KONSEP MORAL DALAM SERAT BIMA SUCI KARYA YASADIPURA I

KONSEP MORAL DALAM SERAT BIMA SUCI

KARYA YASADIPURA I




 KATA PENGANTAR


Midering rat angelangut

Lelana njajah negari

Mubeng tepining samudra

Andosok wana wasa

Tumurun ing jurang terbis

Selama 23 tahun, tanpa selang-seling saya menjadi gelandangan di 

sekolah, dengan irama datar. Dari kota Nganjuk yang berbeteng Gunung Wilis, 

Gunung Kendheng, dan Gunung Pandan saya merantau ke kota Yogyakarta untuk 

berguru di Pawiyatan Luhur UGM, Fakultas Sastra dan Fakultas Filsafat.

Sejak gagat rahina, saya cepat-cepat melangkah enjing bidhal gumuruh,

berangkat ke kampus dengan rute Selokan Mataram sambil narabas ing mega

mendhung, mubeng ngideri jagat, ngulandara lelana ngunggahi gunung, 

katungkul ngumbar gagasan satemah ginawa ngimpi. Sebuah lakon yang belum 

selesai dan tidak akan pernah selesai.

Sesuai dengan tata krama akademik perkenankanlah saya mengucapkan 

terima kasih kepada Rektor UGM, Dekan Fakultas Filsafat, dan Dekan Fakultas 

Sastra beserta jajarannya yang telah membantu saya untuk menempuh pendidikan 

sarjana, magister dan doktor dengan penuh kelapangan.

Kepada Promotor Ibu Prof. Dr. Hj. Endang Daruni Asdi, saya 

mengucapkan matur nuwun, dan sungkem pangabekti. Setiap seminggu sekali, 

pagi hari antara jam 6.00 - 8.00 saya mendapat bimbingan intensif di Padhepokan 

Pandega Karya 8. Hubungan guru murid yang hangat dan ajaib sungguh 

menggairahkan hidup saya. Perjalanan menuju - Karangwuni yang saya tempuh 

dengan pit-pitan yang berhias tas plastik lawas, saya merasakan seolah-olah 

sedang sowan ke pertapan Saptoharga.

Kepada Bapak Dr. Damardjati Supadjar, Rektor Universitas Jagad Raya, 

keparenga kawula ngaturaken gunging panuwun ingkang tanpa pepindhan. 

Panjenengan sampun anggulawenthah kawula kanthi legawaning penggalih. Di 

mana dan kapan saja, setiap menghadap Paka Damardjati, saya selalu mendapat


tontonan dan tuntunan, kebijakan-kebijakan, konsep, rekreasi dan 

serutama-sarutama.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Panitia Penguji Disertasi 

yaitu Prof. Drs. Marsono, SU., Prof. Dr. Lasiyo, MA, dan Prof. Dr. R Sujadi, SH, 

SU., yang sudah bekerja keras demi kesempurnaan kualitas Disertasi. Dalam hati 

saya was-was dan sedikit malu, kepada tim penguji karena setelah saya teliti ada 

saja kekeliruan akibat kemalasan dan kecerobohan.

Rasa haru, trenyuh, bekti dan pasrah sumarah saya persembahkan kepada 

keluarga Bapak Rasyid Baswedan, Bapak Samhari Baswedan dan Mas Anies 

Baswedan. Hutang budi saua kepada keluarga Baswedan yang berupa dorongan 

material spiritual sungguh tidak mungkin akan dapat saya bayar. Hanya saja saya 

akan berjanji kepada keluarga ini bahwa saya akan terus belajar dan berkarya di 

bidang seni budaya selama hayat dikandung badan.

Tokoh pemikir lain yang tidak akan pernah saya lupakan yaitu Prof. Dr. 

Jimly Asshidiqie, MA., guru Besar Hukum UI dan pengurus Habibie Center yang 

telah bersedia membantu belajar saya paad program magister dan doktor. Pak 

Jimly sudah memberi jalan hidup yang berharga buat saya.

Kelancaran pendidikan doktor saya juga berkat uluran tangan Bapak Drs. 

H. Solichin, Ketua Umum Sekretariat Pewayangan Nasional Indonesia 

(SENAWANG) dan mantan Sekretaris Menteri Wasbangpan. Wejangan dan 

sokongan yang sangat gamblang dari Pak Solichin ibarat setetes embun di terik 

matahari. Semangat saya senantiasa bergelora tiap kali bertemu dengan Pak 

Solichin.

Sahabat karib yang harus saja junjung harkat dan martabatnya yaitu 

Nuswantoro. Kyai Nuswantoro adalah proklamator doktor saya. Ketika semangat 

saya lesu tahun 1998, Kyai Nuswantoro itulah yang membangkitkan dengan 

analisis pribadi yang argumentatif. Kepihakan dan kejelianmu patut dikagumi.

Para bidadari agung, Herma, Rita, Dina, Diah, Betha, Tintin, Yuni, Ana, 

Ratna, Eni, Pedi, Rafi, Fiki, Sari, Ulfa, dan Wikan yang sangat setiap dan berbakti 

sungguh membekas di hati. Semoga bahagia dan lancar jodoh


Secara kelembagaan saya harus mengucapkan terima kasih kepada Jamaah 

Shalahuddin, Balairung Bulaksumur, UKM, HMI, PMII, KM, BEM, SM, IDEA, 

Media Presindo Sandikata, PDIP, PK, Golkar, PAN, PBB, Kobinde, Puskesling, 

IRE, Yayasan Alif, CSCD, KUAK, Senawangi dan Lembaga Jawa Kuno. Semua 

organisasi ini semoga menjadi soko guru sosial yang kokoh.

Dalam bentuk kekeluargaan perlu saya sebut di sini yaitu keluarga Bapak 

Masruki, Bapak Haryana, Ibu Syaefullah, Mas Suprih, Mas Tio, Mas Mustakhin, 

Pak Misran, Mas Pujo, dan Pak Djoko Suryo. Ikatan batin merembes ke seluruh 

jaringan keluarga.

Kawan-kawan yang gigih dengan dukungan yang berarti Yanuardi, Nasir, 

Timbul, Akuat, Awali Yasin, Chowzin, Ebo, Bramantyo, Samidi, Mamad, 

Katiman, Risna, Arie Djito, Edi Dwi Efendi, Ari-Laca, Mas Broto, Kyai 

Triyatmo, Mas Wahid, Mas Ikbal, Mas Najib, Hermawan, Agussalim, Ida, Bandi, 

Nusam, Mas Rudi Wahyono, Isma Hudayana, Nita, Supriyadi, Elan, Rika, Hari 

Jumanto, Idham, Alfan, Ganjar, Nurul Huda dan Haris. Walaupun kecil, mereka 

telah menyumbangkan material dan spiritual yang ikhlas, bersahabat dan egaliter.

Saya sungguh beruntung karena kedua orang tua (Pak Ridjan dan Mbok 

Yatinem) memanjakan saya untuk meguru dengan sangat leluasa. Seingat saya 

wiwit

kuncung nganti gelung dalam soal sekolah mendapat prioritas utama dan 

terutama, meskipun untuk urusan lain sangat birokratis. Untuk adik saya Partini 

saya juga bergembira, karena selama ini tidak pernah bikin repot sama sekali. 

Bahkan kalau saya hitung-hitung dalam keluarga yang hanya empat orang itu, 

sayalah yang sok kuasa dan pek menange dhewe.

Apabila ada pihak yang berjasa terhadap proses belajar program doktor 

belum disebut namanya, saya benar-benar menyesal dan rela minta maaf. Yang 

jelas, saya sudah berusaha dengan membolak-balik catatan harian, kalau masih 

ada yang tertinggal, tentu merupakan suatu hal yang di luar kemampuan saya. 

