SERAT WIWAHA JARWA YASAN PAKU BUWANA III

SERAT WIWAHA JARWA YASAN PAKU BUWANA III




Oleh Dr Purwadi, M.Hum. 


Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, 


Hp. 087864404347


A. Pujangga Raja Paku Buwana III. 


Dhandhanggula 


Samya cipta ugering ngajurit, 

Ngaubi neng asmara dilaga, 

Pinuja ing batin kabeh, 

Titi tamat ing sampun, 

Ping pitulas Sakban Akhadi, 

Karya Jeng Sri Narendra, 

Wiwaha winangun, 

Wasiyat kang tapak asta, 

Jeng Susuhunan Paku Buwana kaping Tri, 

Ingkang minangka pusaka. 


Kutipan bait tembang dhandhanggula itu berasal dari Serat Wiwaha Jarwa. Karya Paku Buwana III menjadi bahan dasar lakon Mintaraga atau Lakon Begawan Ciptawening. Karya sastra yang bernilai tinggi buat orang Jawa. 


Hari Minggu Pon, 28 Maret 2021 segenap abdi dalem dan sentana Karaton Surakarta sowan di Pajimatan Imogiri. Dipimpin langsung oleh GKR Dra Wandansari Koes Moertiyah M.Pd. 


Telah hadir warga Paguyuban abdi dalem Karaton Surakarta dari Klaten Boyolali, Jakarta, Sukoharjo, Karanganyar dan Nganjuk. Hastana Pajimatan Sinuwun Paku Buwana III, Paku Buwana IV dan Paku Buwana V mengingatkan pada karya sastra bermutu tinggi. 


Paku Buwana III menulis kitab Wiwaha Jarwa. Diskusi ini dilakukan oleh ketua Pakasa Nganjuk yang dipimpin oleh KRT Sukoco Madunagoro. Dengan pendherek yaiku KMT Ida Madusari, Nyi Behi Indarti Puspodiprojo, Nyi Behi Sunarmi Sekar Rukmi. Mereka belajar warisan adi luhung. 


Pelopor perdamaian dunia yang patut dikenang adalah Sinuwun Paku Buwana III. Sejak naik tahta pada tanggal 15 Desember 1749 Sinuwun Paku Buwana III mulai melakukan  mesu budi atau asketisme intelektual. Perjalanan panjang peradaban Jawa dibaca dan direnungkan sebagai bahan refleksi. Kebijakan pemerintahan dan kenegaraan didasarkan pada referensi historis. Pengalaman empiris sejarah ini penting untuk dipelajari, sehingga policy yang dibuat menjadi lebih berkualitas.


Sinuwun Paku Buwana III lahir pada hari Sabtu Wage, 26 Ruwah atau 24 Pebruari 1732. Beliau suka membaca beragam literatur. Pustaka klasik merupakan sumber informasi yang berharga untuk mengungkapkan kehidupan masa silam. Kitab-kitab Mahabarata, Ramayana dan Adiparwa dibaca oleh Sunan Paku Buwana III. Kemudian dilengkapi dengan karya sastra tinggalan pujangga Jawa. Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Manoguna, Empu Triguna, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca merupakan cendekiawan yang mencerahkan pikiran Kanjeng Sunan Paku Buwana III. Imajinasi estetis memperkaya wawasan Sri Baginda Raja.


Studi komparatif antar teks kesastraan tersebut telah menjelaskan plus minus setiap jaman. Masing masing negeri, pemerintahan dan raja memiliki sistem yang berlainan. 


Dari kerajaan Mataram Hindu yang mewariskan candi Prambanan serta ephos Ramayana terdapat sisi positif yang perlu diadopsi. Wangsa Syailendra yang beragama Budha meninggalkan mahakarya. Candi Borobudur. Lantas berpindah ke Jawa Timur. Muncullah otoritas Medang, Kahuripan, Daha, Jenggala, Singosari dan Majapahit. Paku Buwana III mencermati sejarah.


Para pakar politik, sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, bahasa, sastra, hukum, fisika, kimia, kedokteran, farmasi, teknik diundang oleh Paku Buwana III. Mereka diberi fasilitas untuk sarasehan, diskusi, dialog, musyawarah, rembugan guna merumuskan kebijakan yang tepat.


