa tersebut juga dimanfaatkan dalam kegiatan
diplomasi (Sudewa, 1995: 243).
Kurun waktu antara tahun 1743-1830 terdapat sejumlah raja dan pujangga
yang cukup produktif, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan kesusasteraan.
Para raja yang terlibat aktif di antaranya Sunan Paku Buwana III, Sunan Paku
Buwana IV, Sunan Paku Buwana V, dan K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Mereka
juga bersemangat dalam hal ulah rasa dan sastra. Demikian pula pujangga
Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita adalah pelopor dunia
kesusasteraan. Karya-karya mereka hingga saat ini masih dikenang, dinikmati,
dan diapresiasi secara berkelanjutan oleh masyarakat Jawa.
Karya sastra pada zaman itu dapat bertahan dan lestari sampai saat ini
karena unggul kualitas etis dan estetisnya, sehingga mendorong pembacanya
untuk melakukan refleksi dan kontemplasi yang dapat mencerahkan dan
menggairahkan kehidupan spiritualnya.
Studi sejarah Jawa kuno secara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804,
dengan ditemukannya prasasti Sukabumi yang berbunyi: Pada tahun 726
penanggalan Çaka, dalam bulan Çaitra, pada hari kesebelas paro têrang, pada
hari haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wagê atau hari
keempat dalam minggu berhari lima, saniscara atau hari ketujuh dalam minggu
yang berhari tujuh (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat berharga berkaitan
dengan validitas sumber penulisan historiografi lokal pada khususnya, sejarah
nasional pada umumnya.
Pada tahun 930 pengaruh kekuasaan Jawa Tengah bergeser ke arah Jawa
Timur. Wangsa yang sedang memerintah semula berkedudukan di Lembah Kali
Brantas, bagian hulu. Pendirinya adalah Sindok, keturunan raja Jawa Tengah
terakhir. Pada masa pemerintahan Êmpu Sindok antara tahun 851 – 809 Çaka atau
929 – 947 Masehi, dikaranglah sebuah kitab Budha Mahayana yang bernama
Sang Hyang Kamahayanikam. Sezaman dengan kitab ini adalah Kitab
Brahmandapuruna, sebuah kitab agama Siwah (Poerbatjaraka, 1957: 5-6). J.
Kats (1910) mengatakan bahwa Sêrat Sang Hyang Kamahayanikam ini banyak
berbahasa Sansekerta yang dideskripsikan dalam bentuk bahasa Jawa Kuno.
Cerita tentang dewa-dewanya mirip dengan relief candi Borobudur. Sêrat Sang
Hyang Kamahanikam juga menjelaskan tata cara bersemedi. Sêrat
Brahmandapuruma berisi tentang kosmologi, kosmogoni, sejarah para resi, dan
cerita pertikaian antar kasta (Gonda, 1933: 329).
Prabu Dharmawangsa Teguh yang memerintah antara tahun 913-929 Çaka
atau 991-1007 Masehi, pustaka sastra Jawa berkembang pesat sekali. Karya sastra
yang diproduksi antara lain Sêrat Mahabharata, Uttarakanda, Adiparwa,
Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa,
Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohana-parwa, dan Kunjarakarna
(Poerbatjaraka, 1957: 7-140). Cerita-cerita parwa ini merupakan derivasi dari
ephos Mahabharata.
Kerajaan Medang ini mengalami musibah besar pada tahun 1016, yang
berupa serangan dari kerajaan asing. Waktu itu yang memerintah adalah Raja
Teguh Dharmawangsa. Kerajaan Medang mengalami bencana besar tak
terduga-duga pada tahun 1016. Dalam suatu serangan dari kerajaan Worawari,
raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramat-tunggadewa jatuh pralaya sampai
gugur dan untuk sementara kerajaannya jatuh di tangan musuh.
Menantu sang raja yang bernama Airlangga, putra mahkota raja Udayana
dari Bali, telah berhasil melakukan konsolidasi untuk menyelamatkan kerajaan
warisan mertuanya. Kerajaan Medang kemudian diubah namanya menjadi
kerajaan Kahuripan. Ketentraman kerajaan dapat dipulihkan oleh Airlangga,
menantu raja Dharmawangsa, yang berasal dari Bali sebagai putra Udayana.