Sekali lagi saya nyuwun pangaksama.

Ada tokoh legendaris yang selalu membahagiakan dan memberi inspirasi 

saya. Dia adalah Putri Tambang Raras. Segala kekecewaanmu saya bisa


memahami. Terus terang, untuk urusan tertentu saya menghitung-hitung, sehingga 

tidak ada keputusan yang jelas. Sumber mala petaka berawal dari saya. Nyuwun 

pangapuntin, nggih.

Setelah memaparkan atur panuwun diatas, sebenarnya saya ada perasaan 

tidak rela. Banyak kawan-kawan saya yang cemerlang otaknya, namun terganjal 

karier pendidikanya. Seumpama manajemen pendidikan di indonesia itu terbuka 

dan efektif, tentulah sudah membuahkan kualitas doktor yang produktif dan 

berlimpah ruah. 

Dengan selesainya pendidikan formal, sejak SD hingga program doktor 

ini, saya berkewajiban untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu 

pengetahuan yang saya peroleh. Saya berjanji akan menulis setiap semester tiga 

buku, dengan topik kebudayaan Jawa, Nusantara dan Asia Tenggara. Saya akan 

berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan gagasan itu.

Akhirnya saya mengucapkan matur nuwun dan nyuwun pangestu demi 

perjuangan selanjutnya.

Yogyakarta, 27 Desember 2001

Rabu Pahing 1 Syawal 1421 H

Purwadi





INTISARI


Krisis multidimensi yang terjadi pada masa Mataram menyebabkan 

kerajaan itu terpecah-pecah menjadi empat yaitu: Kraton Surakarta, Kraton 

Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Para raja Jawa dan elit 

pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang berarti lagi. Kedudukan raja 

hanya sebagai simbol belaka, tanpa wibawa kekuasaan. Penderitaan politik dan 

ekonomi mereka atasi dengan mengalihkan perhatian publik ke arah sastra, seni, 

dan budaya yang bermuatan etik dan mistik. Salah satu karya sastra yang 

mengandung unsur etik dan mistik itu adalah Sêrat Bima Suci.

Sêrat Bima Suci diciptakan Yasadipura I pada masa awal kraton Surakarta. 

Secara historis Sêrat Bima Suci berkaitan dengan kitab Nawaruci, karya Empu 

Siwamurti pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan 

karya mistik Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindu. Sêrat Bima Suci

merupakan perpaduan antara sastra mistik yang mengandung paham asli 

Jawa-Hindu, dan Islam.

Keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam menjadi tema 

pokok Sêrat Bima Suci. Hubungan manusia dengan Tuhannya yang bersifat 

teologis tercermin dalam ungkapan manunggaling kawula gusti dan curiga 

manjing warangka. Hubungan manusia dengan alam yang bersifat 

antropoekologis tercermin dalam ungkapan, mangasah mingising budi, mamasuh 

malaning bumi, dan memayu hayuning bawana, yang bermuara pada 

pembentukan jalma sulaksana, insan kamil, sarira bathara, manusia paripurna 

yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, dan kepala-dadanya.

Ungkapan mati sajroning ngaurip dalam Sêrat Bima Suci memberi isyarat 

persuasif kepada manusia agar selalu éling lan waspada, bersahaja, 

mengendalikan diri, mengurangi kenikmatan badaniah duniawi, bersedia lara lapa 

tapa brata dan bersyukur meskipun berkesempitan. Perjuangan hidup di alam 

padang yang fana ini dalam Sêrat Bima Suci berkaitan dengan usaha untuk 

memahami sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan kehidupan, yaitu 

khusnul khatimah atau akhir perjalanan hidup yang membahagiakan.

Pembinaan pribadi manusia paripurna dalam Sêrat Bima Suci dianjurkan 

dengan melaksanakan syariat-tarikat-hakikat-makrifat, sêmbah raga-sêmbah 

cipta-sêmbah jiwa-sêmbah rasa. Keempat laku itu senantiasa dihalangi oleh nafsu 

manusia yaitu amarah- lawwamah-sufiyah, polemos-egocentros-eros. Hanya 

nafsu mutmainah atau religius yang mendukung keutamaan laku mulia, sehingga 

manusia selamat dalam meniti empat tujuan hidupnya: 

kama-artha-dharma-moksa, kenikmatan-kesejahteraan-ketertiban-kelepasan, yang 

harus dilalui dengan ujian dan cobaan, derita dan air mata.

Problematika kehidupan yang silih berganti menurut Sêrat Bima Suci

harus diselesaikan dengan cara arif bijaksana, tepat guna, hasil guna, efektif 

efisien, profesional sufistik, dan humanistik religius sebagaimana personifikasi 

tokoh Bima yang telah mencapai derajat satria pinandhita, yang bertekad tapa 

ngramé atau menjalankan kerja sosial dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan. 

Kepaduan antara ilmu-amal, cipta-rasa, dan karsa-karya merupakan ekuilibrium 

untuk menata masa depan yang lebih cemerlang. Refleksi atas eksistensi etis 

filosofis Sêrat Bima Suci ini merupakan salah satu tawaran problem solving

terhadap permasalahan kontemporer dalam konteks sosiohistoris.


ABSTRACT


Multidimention crisis had caused Kraton Mataram to be four small 

kingdoms. They are Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunegaran 

and Pura Pakualaman. The kings of Java hadn’t had power significantly. Their 

position only as symbol, without charisma of authority. Politic and economic 

suffering had pushed them to transfer public attention to literature, art, and culture 

that fill ethic and mystic. The literature that fill ethic and mystic is Sêrat Bima 

Suci.

Sêrat Bima Suci was created by Yasadipura I in the beginning period of 

Kraton Surakarta. Historically Sêrat Bima Suci is still related with kitab Nawaruci

that was created by Empu Siwamurti in the end period of Majapahit Kingdom. 

Kitab Nawaruci is a literature of Javanese mystic that get influence from 

Hinduism doctrine. Sêrat Bima Suci is a literature of mystic that has acculturation 

between Javanism, Hinduism, and Islamism.

The harmonity of relation between Got, human and world become central 

theme of Sêrat Bima Suci. The relation among human and God theologically has 

said as expression at manunggaling kawula gusti and curiga manjing warangka. 

The relation among human and world anthropoecologically has said as expression 

of mangasah mingising budi, memasuh malaning bumi, and memayu hayuning 

bawana that move to formation of jalma sulaksana, insan kamil, sarira bathara, a 

perfect human that has balanced life between lahir batin, jiwa-raga, 

intellectual-spiritual, and head-heart.

The expression of mati sajroning ngaurip in Sêrat Bima Suci gives 

persuasive signal to men so that they always eling lan waspada, simple, 

introspection, to avoid enjoyment of material, to do lara lapa tapa brata and 

happy although they are sad. The struggle of life in the world according to Sêrat 

Bima Suci connect with the effort to understand sangkan paraning dumadi or 

from and to where this life, that is khusnul khatimah or the happy ending life.

The education of perfect human character according to Sêrat Bima Suci is 

ordered with to do syariat-tarikat-hakikat-makrifat, sêmbah raga-sêmbah 

cipta-sêmbah jiwa-sêmbah rasa. The four of doctrine are always troubled by 

human insting. They are nafsu 

amarah-lawwamah-sufiyah, 

polemos-egocentros-eros. It is only insting of mutmainah or religious that support 

the good behavior, so that men get safety in reaching the purpose of their life. 

There are kama-artha-dharma-moksa, enjoyment-prosperity-law-freedom, that all 

of them ought to do with examination of life. There is suffering and difficulty.