 Pemerintahan Mataram yang beribukota di Surakarta sedang punya problem. Persoalan kenegaraan itu memerlukan penyelesaian yang sempurna dan tuntas. Peta permasalahan, latar belakang, tinjauan pustaka, diskripsi, analisis, metode, pembahasan dan kesimpulan disusun dengan standard ilmiah dan akademis.


Seminar digelar beberapa kali. Semua peserta bebas bicara, tanpa seleksi, tanpa tekanan, tanpa pesanan. 


Diskusi terbatas dilakukan pertama kali pada tanggal 24 Maret 1753 di desa Candi, Ampel, Boyolali. Di sana terdapat villa Kraton Mataram yang disebut Pesanggrahan Madusita. Selama empat hari mereka berdebat. Suasana keras dan panas. Tapi cuma sebatas wacana. Di luar sidang mereka tetap bersahabat santai sambil minum kopi. 


Di bawah kaki Gunung Merbabu tersebut Sunan Paku Buwana III bikin kesimpulan atas permasalahan terumus. Diskusi awal ini menarik perhatian. Segera diatur pertemuan kedua. Tempat yang dipilih adalah Pesanggrahan Deles, Kemalang Klaten. Hawanya sejuk. Di tempat yang asri ini Sinuwun Paku Buwana III membaca semua kitab Jawa kuna. Sarasehan kedua diadakan pada tanggal 20 Juli 1753. Hadir dalam pertemuan ini adalah Pangeran Wijil Kadilangu, Pangeran Aneh, Ngabehi Sastrawijaya, dan Kyai Yasadipura I. 


Pesanggrahan Langenharja yang berada di tepi Bengawan Solo dijadikan pertemuan ketiga. Konsep semakin matang, data, fakta, analisa, dialog oleh tim ahli yang berasal dari berbagai bidang. Hasil konsep itu dibicarakan lagi dengan ditambah data mutakhir. Diskusi pada tanggal 24 April 1754 menghasilkan pemikiran yang semakin maju. 


Para peserta semakin menyadari dan mengerti duduk persoalan. Cara mengatasi dan merampungkan permasalahan diulas sistematis, integral dan komprehensif. Para pakar kraton, LSM dan aktivis datang dengan data hasil riset yang valid. Mereka merasa bertanggung jawab atas perkembangan peradaban pada masa depan.


Semangat untuk mendapatkan problem solving karena didasari pengetahuan yang rinci dan mencukupi. Atas usul Raden Tumenggung Widyo Pratignyo sarasehan dilanjutkan pada tanggal 5 September 1754 di daerah Sambungmacan Sragen. 


Konsumsi, transportasi dan akomodasi dibiayai sendiri. Beliau menjabat Wedana yang mumpuni dan disegani. Kebetulan Raden Tumenggung Widyo Pratignyo mempunyai lembaga pendidikan di kota Sragen.


 Di sana terbiasa dialog dan diskusi ilmu pengetahuan. Sedangkan Nyi Tumenggung Widyo Pratignyo adalah pengusaha mebel yang terkenal. Ekspor impor meja, kursi, almari, amben, pintu, jendela, dan barang-barang berukir melalui pelabuhan Rembang. Nyi Tumenggung mempekerjakan juru ukir dari Jepara yang mahir kayu. Relasi Nyi Tumenggung dari pesisir utara terdiri dari pengusaha, birokrat, kepala pelabuhan, bos bandar dan pedagang kayu.


Riset dan pengetahuan pokok tentang problematika telah dikuasai oleh Sinuwun Paku Buwana III. 


Tim ahli yang dibentuk merupakan Lembaga Pengetahuan Kraton (LPK) yang ahli dan mumpuni. Analisa yang dibuat sungguh tepat karena berbasis data. Publik memberi kepercayaan penuh. Lembaga Pengetahuan Kraton terdiri dari Kyai Yasadipura, Panjang Mas, Panjang Swara, Pangeran Karanggayam, Ki Ageng Karanglo, Tumenggung Sastronagoro. 


Data lapangan, dokumentasi, historis dan referensi klasik berlimpah ruah. Lalu dibuat klasifikasi, deskripsi dan interpretasi. Benda-benda arkeologi yang berwujud candi, petilasan, prasasti dipelajari. Tumbuh-tumbuhan dan hewan dicatat. Geografi daerah dibikin untuk memudahkan distribusi. Perpustakaan dibangun untuk penyebaran ilmu pengetahuan.