Pada masa raja Airlangga ini disusun kitab Arjunawiwaha. Pengarangnya
adalah Mpu Kanwa, sebagai persembahan pada raja Airlangga yang berjuang
memulihkan stabilitas negara antara tahun 1028-1035 dan mengalahkan raja
Wengker. Maklumatnya yang terakhir ditulis pada tahun 1042 Masehi
(Zoetmulder, 1985: 309). Raja Airlangga bertahta sekitar tahun 941-964 Çaka
atau 1019-1042 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 17). Raja Airlangga menjelang
mangkatnya membagi kerajaan menjadi dua penghubung, Jenggala dan Kediri
(Zoetmulder, 1985: 22). Keteladanan Airlangga secara etis filosofis diibaratkan
dengan kisah Arjuna yang sedang memerangi Prabu Nitakawaca yang mempunyai
sifat jahat.
Pada zaman Prabu Warsajaya memerintah di kerajaan Kediri sekitar tahun
1026 Çaka atau 1104 Masehi, ada dua pujangga yaitu Êmpu Triguna
menciptakan Sêrat Krêsnayana dan Êmpu Manoguna menciptakan Sêrat
Sumanasantaka (Poerbatjaraka, 1957: 17-20). Sêrat Krêsnayana berisi tentang
kisah percintaan antara Kresna dengan Rukmini. Sêrat Sumanasantaka berisi
tentang kisah Kelahiran Prabu Dasarata di negeri Ayodya. Kedua cerita ini
memberi teladan moralis bahwa kejahatan pada akhirnya dikalahkan oleh
kejujuran.
Kitab Smaradahana ditulis oleh Êmpu Darmaja pada masa pemerintahan
Prabu Kameswara tahun 1037-1052 Çaka atau 1115-1130 Masehi. Seangkatan
dengan penciptaan kitab Smaradahana adalah kitab Bhomakawya (Poerbatjaraka,
1957: 20-24). Sêrat Smaradahana menceritakan kisah tentang Batara Kamajaya
yang sedang kasmaran. Sêrat Bhomakawya menceritakan peperangan antara
Kresna dengan Bhoma. Secara filosofis kisah ini memberi pelajaran bahwa sifat
serakah dan angkara tidak akan pernah abadi.
Pada zaman Majapahit perkembangan kitab-kitab kesusasteraan pesat
sekali. Misalnya Parthayadnya, Nitiçastra, Nirarthaprakrêta, Dharmaçunya,
Hariçraya, Tantu Panggêlaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawaçrama,
Pararaton, Déwaruci, Sudamala Kidung Subrata, Panji angrèni dan Sri Tanjung.
Karya sastra pada zaman Majapahit itu terdiri dari kitab-kitab Jawa Kuno yang
tergolong muda dan sebagian lagi berbahasa Jawa Tengahan. Kitab-kitab ini juga
memberi pedoman tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan moralitas
kenegaraan.
Kerajaan Demak diperintah oleh Raden Patah dengan gelar Sultan Sah
Alam Akbar tahun 1478-1518, Adipati Yunus atau Pangèran Sabrang Lor tahun
1520-1521 dengan dukungan para wali yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan
Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan
Muria dan Sunan Gunungjati. Mereka gemar dengan kesenian dan budaya daerah.
Mereka menyempurnakan bentuk dan lakon wayang agar tidak bertentangan
dengan agama Islam (Haryanto, 1988: 201-202).
Konflik syariat pada zaman Demak sudah ada, sebagaimana diceritakan
dalam Suluk Malang Sumirang. Isinya tentang pertentangan antara ahli syariat
dengan ahli ma’rifat. Kitab Suluk Malang Sumirang ini karya Sunan Bonang.
Ketegangan pada Suluk Malang Sumirang berkaitan dengan teks-teks agama yang
penuh dengan interpretasi dan perdebatan (Drewes, 1977: 97). Kitab-kitab ini
sudah mendapat pengaruh ajaran yang bersumber dari filsafat Islam.
Manusia yang mempunyai kesadaran tinggi atau high consciousness dan
kesadaran alam atau cosmic consciousness dapat melihat bentuk rohani,
bagian-bagian serta sifat-sifatnya, seperti manusia melihat dunia nyata (Paryana,
1993: 183). Tiap-tiap benda mempunyai inti atau nucleus. Budi itu ibarat inti
rohani yang tempatnya ada di tengah, jatuhnya bersamaan dengan titik berat atau
zwaartepunt badan. Budi dalam tasawuf Islam disebut al-Qalbu. Qalbu lahir
adalah jantung dan qalbu batin adalah budi. Jantung pemompa darah ke seluruh
tubuh untuk menghidupkannya, budi merupakan pemompa tenaga ke seluruh
rohani untuk menggerakkannya. Budi dalam ilmu kejawen dikiaskan sebagai obor
atau pelita yang dapat menyinari akal, kalau diri sedang bebas dari segala bentuk
kekacauan (Paryana, 1993: 184-18).