Some problems of life according to Sêrat Bima Suci must be solved by 

wisdom, effectively, efficiently, sufistic professional and religious humanistic as 

personification of figure Bima that reach degree as satria pinandita, that always 

do tapa ngramé or do social work religiously. The unity between ilmu-amal, 

cipta-rasa, karsa-karya is the equilibrium to arrange the better future. The 

reflection of ethical philosophy existention of Sêrat Bima Suci is one of discourses 

of problem solving to some contemporary problems in sociohistory context.



RINGKASAN
Pertumbuhan kesusasteraan Jawa sudah dikenal secara luas dan selang 
waktu yang cukup lama. Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Candakarana 
yang dibuat pada masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka 
dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Sêrat 
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi 
(Poerbatjaraka, 1957: 1-2). Kemudian ditemukan pula sebuah prasasti 
peninggalan raja Balitung pada tahun 907 yang menceritakan Kisah Bhima 
Kumara dan Ramayana. Dalam beberapa teks kuno itu juga disebutkan seorang 
dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Profesionalitas 
seniman dipacu oleh penghargaan material yang layak demi produktivitas dan 
kreativitasnya.
Di samping kemakmuran dan kejayaan pada suatu negeri, yang 
mengilhami pengarang adalah peristiwa yang mengandung unsur heroisme tinggi. 
Kepahlawanan Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan memberi inspirasi bagi 
Êmpu Kanwa untuk menciptakan karya agung, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha, 
yang ceritanya terkenal hingga sekarang.
Êmpu Sedan dan Êmpu Panuluh mengarang Kakawin Bharatayuddha, 
yang menceritakan kisah peperangan besar antara keluarga Pandawa dengan 
Kurawa. Kitab Bharatayuddha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, raja 
Kediri (Daha) yang disebut dalam tiga prasasti tahun 1135, 1136 dan 1144. 
Prasasti itu menyebut nama pribadi Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, atau 
Jayabhayalaksana dan memakai nama penobatan Sri Warmeswara. Prabu 
Jayabhaya meninggal tahun 1157 setelah menyerahkan tahtanya kepada Sri 
Sarweswara (Zoetmulder, 1985: 342).
Kecuali mengarang kitab Bharatayuddha sebagai kelanjutan karya Êmpu 
sedah, Êmpu Panuluh juga mengarang kitab Hariwangsa atas restu Prabu 
Jayabhaya karya Êmpu Panuluh lainnya, yaitu kitab Gathotkacasraya 
(Zoetmulder, 1985: 345-346). Sêrat Hariwangsa berisi tentang kisah romantika 
percintaan antara Kresna dengan Dewi Rukmini. Sêrat Gathotkacasray



RINGKASAN


Pertumbuhan kesusasteraan Jawa sudah dikenal secara luas dan selang 
waktu yang cukup lama. Karya sastra yang paling tua adalah Sêrat Candakarana 
yang dibuat pada masa dinasti Çailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 Çaka 
dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Sêrat 
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi 
(Poerbatjaraka, 1957: 1-2). Kemudian ditemukan pula sebuah prasasti 
peninggalan raja Balitung pada tahun 907 yang menceritakan Kisah Bhima 
Kumara dan Ramayana. Dalam beberapa teks kuno itu juga disebutkan seorang 
dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Profesionalitas 
seniman dipacu oleh penghargaan material yang layak demi produktivitas dan 
kreativitasnya.
Di samping kemakmuran dan kejayaan pada suatu negeri, yang 
mengilhami pengarang adalah peristiwa yang mengandung unsur heroisme tinggi. 
Kepahlawanan Raja Airlangga di Kerajaan Kahuripan memberi inspirasi bagi 
Êmpu Kanwa untuk menciptakan karya agung, yaitu Kakawin Arjuna Wiwaha, 
yang ceritanya terkenal hingga sekarang.
Êmpu Sedan dan Êmpu Panuluh mengarang Kakawin Bharatayuddha, 
yang menceritakan kisah peperangan besar antara keluarga Pandawa dengan 
Kurawa. Kitab Bharatayuddha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, raja 
Kediri (Daha) yang disebut dalam tiga prasasti tahun 1135, 1136 dan 1144. 
Prasasti itu menyebut nama pribadi Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, atau 
Jayabhayalaksana dan memakai nama penobatan Sri Warmeswara. Prabu 
Jayabhaya meninggal tahun 1157 setelah menyerahkan tahtanya kepada Sri 
Sarweswara (Zoetmulder, 1985: 342).
Kecuali mengarang kitab Bharatayuddha sebagai kelanjutan karya Êmpu 
sedah, Êmpu Panuluh juga mengarang kitab Hariwangsa atas restu Prabu 
Jayabhaya karya Êmpu Panuluh lainnya, yaitu kitab Gathotkacasraya 
(Zoetmulder, 1985: 345-346). Sêrat Hariwangsa berisi tentang kisah romantika 
percintaan antara Kresna dengan Dewi Rukmini. Sêrat Gathotkacasray

menceritakan kisah Gathotkaca yang membantu percintaan Abimanyu dengan Siti 
Sendari.
Pada zaman Ken Arok memerintah dengan gelar Prabu Girindrawangsaja, 
Êmpu Tanakung mengarang kitab Wrêttasancaya dan Lubdhaka. Dengan 
demikian kitab Wrêttasancaya dan Lubdaka ditulis setelah kekuasaan berpindah 
dari Kediri ke Tumapel sekitar tahun 1144 Çaka atau 1222 Masehi (Poerbatjaraka, 
1957: 34-37). Sêrat Wrêttasancaya berisi tentang pelajaran persajakan, metrum 
sêkar agêng, dan contoh-contohnya. Sebagian isi Sêrat Wrêttasancaya itu 
dikutip dalam Sêrat Ajipamasa karangan Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957: 
34). Sêrat Lubdhaka berisi tentang kisah seorang pemburu yang berprofesi hina 
menurut pandangan agama, namun dia dapat masuk dalam surga nirwana.
Kitab Nagarakrêtagama ditulis oleh Êmpu Prapanca sekitar tahun 1287 
Çaka atau 1365, pada masa Prabu Hayamwuruk memerintah Kerajaan Majapahit. 
Kitab lain yang ditulis pada masa prabu Hayamwuruk, yaitu kitab Arjunawiwaha 
dan kitab Sutasoma atau Purusada Santa. Keduanya karya Êmpu Tantular 
(Poerbatjaraka, 1957: 39-45). Sêrat Nagarakrêtagama berisi tentang laporan 
perjalanan Prabu Hayamwuruk yang sedang inspeksi ke daerah-daerah, pedoman 
tata cara upacara, tuntunan budi pekerti luhur dan metode mengatur tata 
pemerintahan yang baik. Sêrat Arjunawiwaha mengisahkan peperangan antara 
Prabu Dasamuka dengan Prabu Danaraja dan Prabu Sri Arjuna Sasrabahu. Sêrat 
Sutasoma mengisahkan perjalanan spiritual seorang pangeran dan putra mahkota 
kerajaan Astina, putra Prabu Mahaketu yang bernama Raden Sutasoma. Raden 
Sutasoma adalah titisan Sang Hyang Buddha.
Perbendaharaan kesusasteraan Jawa bertambah dinamis setelah agama 
Islam masuk ke bumi Nusantara yang disebarkan oleh para ulama dan saudagar 
kaya. Paham tasawuf cukup mewarnai isi kesusasteraan Jawa. Para raja baru 
yang telah memeluk Agama Islam seperti raja-raja Demak, Pajang dan Mataram 
cukup aktif mendukung perkembangan sastra Islam. Kerja sama antara raja 
dengan pengarang ini memunculkan adanya istilah Pujangga Istana, sehingga 
karya sastranya kadang-kadang terpengaruh oleh kepentingan politik kraton. 
Sebagian pujangga istana itu sadar akan posisinya, sehingga sorotan masyarakat 