Kitab Jawa klasik dialih aksara, dibaca, disadur dan diterjemahkan. Kitab Arjuna Wiwaha, Baratayuda, Gathutkaca Sraya, Kresnayana, Asmaradahana, Pararaton, Negarakertagama, Arjuna Wijaya, Kidung Ranggalawe, Sutasoma, Suluk, Dewaruci, Menak, Panji, Kakawin, dan Macapat dijadikan obyek kajian.


 Perpustakaan Widya Pustaka diberi fasilitas dan tenaga yang melimpah. Gaji cukup, prestise dan bergengsi. Pegawai perpustakaan makmur dan mujur. Mereka rajin membaca, bikin sinopsis, catatan ringkas, katalog, saduran, terjemahan, interpretasi dan penyalinan. Ilmu berkembang maju.


Ketemulah kitab Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa. Kitab ini dihimpun pada jaman kerajaan Kahuripan. Rajanya bernama Prabu Airlangga. 


Ajaran keprajuritan, nasionalisme, kebajikan, keluhuran, keagungan, kewibawaan dan perdamaian banyak ditemukan dalam Kakawin Arjuna Wiwaha. Sinuwun Paku Buwana III tertarik dan membaca sepenuh hati. Empu Kanwa diperintah Airlangga untuk menyusun kitab Kakawin Arjuna Wiwaha punya maksud luhur. Di samping mengembangkan estetika pewayangan, kitab Arjuna Wiwaha membawa misi perdamaian. Kraton Kahuripan, Singosari, Daha, Kediri, Jenggala, dan Medang diberi otonomi dan otoritas yang adil, terbuka dan jujur. Inilah inspirasi Sunan Paku Buwana III untuk meniru kebijakan Prabu Airlangga.


Pembagian wilayah dengan teritorial otonom adalah solusi untuk Mataram, agar tercapai perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sentralisasi kekuasaan cuma memanjakan nafsu keserakahan. Orang lain tidak boleh madhani atau menyamai. Dirinya berubah menjadi orang yang paling hebat. Itu mesti dihindari. Perdamaian diperoleh dengan membagi peran dan eksistensi, biar semua pihak bisa hidup wajar.


Diutuslah para diplomat untuk mendekati barisan oposisi Mataram. Personal approach yang dilakukan tim diplomasi sungguh menguasai dalam bidang psikologi, perdamaian, civil society, ekonomi, hukum, tata negara, dan otonomi daerah. Secara berkala tim diplomasi melaporkan hasil kerja pada Sunan Paku Buwana III. Usaha damai mendapat sokongan dari berbagai pihak. Pengusaha, pengamat dan pelaku bisnis. Seolah-olah mereka punya harapan untuk menyongsong masa depan yang penuh damai dan ayem tentrem.


Juru runding mula-mula mencari informasi tentang pola pikir Pangeran Mangkubumi. Sunan Paku Buwana III percaya bahwa pamannya itu punya niat baik untuk membangun Mataram. Soal perbedaan politik dianggap sebagai barang biasa dan wajar. Juru runding pelan-pelan melakukan dialog tentang beragam masalah dan solusi. Dalam aktivitas dialog kedua belah pihak tidak kaku memegang egoisme. Cita citanya sama, yaitu demi kesejahteraan dan perdamaian. Hidup mesti saling memberi dan saling menerima. 


Tidak boleh menang-menangan. Prinsip saling menghormati dipegang teguh. Dengan semangat kekeluargaan Sunan Paku Buwana III menyetujui perjanjian Giyanti. Pangeran Mangkubumi diberi otoritas di Yogyakarta dengan sebutan Sultan Hamengku Buwana I. Perjanjian Giyanti ditanda tangani Sunan Paku Buwana III pada hari Kamis Kliwon 29 Rabiul Akhir 1680 atau tanggal 13 Pebruari 1755. Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I mendapat anugerah besar dari Sinuwun Paku Buwana III.