Dalam bidang budaya Panêmbahan Senapati menyempurnakan bentuk
wayang dengan tatahan gempuran (Haryanto, 1988: 204). Pada zaman Sinuhun
Sêkar Seda Krapyak, ayahanda Sultan Agung, terbit Suluk Wijil tahun 1529 Çaka
atau 1607 Masehi dan Sêrat Nitisruti tahun 1534 atau 1612 Masehi
(Poerbatjaraka, 1957: 94-100). Jasa Panêmbahan Seda Krapyak 1601-1618) dalam
bidang kebudayaan adalah berusaha untuk menyusun sejarah negeri Demak, dan
penulisan beberapa kitab Suluk (Ricklefs, 1974: 14). Misalnya Suluk Wujil yang
berisi wejangan mistik Sunan Bonang kepada abdi kekasih raja Majapahit yang
bernama Wujil. Sêrat Nitisruti ciptaan Pangèran Karanggayam yang berisi tentang
tuntunan budi pekerti luhur dan kandungan mistik.
Kata Sêrat mengandung arti tulisan (Mardiwarsito, 1978: 307). Istilah
Sêrat banyak digunakan dalam khasanah sastra Jawa, misalnya Sêrat Wédhatama,
Sêrat Rama, Sêrat Tripama, dan Sêrat Nitisastra. Dalam budaya Jawa, yang
disebut karya sastra adalah semua karya yang disampaikan dengan bahasa indah
atau basa rinêngga. Karya etika, hukum, agama, moral dan rekaan, asalkan
disajikan dengan bahasa indah dapat disebut sebagai karya sastra (Padmosukotjo,
1960: 12). Kemampuan seorang pujangga menuangkan isi pikirannya dalam
bentuk bahasa tulis yang indah merupakan syarat untuk mendapatkan pengakuan.
Kemampuan seorang pujangga menuangkan isi pikirannya dalam bentuk bahasa
tulis yang indah merupakan syarat untuk mendapatkan pengakuan dari
masyarakat.
Sastra atau Çastera berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau
bahasa yang indah, yaitu hasil ciptaan bahasa yang indah. Kesusasteraan adalah
pengetahuan mengenai hasil seni bahasa, perwujudan getaran jiwa dalam bentuk
tulisan (Simanjuntak dan Simorangkir, 1959: 7). Kesusasteraan atau kesenian
bahasa atau seni sastra adalah kesenian suatu bangsa dalam melahirkan pikiran,
perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya (Gozali, 1958: 12).
Mengutip pendapat Horace seni itu sifatnya dulce et utile yang berarti
menyenangkan dan bermanfaat (Wellek, 1955: 18). Bila ada karya sastra yang
tidak memenuhi hakikat fungsinya, yaitu dulce et utile, berarti sastra itu kurang
bermutu. Karya sastra yang demikian itu lama-kelamaan akan lenyap dengan
sendirinya, karena mudah dilupakan orang. Karya sastra yang mengandung dulce
et utile akan dikenang sepanjang zaman. Contoh cerita Ramayana dan Mahabarata
hingga kini tetap diminati dan dinikmati oleh masyarakat karena kualitas etika dan
estetikanya (Pradopo, 1988: 58). Kitab-kitab itu berbeda sekali bila dibandingkan
dengan seni pop yang cepat membosankan, meskipun pada awalnya mendapat
sambutan meriah.
Istilah bahasa Jawa èdi pèni pengertiannya mirip dengan istilah Latin
sublimus, yang bermakna keindahan yang memuncak (Mulyana, 1956: 16).
Keindahan dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetis seseorang
dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Pencerapan itu dapat
secara visual menurut penglihatan, secara audial menurut pendengaran, dan secara
intelektual menurut kecerdasan. Contohnya seseorang yang dapat menikmati
sajak-sajak yang indah (Gie, 1995: 18). Sajak-sajak yang mengandung makna etik
estetik katarsis kadang kala dapat menguras air mata bagi pemerhatinya.
Setiap masyarakat mempunyai sistem konvensi penulisan dan penceritaan
yang berbeda-beda sifatnya. Ada konvensi yang formal, misalnya dalam soneta,
syair, kakawin, dan macapat. Konvensi lain dalam segi isi, misalnya roman
sejarah dengan roman detektif, puisi lirik dengan puisi epik. Sistem itu sifatnya
mengikat, namun juga menumbuhkan daya kreativitas. Sistem itu tidaklah kaku
ketat, melainkan bersifat fleksibel, longgar, dan leluasa, baik secara sinkronik
maupun diakronik. Secara sinkronik terbukti pengarang dalam batas tertentu
mempunyai kebebasan memiliki kebebasan menyimpang dari konvensi untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ingin dituturkan. Contohnya lagu
parikan pada ludruk yang merupakan seni drama tradisional Jawa Timur. Secara
diakronik sistem semacam itu ternyata senantiasa mengalami perubahan di
sepanjang masa. Contohnya puisi dalam khasanah kesusateraan Jawa yaitu:
kakawin, kidung, macapat, dan gêguritan (Darusuprapta, 1984: 27).