yang agak sinis dapat dihindari. Untuk menjaga idealismenya, pujangga istana itu 
menyampaikan gagasannya lewat sasmita atau pêrlambang yang santun dan 
halus.
Kehidupan kefilsafatan dalam kesusasteraan Jawa pada masa awal 
kerajaan Surakarta mengalami masa keemasan. Kegairahan untuk menciptakan, 
menggubah, dan menyadur karya sastra ini adalah hasil dari ketenangan politik 
akibat perjanjian Giyanti dan Salatiga (Drewes, 1977: 199-201). Rupa-rupanya 
nilai sastra dan budaya pada masa tersebut juga dimanfaatkan dalam kegiatan 
diplomasi (Sudewa, 1995: 243).
Kurun waktu antara tahun 1743-1830 terdapat sejumlah raja dan pujangga 
yang cukup produktif, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan kesusasteraan. 
Para raja yang terlibat aktif di antaranya Sunan Paku Buwana III, Sunan Paku 
Buwana IV, Sunan Paku Buwana V, dan K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Mereka 
juga bersemangat dalam hal ulah rasa dan sastra. Demikian pula pujangga 
Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita adalah pelopor dunia 
kesusasteraan. Karya-karya mereka hingga saat ini masih dikenang, dinikmati, 
dan diapresiasi secara berkelanjutan oleh masyarakat Jawa.
Karya sastra pada zaman itu dapat bertahan dan lestari sampai saat ini 
karena unggul kualitas etis dan estetisnya, sehingga mendorong pembacanya 
untuk melakukan refleksi dan kontemplasi yang dapat mencerahkan dan 
menggairahkan kehidupan spiritualnya.
Studi sejarah Jawa kuno secara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, 
dengan ditemukannya prasasti Sukabumi yang berbunyi: Pada tahun 726 
penanggalan Çaka, dalam bulan Çaitra, pada hari kesebelas paro têrang, pada 
hari haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wagê atau hari 
keempat dalam minggu berhari lima, saniscara atau hari ketujuh dalam minggu 
yang berhari tujuh (Zoetmulder, 1985: 3). Keterangan ini amat berharga berkaitan 
dengan validitas sumber penulisan historiografi lokal pada khususnya, sejarah 
nasional pada umumnya.
Pada tahun 930 pengaruh kekuasaan Jawa Tengah bergeser ke arah Jawa
Timur. Wangsa yang sedang memerintah semula berkedudukan di Lembah Kali 

Brantas, bagian hulu. Pendirinya adalah Sindok, keturunan raja Jawa Tengah 
terakhir. Pada masa pemerintahan Êmpu Sindok antara tahun 851 – 809 Çaka atau 
929 – 947 Masehi, dikaranglah sebuah kitab Budha Mahayana yang bernama 
Sang Hyang Kamahayanikam. Sezaman dengan kitab ini adalah Kitab 
Brahmandapuruna, sebuah kitab agama Siwah (Poerbatjaraka, 1957: 5-6). J. 
Kats (1910) mengatakan bahwa Sêrat Sang Hyang Kamahayanikam ini banyak 
berbahasa Sansekerta yang dideskripsikan dalam bentuk bahasa Jawa Kuno. 
Cerita tentang dewa-dewanya mirip dengan relief candi Borobudur. Sêrat Sang 
Hyang Kamahanikam juga menjelaskan tata cara bersemedi. Sêrat 
Brahmandapuruma berisi tentang kosmologi, kosmogoni, sejarah para resi, dan 
cerita pertikaian antar kasta (Gonda, 1933: 329).
Prabu Dharmawangsa Teguh yang memerintah antara tahun 913-929 Çaka 
atau 991-1007 Masehi, pustaka sastra Jawa berkembang pesat sekali. Karya sastra 
yang diproduksi antara lain Sêrat Mahabharata, Uttarakanda, Adiparwa, 
Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, 
Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohana-parwa, dan Kunjarakarna
(Poerbatjaraka, 1957: 7-140). Cerita-cerita parwa ini merupakan derivasi dari 
ephos Mahabharata.
Kerajaan Medang ini mengalami musibah besar pada tahun 1016, yang 
berupa serangan dari kerajaan asing. Waktu itu yang memerintah adalah Raja 
Teguh Dharmawangsa. Kerajaan Medang mengalami bencana besar tak 
terduga-duga pada tahun 1016. Dalam suatu serangan dari kerajaan Worawari, 
raja Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramat-tunggadewa jatuh pralaya sampai 
gugur dan untuk sementara kerajaannya jatuh di tangan musuh.
Menantu sang raja yang bernama Airlangga, putra mahkota raja Udayana 
dari Bali, telah berhasil melakukan konsolidasi untuk menyelamatkan kerajaan 
warisan mertuanya. Kerajaan Medang kemudian diubah namanya menjadi 
kerajaan Kahuripan. Ketentraman kerajaan dapat dipulihkan oleh Airlangga, 
menantu raja Dharmawangsa, yang berasal dari Bali sebagai putra Udayana.
Pada masa raja Airlangga ini disusun kitab Arjunawiwaha. Pengarangnya 
adalah Mpu Kanwa, sebagai persembahan pada raja Airlangga yang berjuang 

memulihkan stabilitas negara antara tahun 1028-1035 dan mengalahkan raja 
Wengker. Maklumatnya yang terakhir ditulis pada tahun 1042 Masehi 
(Zoetmulder, 1985: 309). Raja Airlangga bertahta sekitar tahun 941-964 Çaka 
atau 1019-1042 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 17). Raja Airlangga menjelang 
mangkatnya membagi kerajaan menjadi dua penghubung, Jenggala dan Kediri 
(Zoetmulder, 1985: 22). Keteladanan Airlangga secara etis filosofis diibaratkan 
dengan kisah Arjuna yang sedang memerangi Prabu Nitakawaca yang mempunyai 
sifat jahat.
Pada zaman Prabu Warsajaya memerintah di kerajaan Kediri sekitar tahun 
1026 Çaka atau 1104 Masehi, ada dua pujangga yaitu Êmpu Triguna 
menciptakan Sêrat Krêsnayana dan Êmpu Manoguna menciptakan Sêrat 
Sumanasantaka (Poerbatjaraka, 1957: 17-20). Sêrat Krêsnayana berisi tentang 
kisah percintaan antara Kresna dengan Rukmini. Sêrat Sumanasantaka berisi 
tentang kisah Kelahiran Prabu Dasarata di negeri Ayodya. Kedua cerita ini 
memberi teladan moralis bahwa kejahatan pada akhirnya dikalahkan oleh 
kejujuran.
Kitab Smaradahana ditulis oleh Êmpu Darmaja pada masa pemerintahan 
Prabu Kameswara tahun 1037-1052 Çaka atau 1115-1130 Masehi. Seangkatan 
dengan penciptaan kitab Smaradahana adalah kitab Bhomakawya (Poerbatjaraka, 
1957: 20-24). Sêrat Smaradahana menceritakan kisah tentang Batara Kamajaya 
yang sedang kasmaran. Sêrat Bhomakawya menceritakan peperangan antara 
Kresna dengan Bhoma. Secara filosofis kisah ini memberi pelajaran bahwa sifat 
serakah dan angkara tidak akan pernah abadi.
Pada zaman Majapahit perkembangan kitab-kitab kesusasteraan pesat 
sekali. Misalnya Parthayadnya, Nitiçastra, Nirarthaprakrêta, Dharmaçunya, 
Hariçraya, Tantu Panggêlaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawaçrama, 
Pararaton, Déwaruci, Sudamala Kidung Subrata, Panji angrèni dan Sri Tanjung. 
Karya sastra pada zaman Majapahit itu terdiri dari kitab-kitab Jawa Kuno yang 
tergolong muda dan sebagian lagi berbahasa Jawa Tengahan. Kitab-kitab ini juga 
memberi pedoman tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan moralitas 
kenegaraan.