Pengetian suci yaitu bersih, kudus, tidak berdosa, tidak tercela, tidak
ternoda, nirmala, keramat dan murni (Poerwadarminta, 1985: 862). Dengan
demikian pengertian Sêrat Bima Suci adalah karya sastra Jawa yang memuat
perjalanan spiritual tokoh Bima yang telah mencapai derajat kesucian lahir batin
dan jiwa raganya.
Cara untuk menuliskan saat penulisan karya sastra Jawa tradisional ada
beberapa macam. Apabila dalam karya sastra itu tidak terdapat petunjuk waktu
penulisan dengan tepat, misalnya tidak tertulis hari, tanggal, bulan atau tahun
penulisannya, maka dapat dilihat dan kemudian ditentukan atau diperkirakan saat
penulisan itu dari sisi lain, contohnya dari bahasa atau gaya bahasa yan digunakan
(Ratnawati, 1990: 3).
Saat penulisan Sêrat Bima Suci tercantum dengan jelas dalam bentuk
sêngkalan. Sêngkalan adalah kata-kata yang diberi makna dan dalam perumusan
sebenarnya merupakan penulisan angka tahun. Di samping itu, sêngkalan yang
tercantum dalam karya sastra Jawa merupakan pertanda waktu ditulisnya sebuah
karya sastra atau saat terjadinya peristiwa penting yang dilukiskan dalam sebuah
karya sastra (Dwiharjo, 1985: 1).
Bentuk sêngkalan dalam karya sastra Jawa berhubungan erat dengan
bentuk karya sastra itu sendiri. Dalam karya sastra Jawa secara garis besar dikenal
dua macam bentuk, yaitu gancaran ‘prosa’ dan têmbang ‘puisi’. Dalam bentuk
prosa, sêngkalan berbentuk satu rangkaian yang jelas. Pembaca akan mengetahui
dengan terang tentang sêngkalan yang dimaksud. Sedangkan dalam bentuk puisi,
ada yang berbentuk satu kesatuan dalam satu baris inilah yang menyulitkan,
sehingga bagi pembaca harus pandai atau cermat dalam memahami sêngkalan
yang demikian itu. Untuk memberi watek (nilai tertentu yang menunjukkan angka
tahun) kata-kata tersebut, dengan berlandaskan pada guru (kesatuan atau patokan
untuk memberi watek suatu kata) (Dwiharjo, 1985: 61). Sêngkalan dalam Sêrat
Bima Suci disebutkan dalam bentuk têmbang. Kata pengantar Sêrat Bima Suci
saat pertama kali ditulis oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa sebagaimana
kutipan berikut :
Srangkaraning amuryani warti,
Rabi’ul akhir tanggal ping sanga,
Rêspati Wage wayahé,
pukul Sanga anuju,
wuku Bala Kapating akhir,
nuju windu Kunthara,
taun Bé lumaku,
Sangkala: nir-ing sikara,
wiku tunggal carita di Bima Suci,
winangun lawan jarwa
(pupuh Dhandhanggula I, pada 1)
Terjemahan
Sebagai permulaan berita,
Rabi’ul akhir tanggal kesembilan,
Kamis Wage waktunya,
pukul sembilan tepat,
wuku Bala keempat akhir,
bersamaan windu khuntara,
tahun Bé berjalan,
sengkala: nir –ing sikara,
wiku tunggal cerita indah Bima Suci,
dibangun dengan gubahan.
Secara eksplisit Sêrat Bima Suci itu menunjukkan ketelitian Yasadipura I
dalam menyadari arti penting waktu. Dengan mencantumkan hari, tanggal, dan
tahunnya berarti konsep ruang dan waktu sudah mendapat apresiasi dan refleksi
dalam dunia kefilsafatan Jawa. Bagian penutup saat selesainya penulisan Sêrat
Bima Suci pertama kali dengan keterangan demikian.
Sesungguhnya sebulat-bulat ilmu ialah ilmu ketuhanan. Kebulatan
mencakup kepercayaan dan penghayatannya, ilmu dan pengalamannya,
pengakuan dan pembuktian. Dari sejak semula bumi Nusantara ini mengenal
ajaran turun-temurun, titi, tetas, tetesing sabda, berbudi bawa laksana, satunya
kata dan perbuatan (Supadjar, 1993:63).
Selanjutnya Damardjati mengatakan bahwa ungkapan sedulur papat lima
pancer dan kiblat papat lima pancer itu terkenal. Dalam kraton Yogyakarta hal itu
berstruktur rangkap, yaitu 4 – Bupati Dalem, 4 bupati luar, satu Warangka Dalem
atau patih dan satu Sinuwun seperti struktur baku kemanusiaan. Kesemuanya itu
diperkuat Masjid Pathok Negari keempat penjuru atau kiblat papat yaitu Ploso
Kuning, Mlangi, Bantuntapan, dan Jejeran Wonokromo.
Sedangkan yang dimaksud dengan Panca Lima ialah gendhing khusus,
yang setiap saat bisa dihentikan atau suwuk menjelang tancep kayon. Artinya ialah
mereka yang sudah memenuhi kebulatan kelima syariat, setiap saat siap untuk
menyongsong kehidupan abadi, sebagaimana dilambangkan oleh tarian boneka
hidup, kayu tidak dimensional, yaitu golek kayu, yang berarti pencarian hidup
(Supadjar, 1993: 68-69).
Dalam tingkat norma-norma yang berlaku berupa nilai budaya terlihat
secara umum dalam sikap antara yang lebih tua dengan yang lebih muda. Yang
muda akan datang ke yang lebih tua untuk : sowan, atau tuwi kesugengan atau
atur pisungsun sebagai tanda kasih dan hormat. Sedangkan yang tua akan
memberikan kepada yang lebih muda berupa : puji pangastuti atau doa restu,
suwuk sêmbur, japa mantra atau memberikan sugesti tambahan kekuatan dan
ketabahan dalam menghadapi suatu peristiwa dengan cara meniupkan doa-doa
pada ubun-ubun. Wêjangan atau petuah, paring sangu bekal baik berupa pelajaran
hidup atau contoh perbuatan (Herusatoto, 1984: 104-105).
Tindakan simbolis dalam adat yang sering dilakukan oleh orang Jawa yaitu
dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini Kodiran menjelaskan tata urutan
upacara sebelum dilangsungkan peresmian perkawinan. Antara lain nakokake
yaitu menanyakan kepada pihak perempuan, apakah gadisnya telah ada yang
melamar atau belum. Kalau belum maka pihak laki-laki mendapat kesempatan
untuk nontoni, yaitu kesempatan untuk melihat calon istrinya. Setelah itu
diadakan upacara peningset, yaitu pemberian sepasang pakaian atau cincin
sebagai pengikat.Kemudian pihak laki-laki dan perempuan menentukan hari dan
bulan perkawinan, yang berlandaskan pada hari kelahiran kedua mempelai,
kombinasi dari nama hari perhitungan tanggal Masehi dengan tanggal sepasaran
(Kodiran, 1981: 365).
Koentjaraningrat menerangkan jalannya upacara temon yang dilaksanakan
di ambang pintu masuk. Upacara yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu kedua
mempelai saling melempar daun sirih, penegasan dari janji yang telah dibuat
sebelumnya, dengan memecahkan sebutir telur dan membasuh kaki pengantin pria
yang dilakukan untuk memohon doa restu orang tua penganten, upacara
menimbang; serta penerimaan ucapan selamat dari para tamu (Koentjaraningrat,
1984: 259).
Pada tingkatan adat yang keempat, aturan khusus yang mengatur kegiatan
yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat konkrit simbolisme
yang digunakan oleh orang Jawa dalam sikap dan tindakannya berupa ungkapan
seperti sapa nggawé nganggo, sapa nandur ngundhuh, téga larané ora téga
patiné, wong têmên tinêmu, wong salah sèlèh, ngono ya ngono nanging ya aja
ngono (Soetrisno, 1977: 105).
Berkaitan dengan tradisi di atas, Damardjati mengatakan bahwa budaya
upacara masih dominan dalam kehidupan sehari-hari. Upacara tidak bisa
dilepaskan dari upacara dan upadhi, artinya Upa cara sebagai ambang atau
persiapan kerja, sebab perkataan cara itu sama dengan bisa dipisahkan dari sikap
tubuh, atau sila dalam rangka pencarian makna kebebasan. Apabila ditengok ke
belakang akan ditemukan Upanishad, yang berarti di Kaki Guru Sêjati. Berhenti
hanya pada upacara, kehilangan kandungan maknawinya. Dari upacara harus
ditingkatkan menjadi tata cara. Tata mencakup aspek material dan formal atau
guru bakal dan guru dadi. Sedang cara meliputi efisiensi dan efektivitas. Di
sinilah keselarasan idiom negara wara tata, desa mawa cara.