Kerajaan Demak diperintah oleh Raden Patah dengan gelar Sultan Sah 
Alam Akbar tahun 1478-1518, Adipati Yunus atau Pangèran Sabrang Lor tahun 
1520-1521 dengan dukungan para wali yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan 
Ngampel, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan 
Muria dan Sunan Gunungjati. Mereka gemar dengan kesenian dan budaya daerah. 
Mereka menyempurnakan bentuk dan lakon wayang agar tidak bertentangan 
dengan agama Islam (Haryanto, 1988: 201-202).
Konflik syariat pada zaman Demak sudah ada, sebagaimana diceritakan 
dalam Suluk Malang Sumirang. Isinya tentang pertentangan antara ahli syariat 
dengan ahli ma’rifat. Kitab Suluk Malang Sumirang ini karya Sunan Bonang. 
Ketegangan pada Suluk Malang Sumirang berkaitan dengan teks-teks agama yang 
penuh dengan interpretasi dan perdebatan (Drewes, 1977: 97). Kitab-kitab ini 
sudah mendapat pengaruh ajaran yang bersumber dari filsafat Islam.
Manusia yang mempunyai kesadaran tinggi atau high consciousness dan 
kesadaran alam atau cosmic consciousness dapat melihat bentuk rohani,
bagian-bagian serta sifat-sifatnya, seperti manusia melihat dunia nyata (Paryana, 
1993: 183). Tiap-tiap benda mempunyai inti atau nucleus. Budi itu ibarat inti 
rohani yang tempatnya ada di tengah, jatuhnya bersamaan dengan titik berat atau 
zwaartepunt badan. Budi dalam tasawuf Islam disebut al-Qalbu. Qalbu lahir 
adalah jantung dan qalbu batin adalah budi. Jantung pemompa darah ke seluruh 
tubuh untuk menghidupkannya, budi merupakan pemompa tenaga ke seluruh 
rohani untuk menggerakkannya. Budi dalam ilmu kejawen dikiaskan sebagai obor 
atau pelita yang dapat menyinari akal, kalau diri sedang bebas dari segala bentuk 
kekacauan (Paryana, 1993: 184-18).
Dalam bidang budaya Panêmbahan Senapati menyempurnakan bentuk 
wayang dengan tatahan gempuran (Haryanto, 1988: 204). Pada zaman Sinuhun 
Sêkar Seda Krapyak, ayahanda Sultan Agung, terbit Suluk Wijil tahun 1529 Çaka
atau 1607 Masehi dan Sêrat Nitisruti tahun 1534 atau 1612 Masehi 
(Poerbatjaraka, 1957: 94-100). Jasa Panêmbahan Seda Krapyak 1601-1618) dalam 
bidang kebudayaan adalah berusaha untuk menyusun sejarah negeri Demak, dan 
penulisan beberapa kitab Suluk (Ricklefs, 1974: 14). Misalnya Suluk Wujil yang 

berisi wejangan mistik Sunan Bonang kepada abdi kekasih raja Majapahit yang 
bernama Wujil. Sêrat Nitisruti ciptaan Pangèran Karanggayam yang berisi tentang 
tuntunan budi pekerti luhur dan kandungan mistik. 
Kata Sêrat mengandung arti tulisan (Mardiwarsito, 1978: 307). Istilah 
Sêrat banyak digunakan dalam khasanah sastra Jawa, misalnya Sêrat Wédhatama, 
Sêrat Rama, Sêrat Tripama, dan Sêrat Nitisastra. Dalam budaya Jawa, yang 
disebut karya sastra adalah semua karya yang disampaikan dengan bahasa indah 
atau basa rinêngga. Karya etika, hukum, agama, moral dan rekaan, asalkan 
disajikan dengan bahasa indah dapat disebut sebagai karya sastra (Padmosukotjo, 
1960: 12). Kemampuan seorang pujangga menuangkan isi pikirannya dalam 
bentuk bahasa tulis yang indah merupakan syarat untuk mendapatkan pengakuan. 
Kemampuan seorang pujangga menuangkan isi pikirannya dalam bentuk bahasa 
tulis yang indah merupakan syarat untuk mendapatkan pengakuan dari 
masyarakat.
Sastra atau Çastera berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tulisan atau 
bahasa yang indah, yaitu hasil ciptaan bahasa yang indah. Kesusasteraan adalah 
pengetahuan mengenai hasil seni bahasa, perwujudan getaran jiwa dalam bentuk 
tulisan (Simanjuntak dan Simorangkir, 1959: 7). Kesusasteraan atau kesenian 
bahasa atau seni sastra adalah kesenian suatu bangsa dalam melahirkan pikiran, 
perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya (Gozali, 1958: 12). 
Mengutip pendapat Horace seni itu sifatnya dulce et utile yang berarti 
menyenangkan dan bermanfaat (Wellek, 1955: 18). Bila ada karya sastra yang 
tidak memenuhi hakikat fungsinya, yaitu dulce et utile, berarti sastra itu kurang 
bermutu. Karya sastra yang demikian itu lama-kelamaan akan lenyap dengan 
sendirinya, karena mudah dilupakan orang. Karya sastra yang mengandung dulce 
et utile akan dikenang sepanjang zaman. Contoh cerita Ramayana dan Mahabarata 
hingga kini tetap diminati dan dinikmati oleh masyarakat karena kualitas etika dan 
estetikanya (Pradopo, 1988: 58). Kitab-kitab itu berbeda sekali bila dibandingkan 
dengan seni pop yang cepat membosankan, meskipun pada awalnya mendapat 
sambutan meriah.

Istilah bahasa Jawa èdi pèni pengertiannya mirip dengan istilah Latin 
sublimus, yang bermakna keindahan yang memuncak (Mulyana, 1956: 16). 
Keindahan dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetis seseorang 
dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Pencerapan itu dapat 
secara visual menurut penglihatan, secara audial menurut pendengaran, dan secara 
intelektual menurut kecerdasan. Contohnya seseorang yang dapat menikmati 
sajak-sajak yang indah (Gie, 1995: 18). Sajak-sajak yang mengandung makna etik 
estetik katarsis kadang kala dapat menguras air mata bagi pemerhatinya.
Setiap masyarakat mempunyai sistem konvensi penulisan dan penceritaan 
yang berbeda-beda sifatnya. Ada konvensi yang formal, misalnya dalam soneta, 
syair, kakawin, dan macapat. Konvensi lain dalam segi isi, misalnya roman 
sejarah dengan roman detektif, puisi lirik dengan puisi epik. Sistem itu sifatnya 
mengikat, namun juga menumbuhkan daya kreativitas. Sistem itu tidaklah kaku 
ketat, melainkan bersifat fleksibel, longgar, dan leluasa, baik secara sinkronik 
maupun diakronik. Secara sinkronik terbukti pengarang dalam batas tertentu 
mempunyai kebebasan memiliki kebebasan menyimpang dari konvensi untuk 
menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ingin dituturkan. Contohnya lagu 
parikan pada ludruk yang merupakan seni drama tradisional Jawa Timur. Secara 
diakronik sistem semacam itu ternyata senantiasa mengalami perubahan di 
sepanjang masa. Contohnya puisi dalam khasanah kesusateraan Jawa yaitu: 
kakawin, kidung, macapat, dan gêguritan (Darusuprapta, 1984: 27).
Pengetian suci yaitu bersih, kudus, tidak berdosa, tidak tercela, tidak 
ternoda, nirmala, keramat dan murni (Poerwadarminta, 1985: 862). Dengan 
demikian pengertian Sêrat Bima Suci adalah karya sastra Jawa yang memuat 
perjalanan spiritual tokoh Bima yang telah mencapai derajat kesucian lahir batin 
dan jiwa raganya.
Cara untuk menuliskan saat penulisan karya sastra Jawa tradisional ada 
beberapa macam. Apabila dalam karya sastra itu tidak terdapat petunjuk waktu 
penulisan dengan tepat, misalnya tidak tertulis hari, tanggal, bulan atau tahun 
penulisannya, maka dapat dilihat dan kemudian ditentukan atau diperkirakan saat 