Setelah melampaui upacara dan tata cara meningkat pada aspek cara kerja,
sesuai dengan tuntutan manusia modern yang menghendaki efisien dan efektif,
tepat dan jitu atau dari working hard meningkat ke working smart. Sudah saatnya
semua menerapkan konsep berjenjang upacara, tata cara, dan cara kerja (Supadjar,
1993: 195-198). Sêrat Bima Suci mengandung nilai-nilai moral simbolik altruistis
sebagaimana ditunjukkan oleh tindakan Bima yang senantiasa mengutamakan
kepentingan masyarakat dan negaranya.
Ilmu pengetahuan merupakan institusi kebudayaan, suatu kegiatan
manusia untuk mengetahui tentang diri dan alam sekitarnya. Tujuannya untuk
mengenal manusia sendiri, perubahan yang dialaminya dan mencegahnya,
mendorongnya atau mengarahkannya sehingga dapat mengambil manfaatnya,
menghindarinya dan mengendalikannya (Jacob, 1996: 5). Tanpa pengendalian
terhadap ilmu dan teknologi, manusia akan terkena bencana yang mengerikan.
Misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pembuatan industri
senjata militer, yang ujung-ujungnya untuk peperangan dan memusnahkan nyawa
manusia. Di sini peranan moral sangat penting artinya.
Moralitas religius diharapkan dapat mengiringi kemajuan ilmu dan
teknologi yang liar. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hasil ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam khuluk yang seindah-indahnya ternyata tidaklah disertai dengan
ketentraman dunia (Paryana, 1993, 339: 3 ). Dewasa ini dunia sedang dilanda
kegoncangan yang luar biasa akibat proses globalisasi yang bersifat mendunia
(Simuh, 1999: 1). Globalisasi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan.
Bagaimana juga globalisasi harus dihadapi dengan sikap rasional, jeli, konseptual,
cekatan, dan serius.
Keberadaan ilmu dan teknologi yang materialistik itu perlu diimbangi
dengan aktivitas yang bersifat spiritualistis. Budaya lokal yang mengandung unsur
spiritual dan dapat membawa suasana tenang dan damai perlu digali. Demikian
juga karya sastra yang hanya sastra yang mampu menyajikan situasi sublimatif
dan dapat membawa suasana katarsis bagi pembacanya, perlu dikaji dan
disebarluaskan.
Secara sosiohistoris Sêrat Bima Suci berumur panjang dan sering
dipentaskan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan refleksi atas kehidupan dunia
fana ini. Kualitas muatan spritualnya sungguh dalam dan mengesankan, sehingga
masyarakat Jawa menjadikan cerita Bima Suci sebagai cermin kebijaksanaan
untuk memahami kasampurnaning ngaurip atau kesempurnaan hidup. Bima
sebagai tokoh sentral merupakan personifikasi manusia yang telah sukses
menjalankan tugas ketuhanan, kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu penyangga dinamika peradaban
modern. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat melahirkan
bermacam-macam fasilitas teknologi yang mengagumkan. Fasilitas teknologi itu
lebih efektif, efisien, sejahtera dan menentramkan umat manusia, karena dalam
penggunaannya tidak meninggalkan aspek moral. Inovasi, kreativitas, dan
produktivitas teknologi yang diselaraskan dengan moralitas akan menjamin
kenyamanan keberadaan kebudayaan.
Keteladanan dan petunjuk utama yang disiratkan dan disuratkan dalam
Sêrat Bima Suci serta sêrat-sêrat kêjawèn lainnya adalah pentingnya kepatuhan
kepada guru, gigih dalam mencari ilmu pengetahuan, percaya diri, tidak takut
terhadap kesulitan, dan senantiasa memperjuangkan cita-cita luhur demi masa
depan diri dan masyarakatnya.
Sêrat Bima Suci merupakan karya Yasadipura I yang memenuhi standar
etika, estetika, kebaikan dan keindahan. Ramuan antara unsur Hindu, Jawa, dan
Islam yang penuh dengan makna simbolik membuatnya menjadi bahan
kontemplasi bagi kalangan kebatinan dan kasepuhan yang berlaku relatif lestari.
Bentuk penulisan Sêrat Bima Suci sesuai dengan tradisi pada masa itu adalah dalam bentuk
têmbang macapat. Sebelumnya sastra Jawa kebanyakan ditulis dengan mengikuti metrum kakawin
dan kidung. Konvensi metrum macapat di dalamnya termasuk guru wilangan, guru lagu, guru
gatra, pêdhotan, sêngkalan dan sasmita têmbang. Masing-masing unsur itu mengandung makna
simbolik.
Kata sêrat mempunyai beragam arti. Sêrat yang berarti tulisan,
menandakan bahwa budaya membaca kehidupan dan merekamnya dalam bentuk
deretan aksara adalah ciri dinamika suatu masyarakat yang menyejarah dalam hal
pengelolaan informasi. Sêrat yang berarti goresan alamiah pada sebuah kayu yang
menunjukkan bahwa pernik-pernik dunia akan tetap anggun bagaimana pun
keadaannya, asalkan hukum daur ulang berjalan normal. Begitu populernya kata
sêrat, sehingga digunakannya untuk memberi nama-nama kitab yang bernilai.
Secara historis Sêrat Bima Suci berkaitan dengan Kitab Nawaruci yang
ditulis pada zaman Majapahit yang bercorak Hindu. Kitab ini oleh Yasadipura
digubah menjadi Sêrat Bima Suci yang sudah dipengaruhi unsur Islam. Sesudah
Yasadipura I wafat, Sêrat Bima Suci terus disalin oleh beberapa tangan, sehingga
keberadaannya menjadi banyak variasi. Adanya banyak variasi tidak perlu
dirisaukan, justru patut disyukuri karena membuktikan bahwa masyarakat cukup
responsif dan apresiatif.
Makna yang dikandung dalam manunggaling kawula gusti, satria
pinandhita, mati sajroning ngaurip, pramana, dan pancamaya cukup mendapat
tempat di hati orang Jawa. Simbol-simbol di balik ungkapan itu terdapat refleksi
dan kontemplasi atas segala yang ada, demi kesempurnaan hidup. Dari dan ke
mana kehidupan itu harus diarahkan, biar tidak terjerumus dalam limbah
kehinaan. Cerita Bima Suci menguraikan ungkapan di atas secara tersirat dan
tersurat.
Pembangunan manusia seutuhnya yang imbang lahir-batin,
material-spiritual, dan jiwa raganya dalam Sêrat Bima Suci secara sinoptik dapat
dirumuskan dengan adanya manusia beriman, berilmu, dan beramal. Manusia
beriman selalu berpegang pada ajaran Tuhan, melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Manusia berilmu selalu berpikir kreatif, inovatif, dan
antisipatif, sehingga kehadirannya merupakan problem solving. Manusia beramal
yaitu manusia yang berusaha mengaplikasikan landasan konseptual teoritis atas
dasar pengamatan dan penelitian. Trilogi iman, ilmu, dan amal bermuara pada
konsep insan kamil atau manusia paripurna.
Pengembangan kebudayaan nasional Indonesia akan berjalan lancar,
damai, dan sejahtera bilamana didukung oleh manusia berkualitas, yang penuh
dengan idealisme, dinamis, progresif, kompetitif, aktif, komparatif, dan produktif.
Bima sebagai figur fiktif dipersonifikasikan sedemikian rupa, sehingga dapat
dijadikan sebagai referensi dan suri teladan hidup. Meskipun hanya tokoh
imajinatif, namun fantasi heroismenya dapat menggugah kesadaran yang
menyegarkan dan inspiratif untuk menganyam suatu peradaban yang kondusif dan
konstruktif.
Ajaran budi pekerti luhur hendaknya diberikan kepada semua siswa pada
tiap-tiap lembaga pendidikan, baik yang bersifat formal maupun non formal.
Prinsip-prinsip dasar budi pekerti untuk pendidikan anak harus disosialisasikan
sejak dini, dengan titik tekan pada muatan lokal yang sudah akrab dengan
keluarga dan lingkungannya. Internalisasi nilai-nilai moral yang bersifat alamiah
ini akan membentuk pribadi yang mengakar dan membudaya.
Inventarisasi kearifan tradisional yang sudah turun-temurun perlu
dilakukan oleh perguruan tinggi secara profesional, sehingga memperlancar
proses penelitian dan pengembangan kebudayaan asli nusantara. Dokumentasi
seni budaya yang dimiliki perguruan tinggi merupakan data yang dapat dipakai
sebagai salah satu sumber referensi buat para penentu kebijakan. Aktivitas
kultural ini perlu menjalin kerja sama yang harmonis dengan lembaga-lembaga
tradisional yang keberadaannya masih dilestarikan masyarakat.