penulisan itu dari sisi lain, contohnya dari bahasa atau gaya bahasa yan digunakan 
(Ratnawati, 1990: 3).
Saat penulisan Sêrat Bima Suci tercantum dengan jelas dalam bentuk 
sêngkalan. Sêngkalan adalah kata-kata yang diberi makna dan dalam perumusan 
sebenarnya merupakan penulisan angka tahun. Di samping itu, sêngkalan yang 
tercantum dalam karya sastra Jawa merupakan pertanda waktu ditulisnya sebuah 
karya sastra atau saat terjadinya peristiwa penting yang dilukiskan dalam sebuah 
karya sastra (Dwiharjo, 1985: 1).
Bentuk sêngkalan dalam karya sastra Jawa berhubungan erat dengan 
bentuk karya sastra itu sendiri. Dalam karya sastra Jawa secara garis besar dikenal 
dua macam bentuk, yaitu gancaran ‘prosa’ dan têmbang ‘puisi’. Dalam bentuk 
prosa, sêngkalan berbentuk satu rangkaian yang jelas. Pembaca akan mengetahui 
dengan terang tentang sêngkalan yang dimaksud. Sedangkan dalam bentuk puisi, 
ada yang berbentuk satu kesatuan dalam satu baris inilah yang menyulitkan, 
sehingga bagi pembaca harus pandai atau cermat dalam memahami sêngkalan 
yang demikian itu. Untuk memberi watek (nilai tertentu yang menunjukkan angka 
tahun) kata-kata tersebut, dengan berlandaskan pada guru (kesatuan atau patokan 
untuk memberi watek suatu kata) (Dwiharjo, 1985: 61). Sêngkalan dalam Sêrat 
Bima Suci disebutkan dalam bentuk têmbang. Kata pengantar Sêrat Bima Suci 
saat pertama kali ditulis oleh Yasadipura I pada tahun 1720 Jawa sebagaimana 
kutipan berikut :

Srangkaraning amuryani warti,
Rabi’ul akhir tanggal ping sanga,
Rêspati Wage wayahé,
pukul Sanga anuju,
wuku Bala Kapating akhir,
nuju windu Kunthara,
taun Bé lumaku,
Sangkala: nir-ing sikara,
wiku tunggal carita di Bima Suci,
winangun lawan jarwa
(pupuh Dhandhanggula I, pada 1)



Terjemahan 

Sebagai permulaan berita,
Rabi’ul akhir tanggal kesembilan,
Kamis Wage waktunya,
pukul sembilan tepat,
wuku Bala keempat akhir,
bersamaan windu khuntara,
tahun Bé berjalan,
sengkala: nir –ing sikara,
wiku tunggal cerita indah Bima Suci,
dibangun dengan gubahan.



Secara eksplisit Sêrat Bima Suci itu menunjukkan ketelitian Yasadipura I 
dalam menyadari arti penting waktu. Dengan mencantumkan hari, tanggal, dan 
tahunnya berarti konsep ruang dan waktu sudah mendapat apresiasi dan refleksi 
dalam dunia kefilsafatan Jawa. Bagian penutup saat selesainya penulisan Sêrat 
Bima Suci pertama kali dengan keterangan demikian.
Sesungguhnya sebulat-bulat ilmu ialah ilmu ketuhanan. Kebulatan 
mencakup kepercayaan dan penghayatannya, ilmu dan pengalamannya, 
pengakuan dan pembuktian. Dari sejak semula bumi Nusantara ini mengenal 
ajaran turun-temurun, titi, tetas, tetesing sabda, berbudi bawa laksana, satunya 
kata dan perbuatan (Supadjar, 1993:63).
Selanjutnya Damardjati mengatakan bahwa ungkapan sedulur papat lima 
pancer dan kiblat papat lima pancer itu terkenal. Dalam kraton Yogyakarta hal itu 
berstruktur rangkap, yaitu 4 – Bupati Dalem, 4 bupati luar, satu Warangka Dalem 
atau patih dan satu Sinuwun seperti struktur baku kemanusiaan. Kesemuanya itu 
diperkuat Masjid Pathok Negari keempat penjuru atau kiblat papat yaitu Ploso 
Kuning, Mlangi, Bantuntapan, dan Jejeran Wonokromo.

Sedangkan yang dimaksud dengan Panca Lima ialah gendhing khusus, 
yang setiap saat bisa dihentikan atau suwuk menjelang tancep kayon. Artinya ialah 
mereka yang sudah memenuhi kebulatan kelima syariat, setiap saat siap untuk 
menyongsong kehidupan abadi, sebagaimana dilambangkan oleh tarian boneka 
hidup, kayu tidak dimensional, yaitu golek kayu, yang berarti pencarian hidup 
(Supadjar, 1993: 68-69).
Dalam tingkat norma-norma yang berlaku berupa nilai budaya terlihat 
secara umum dalam sikap antara yang lebih tua dengan yang lebih muda. Yang 
muda akan datang ke yang lebih tua untuk : sowan, atau tuwi kesugengan atau 
atur pisungsun sebagai tanda kasih dan hormat. Sedangkan yang tua akan 
memberikan kepada yang lebih muda berupa : puji pangastuti atau doa restu, 
suwuk sêmbur, japa mantra atau memberikan sugesti tambahan kekuatan dan 
ketabahan dalam menghadapi suatu peristiwa dengan cara meniupkan doa-doa 
pada ubun-ubun. Wêjangan atau petuah, paring sangu bekal baik berupa pelajaran 
hidup atau contoh perbuatan (Herusatoto, 1984: 104-105).
Tindakan simbolis dalam adat yang sering dilakukan oleh orang Jawa yaitu 
dalam upacara perkawinan. Dalam hal ini Kodiran menjelaskan tata urutan 
upacara sebelum dilangsungkan peresmian perkawinan. Antara lain nakokake 
yaitu menanyakan kepada pihak perempuan, apakah gadisnya telah ada yang 
melamar atau belum. Kalau belum maka pihak laki-laki mendapat kesempatan 
untuk nontoni, yaitu kesempatan untuk melihat calon istrinya. Setelah itu 
diadakan upacara peningset, yaitu pemberian sepasang pakaian atau cincin 
sebagai pengikat.Kemudian pihak laki-laki dan perempuan menentukan hari dan 
bulan perkawinan, yang berlandaskan pada hari kelahiran kedua mempelai, 
kombinasi dari nama hari perhitungan tanggal Masehi dengan tanggal sepasaran 
(Kodiran, 1981: 365).
Koentjaraningrat menerangkan jalannya upacara temon yang dilaksanakan 
di ambang pintu masuk. Upacara yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu kedua 
mempelai saling melempar daun sirih, penegasan dari janji yang telah dibuat 
sebelumnya, dengan memecahkan sebutir telur dan membasuh kaki pengantin pria 
yang dilakukan untuk memohon doa restu orang tua penganten, upacara 
menimbang; serta penerimaan ucapan selamat dari para tamu (Koentjaraningrat, 
1984: 259).
Pada tingkatan adat yang keempat, aturan khusus yang mengatur kegiatan 
yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat dan bersifat konkrit simbolisme 
yang digunakan oleh orang Jawa dalam sikap dan tindakannya berupa ungkapan 
seperti sapa nggawé nganggo, sapa nandur ngundhuh, téga larané ora téga 
patiné, wong têmên tinêmu, wong salah sèlèh, ngono ya ngono nanging ya aja 
ngono (Soetrisno, 1977: 105).
Berkaitan dengan tradisi di atas, Damardjati mengatakan bahwa budaya 
upacara masih dominan dalam kehidupan sehari-hari. Upacara tidak bisa 
dilepaskan dari upacara dan upadhi, artinya Upa cara sebagai ambang atau 
persiapan kerja, sebab perkataan cara itu sama dengan bisa dipisahkan dari sikap 
tubuh, atau sila dalam rangka pencarian makna kebebasan. Apabila ditengok ke 
belakang akan ditemukan Upanishad, yang berarti di Kaki Guru Sêjati. Berhenti 
hanya pada upacara, kehilangan kandungan maknawinya. Dari upacara harus 
ditingkatkan menjadi tata cara. Tata mencakup aspek material dan formal atau 
guru bakal dan guru dadi. Sedang cara meliputi efisiensi dan efektivitas. Di 
sinilah keselarasan idiom negara wara tata, desa mawa cara. 
Setelah melampaui upacara dan tata cara meningkat pada aspek cara kerja, 
sesuai dengan tuntutan manusia modern yang menghendaki efisien dan efektif, 
tepat dan jitu atau dari working hard meningkat ke working smart. Sudah saatnya 
semua menerapkan konsep berjenjang upacara, tata cara, dan cara kerja (Supadjar, 
1993: 195-198). Sêrat Bima Suci mengandung nilai-nilai moral simbolik altruistis 
sebagaimana ditunjukkan oleh tindakan Bima yang senantiasa mengutamakan 
kepentingan masyarakat dan negaranya.
Ilmu pengetahuan merupakan institusi kebudayaan, suatu kegiatan 
manusia untuk mengetahui tentang diri dan alam sekitarnya. Tujuannya untuk 
mengenal manusia sendiri, perubahan yang dialaminya dan mencegahnya, 
mendorongnya atau mengarahkannya sehingga dapat mengambil manfaatnya, 
menghindarinya dan mengendalikannya (Jacob, 1996: 5). Tanpa pengendalian 
terhadap ilmu dan teknologi, manusia akan terkena bencana yang mengerikan. 

Misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pembuatan industri 
senjata militer, yang ujung-ujungnya untuk peperangan dan memusnahkan nyawa 
manusia. Di sini peranan moral sangat penting artinya.
Moralitas religius diharapkan dapat mengiringi kemajuan ilmu dan 
teknologi yang liar. Hal ini dapat dibuktikan bahwa hasil ilmu pengetahuan dan 
teknologi dalam khuluk yang seindah-indahnya ternyata tidaklah disertai dengan 
ketentraman dunia (Paryana, 1993, 339: 3 ). Dewasa ini dunia sedang dilanda 
kegoncangan yang luar biasa akibat proses globalisasi yang bersifat mendunia 
(Simuh, 1999: 1). Globalisasi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan. 
Bagaimana juga globalisasi harus dihadapi dengan sikap rasional, jeli, konseptual, 
cekatan, dan serius.
Keberadaan ilmu dan teknologi yang materialistik itu perlu diimbangi 
dengan aktivitas yang bersifat spiritualistis. Budaya lokal yang mengandung unsur 
spiritual dan dapat membawa suasana tenang dan damai perlu digali. Demikian 
juga karya sastra yang hanya sastra yang mampu menyajikan situasi sublimatif 
dan dapat membawa suasana katarsis bagi pembacanya, perlu dikaji dan 
disebarluaskan.
Secara sosiohistoris Sêrat Bima Suci berumur panjang dan sering 
dipentaskan oleh masyarakat Jawa sebagai bahan refleksi atas kehidupan dunia 
fana ini. Kualitas muatan spritualnya sungguh dalam dan mengesankan, sehingga 
masyarakat Jawa menjadikan cerita Bima Suci sebagai cermin kebijaksanaan 
untuk memahami kasampurnaning ngaurip atau kesempurnaan hidup. Bima 
sebagai tokoh sentral merupakan personifikasi manusia yang telah sukses 
menjalankan tugas ketuhanan, kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu penyangga dinamika peradaban 
modern. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat melahirkan 
bermacam-macam fasilitas teknologi yang mengagumkan. Fasilitas teknologi itu 
lebih efektif, efisien, sejahtera dan menentramkan umat manusia, karena dalam 
penggunaannya tidak meninggalkan aspek moral. Inovasi, kreativitas, dan 
produktivitas teknologi yang diselaraskan dengan moralitas akan menjamin 
kenyamanan keberadaan kebudayaan. 

Keteladanan dan petunjuk utama yang disiratkan dan disuratkan dalam 
Sêrat Bima Suci serta sêrat-sêrat kêjawèn lainnya adalah pentingnya kepatuhan 
kepada guru, gigih dalam mencari ilmu pengetahuan, percaya diri, tidak takut 
terhadap kesulitan, dan senantiasa memperjuangkan cita-cita luhur demi masa 
depan diri dan masyarakatnya.
Sêrat Bima Suci merupakan karya Yasadipura I yang memenuhi standar 
etika, estetika, kebaikan dan keindahan. Ramuan antara unsur Hindu, Jawa, dan 
Islam yang penuh dengan makna simbolik membuatnya menjadi bahan 
kontemplasi bagi kalangan kebatinan dan kasepuhan yang berlaku relatif lestari. 
Bentuk penulisan Sêrat Bima Suci sesuai dengan tradisi pada masa itu adalah dalam bentuk 
têmbang macapat. Sebelumnya sastra Jawa kebanyakan ditulis dengan mengikuti metrum kakawin 
dan kidung. Konvensi metrum macapat di dalamnya termasuk guru wilangan, guru lagu, guru 
gatra, pêdhotan, sêngkalan dan sasmita têmbang. Masing-masing unsur itu mengandung makna 
simbolik.
Kata sêrat mempunyai beragam arti. Sêrat yang berarti tulisan, 
menandakan bahwa budaya membaca kehidupan dan merekamnya dalam bentuk 
deretan aksara adalah ciri dinamika suatu masyarakat yang menyejarah dalam hal 
pengelolaan informasi. Sêrat yang berarti goresan alamiah pada sebuah kayu yang 
menunjukkan bahwa pernik-pernik dunia akan tetap anggun bagaimana pun 
keadaannya, asalkan hukum daur ulang berjalan normal. Begitu populernya kata 
sêrat, sehingga digunakannya untuk memberi nama-nama kitab yang bernilai.
Secara historis Sêrat Bima Suci berkaitan dengan Kitab Nawaruci yang 
ditulis pada zaman Majapahit yang bercorak Hindu. Kitab ini oleh Yasadipura 
digubah menjadi Sêrat Bima Suci yang sudah dipengaruhi unsur Islam. Sesudah 
Yasadipura I wafat, Sêrat Bima Suci terus disalin oleh beberapa tangan, sehingga 
keberadaannya menjadi banyak variasi. Adanya banyak variasi tidak perlu 
dirisaukan, justru patut disyukuri karena membuktikan bahwa masyarakat cukup 
responsif dan apresiatif.
Makna yang dikandung dalam manunggaling kawula gusti, satria
pinandhita, mati sajroning ngaurip, pramana, dan pancamaya cukup mendapat 
tempat di hati orang Jawa. Simbol-simbol di balik ungkapan itu terdapat refleksi 