Usaha pengembangan kebudayaan nasional perlu disertai dengan
kesadaran historis dan sosiologis. Dengan kesadaran historis suatu bangsa akan
dapat belajar dari pengalaman masa silam. Keberkaitannya dapat dicontoh,
kesalahannya dapat dihindari. Kesadaran sosiologis akan dapat mengambil
hikmah terhadap kenyataan yang sedang terjadi dalam suatu masyarakat,
sehingga perbenturan, penglihatan, penindasan, penghisapan dan penipuan dapat
dicegah, karena masing-masing pihak diuntungkan dan diakui.
Karya masyarakat tradisional seharusnya mendapat perlindungan,
perhatian dan penghargaan. Penggusuran karya tradisional dengan alasan
efektivitas dan efisiensi hanya menumbuhkan jiwa konsumtif, tanpa diimbangi
sikap produktif terhadap segi apa pun. Sebuah komunitas tanpa karya tentu saja
tidak punya rasa bangga kolektif, krisis jatidiri, dan tidak cukup percaya diri di
hadapan komunitas lain. Produksi asli perlu adanya kreasi dan modifikasi.
Modal-modal pembangunan bangsa yang berupa sumber daya manusia dan
sumber daya alam, perlu dikelola dengan sungguh-sungguh, supaya kegagalan dan
kesia-siaan dapat dicegah. Harta benda publik harus bisa diatur secara bersama,
terbuka, dan bergilir, sehingga kesejahteraan umum benar-benar diwujudkan.
Perlu adanya kesadaran bahwa penderitaan dan ketertinggalan suatu kelompok
merupakan beban dan tanggung jawab kelompok lain yang nasibnya lebih
beruntung, sehingga keseimbangan hidup dapat dicapai dengan damai. Kharakter
altruistik philantropis ini ditunjukkan oleh Sêrat Bima Suci yang
dipersonifikasikan dalam tokoh Bima yang senantiasa menjaga keselarasan
masalah ketuhanan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.
Konsep etis filosofis yang terdapat dalam Sêrat Bima Suci dan kitab-kitab
lain yang bertebaran di seantero nusantara perlu dikaji, diteliti, dikembangkan,
dan disebarluaskan, sehingga dapat dinikmati dan dipelajari oleh kalangan umum
yang masih awam. Dengan demikian inventarisasi dan dokumentasi secara rapi
dan sistematis terhadap eksistensi kearifan lokal tradisional itu merupakan salah
satu pengokoh dan pengukuh jatidiri kebudayaan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Drewes, G.W.J., 1977, Ranggawarsita, The Pustaka Raja Madya and The
Wayang Madya, Oriens Extremus.
Dwiharjo, 1985, Keterangan Penggunaan Sêngkalan, Setia Kawan, Semarang.
Gie, The Liang, 1976, Garis Besar Estetika, Filsafat Keindahan, Karya Kencana,
Yogyakarta.
Gonda, J., 1925, Sanskrit in Indonesia, Den Haag.
Haryanto, S., 1988, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang,
Djambatan, Jakarta.
Herusatoto, Budiono, 1987, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita,
Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Mardiwarsito, L., 1978, Kamus Jawa Kuno (Kawi-Indonesia), Nusa Indah, Ende
Flores.
Padmosoekotjo, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-VII, Citra Jaya
Murti, Surabaya.
Poerbatjaraka, R. Ng., 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Pradopo, Rahmat Djoko, 1988, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern, Lukman, Yogyakarta.
Ratnawati, 1990, Nilai Kefilsafatan dalam Sastra Jawa, Pustaka Utama,
Semarang.
Ricklefs, M.C., 1974, Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A
History of the Division of Java, Oxford University Press, London.
Simanjuntak dan Simorangkir, 1959, Kesusasteraan Indonesia Baru, Gunung
Agung, Jakarta.
Simuh, 1995, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa,
Bentang Budaya, Yogyakarta.
Soetrisno, 1977, Falsafah Pancasila Sebagaimana Tercermin dalam Falsafah
Jawa, Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Sudewa, A., 1995, Dari Kartasura ke Surakarta, Studi Kasus Sêrat Iskandar,
Lembaga Studi Asia, Yogyakarta.
Supadjar, Damardjati, 1993, Nawangsari, MW Mandala, Yogyakarta.
Suryadipura, Paryana, 1993, Alam Pikiran, Bumi Aksara, Jakarta.
Wellek, Rene & Austin Warren, 1990, Teori Kesusasteraan, Terjemahan Melani
Budhianta, Gramedia, Jakarta.
Komentar
Posting Komentar