dan kontemplasi atas segala yang ada, demi kesempurnaan hidup. Dari dan ke 
mana kehidupan itu harus diarahkan, biar tidak terjerumus dalam limbah 
kehinaan. Cerita Bima Suci menguraikan ungkapan di atas secara tersirat dan 
tersurat.
Pembangunan manusia seutuhnya yang imbang lahir-batin, 
material-spiritual, dan jiwa raganya dalam Sêrat Bima Suci secara sinoptik dapat 
dirumuskan dengan adanya manusia beriman, berilmu, dan beramal. Manusia 
beriman selalu berpegang pada ajaran Tuhan, melaksanakan perintah-Nya dan 
menjauhi larangan-Nya. Manusia berilmu selalu berpikir kreatif, inovatif, dan 
antisipatif, sehingga kehadirannya merupakan problem solving. Manusia beramal 
yaitu manusia yang berusaha mengaplikasikan landasan konseptual teoritis atas 
dasar pengamatan dan penelitian. Trilogi iman, ilmu, dan amal bermuara pada 
konsep insan kamil atau manusia paripurna.
Pengembangan kebudayaan nasional Indonesia akan berjalan lancar, 
damai, dan sejahtera bilamana didukung oleh manusia berkualitas, yang penuh 
dengan idealisme, dinamis, progresif, kompetitif, aktif, komparatif, dan produktif. 
Bima sebagai figur fiktif dipersonifikasikan sedemikian rupa, sehingga dapat 
dijadikan sebagai referensi dan suri teladan hidup. Meskipun hanya tokoh 
imajinatif, namun fantasi heroismenya dapat menggugah kesadaran yang 
menyegarkan dan inspiratif untuk menganyam suatu peradaban yang kondusif dan 
konstruktif.
Ajaran budi pekerti luhur hendaknya diberikan kepada semua siswa pada 
tiap-tiap lembaga pendidikan, baik yang bersifat formal maupun non formal. 
Prinsip-prinsip dasar budi pekerti untuk pendidikan anak harus disosialisasikan
sejak dini, dengan titik tekan pada muatan lokal yang sudah akrab dengan 
keluarga dan lingkungannya. Internalisasi nilai-nilai moral yang bersifat alamiah 
ini akan membentuk pribadi yang mengakar dan membudaya.
Inventarisasi kearifan tradisional yang sudah turun-temurun perlu 
dilakukan oleh perguruan tinggi secara profesional, sehingga memperlancar 
proses penelitian dan pengembangan kebudayaan asli nusantara. Dokumentasi 
seni budaya yang dimiliki perguruan tinggi merupakan data yang dapat dipakai 

sebagai salah satu sumber referensi buat para penentu kebijakan. Aktivitas 
kultural ini perlu menjalin kerja sama yang harmonis dengan lembaga-lembaga 
tradisional yang keberadaannya masih dilestarikan masyarakat.
Usaha pengembangan kebudayaan nasional perlu disertai dengan 
kesadaran historis dan sosiologis. Dengan kesadaran historis suatu bangsa akan 
dapat belajar dari pengalaman masa silam. Keberkaitannya dapat dicontoh, 
kesalahannya dapat dihindari. Kesadaran sosiologis akan dapat mengambil 
hikmah terhadap kenyataan yang sedang terjadi dalam suatu masyarakat, 
sehingga perbenturan, penglihatan, penindasan, penghisapan dan penipuan dapat 
dicegah, karena masing-masing pihak diuntungkan dan diakui.
Karya masyarakat tradisional seharusnya mendapat perlindungan, 
perhatian dan penghargaan. Penggusuran karya tradisional dengan alasan 
efektivitas dan efisiensi hanya menumbuhkan jiwa konsumtif, tanpa diimbangi 
sikap produktif terhadap segi apa pun. Sebuah komunitas tanpa karya tentu saja 
tidak punya rasa bangga kolektif, krisis jatidiri, dan tidak cukup percaya diri di 
hadapan komunitas lain. Produksi asli perlu adanya kreasi dan modifikasi.
Modal-modal pembangunan bangsa yang berupa sumber daya manusia dan 
sumber daya alam, perlu dikelola dengan sungguh-sungguh, supaya kegagalan dan 
kesia-siaan dapat dicegah. Harta benda publik harus bisa diatur secara bersama, 
terbuka, dan bergilir, sehingga kesejahteraan umum benar-benar diwujudkan. 
Perlu adanya kesadaran bahwa penderitaan dan ketertinggalan suatu kelompok 
merupakan beban dan tanggung jawab kelompok lain yang nasibnya lebih 
beruntung, sehingga keseimbangan hidup dapat dicapai dengan damai. Kharakter 
altruistik philantropis ini ditunjukkan oleh Sêrat Bima Suci yang 
dipersonifikasikan dalam tokoh Bima yang senantiasa menjaga keselarasan 
masalah ketuhanan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan.
Konsep etis filosofis yang terdapat dalam Sêrat Bima Suci dan kitab-kitab 
lain yang bertebaran di seantero nusantara perlu dikaji, diteliti, dikembangkan, 
dan disebarluaskan, sehingga dapat dinikmati dan dipelajari oleh kalangan umum 
yang masih awam. Dengan demikian inventarisasi dan dokumentasi secara rapi 
dan sistematis terhadap eksistensi kearifan lokal tradisional itu merupakan salah 
satu pengokoh dan pengukuh jatidiri kebudayaan nasional.



DAFTAR PUSTAKA


Drewes, G.W.J., 1977, Ranggawarsita, The Pustaka Raja Madya and The 
Wayang Madya, Oriens Extremus. 
Dwiharjo, 1985, Keterangan Penggunaan Sêngkalan, Setia Kawan, Semarang.
Gie, The Liang, 1976, Garis Besar Estetika, Filsafat Keindahan, Karya Kencana, 
Yogyakarta.
Gonda, J., 1925, Sanskrit in Indonesia, Den Haag.
Haryanto, S., 1988, Pratiwimba Adiluhung Sejarah dan Perkembangan Wayang, 
Djambatan, Jakarta.
Herusatoto, Budiono, 1987, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita, 
Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
Mardiwarsito, L., 1978, Kamus Jawa Kuno (Kawi-Indonesia), Nusa Indah, Ende 
Flores.
Padmosoekotjo, 1995, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I-VII, Citra Jaya 
Murti, Surabaya.
Poerbatjaraka, R. Ng., 1957, Kapustakan Jawi, Djambatan, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S., 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 
Jakarta.
Pradopo, Rahmat Djoko, 1988, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra 
Indonesia Modern, Lukman, Yogyakarta. 
Ratnawati, 1990, Nilai Kefilsafatan dalam Sastra Jawa, Pustaka Utama, 
Semarang.
Ricklefs, M.C., 1974, Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792 A 
History of the Division of Java, Oxford University Press, London.
Simanjuntak dan Simorangkir, 1959, Kesusasteraan Indonesia Baru, Gunung 
Agung, Jakarta.
Simuh, 1995, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, 
Bentang Budaya, Yogyakarta.
Soetrisno, 1977, Falsafah Pancasila Sebagaimana Tercermin dalam Falsafah 
Jawa, Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta.
Sudewa, A., 1995, Dari Kartasura ke Surakarta, Studi Kasus Sêrat Iskandar, 
Lembaga Studi Asia, Yogyakarta.
Supadjar, Damardjati, 1993, Nawangsari, MW Mandala, Yogyakarta.
Suryadipura, Paryana, 1993, Alam Pikiran, Bumi Aksara, Jakarta.
Wellek, Rene & Austin Warren, 1990, Teori Kesusasteraan, Terjemahan Melani 
Budhianta, Gramedia, Jakarta.









Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.