Tokoh politik dan militer yang perlu disantuni adalah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Beliau berjuang selama 15 tahun. Sunan Paku Buwana III mengirim surat kepada Pangeran Sambernyawa, yang merupakan kakak sepupu. Dengan hati tulus, rendah hati, sopan, terbuka, logis, sportif, jujur, bermartabat, bersahabat dan enak isi surat Paku Buwana III amat menyentuh sanubari Pangeran Sambernyawa. Bahkan sang kakak sampai meneteskan air mata. Kutipan surat Paku Buwana III untuk Raden Mas Said demikian :


'Sasampunipun taklim kula kakangmas Pangeran Adipati Mangkunegara dhumateng sampeyan.


Wiyosipun, satampining serat kula punika kakangmas kula aturi dhateng ing Surakarta. Salajengipun amomonga ing sarira kula, amargi anggen kula jumeneng Nata rumaos kijenan temah kontit. 


Jalaran rama Pangeran Mangkubumi samangke sampun jumeneng Sultan wonten ing Ngayogyakarta. Dados boten wonten malih ingkang prayogi momong sarira kula kajawi panjenenganipun kakangmas. Manawi kakangmas sampun karsa pinanggih kaliyan kula, punapa ingkang kakarsakaken, kula badhe mituruti. Punapa malih bab siti ing Mataram, sarta ing dhusun Sala ingkang sampun wonten astanipun kakangmas, inggih kula lulusaken dados kagunganipun kakangmas.'


Surakarta, 17 April 1756


Paku Buwana III


Susunan kata surat tersebut amat cantik. Hati haru, trenyuh dan kagum pada kemuliaan Sinuwun Paku Buwana III. Beliau menganggap raja punya sikap ber budi bawa laksana. Tidak ada alasan untuk menolak ajakan damai Sri Baginda Raja. Sunan Paku Buwana III mengajak bicara empat mata. Catur netra dalam dialog ini meyakinkan Pangeran Sambernyawa untuk pulang ke istana Surakarta.


Sinuwun Paku Buwana III memberi jaminan dalam bentuk kontrak politik yang terkenal dengan Perjanjian Salatiga. Ditandatangani oleh Paku Buwana III pada hari Sabtu Legi, 5 Jumadil Awal atau 17 Maret 1757. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak. Pangeran Sambernyawa diberi ganjaran bumi Karanganyar, Wonogiri dan Pacitan. Hadiah ini berlaku turun-temurun. 


Pangeran Sambernyawa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I. Beliau bertahta di Pura Mangkunegaran dengan otoritas Kadipaten Otonom. Kali ini Sunan Paku Buwana III tampil sebagai juru damai. Problematika Mataram yang ruwet diselesaikan dengan damai. Beliau menjauhi sikap kekerasan. Tidak ada korban jiwa. Semua berjalan aman dan selamat.


Prestasi damai ini berbuah salut dan rasa hormat dari Sultan Hamengku Buwana I dan  KGPAA Mangkunegara I. Tindakan Paku Buwana III tulus ikhlas. Jauh dari mengejar popularitas. Beliau wafat pada hari Jumat Wage, 25 Besar atau 26 September 1788. Namun demikian perlu dicatat bahwa sikap Sunan Paku Buwana III tegas dalam hal menurunkan tradisi leluhur. Kotagede, Imogiri dan Ngawen menjadi hak penuh Kraton Surakarta. 


Sejarah mencatat bahwa Paku Buwana III satu-satunya raja yang bersedia power sharing. Pengetahuannya yang luas dan dalam terhadap polemologi atau ilmu perdamaian menghasilkan putusan yang tepat, terhormat serta bermartabat. Lumrah sekali jika makam Sunan Paku Buwana III terdapat julukan Sunan Suwarga. Sebuah gelar penghormatan yang semestinya diterima.


Aktivis perdamaian perlu mengingat strategi damai yang telah dicontohkan oleh Sunan Paku Buwana III. Bila perlu diusulkan mendapat piagam NOBEL.


 Penghargaan tertinggi Nobel hendaknya diusulkan oleh masyarakat Indonesia untuk Sunan Paku Buwana III. Beliau telah menjadi contoh eksekutif, raja, priyayi, bangsawan dan ilmuwan yang mewariskan nilai perdamaian abadi dan keadilan sosial.   


B. Bapak Perdamaian Dunia. 


Peradaban Jawa tampak agung dan anggun ketika terjadi perjanjian Giyanti. Segala persoalan diselesaikan lewat meja perundingan. Hak dan kewajiban dijalankan sesuai dengan kesepakatan. 


Kanjeng Sinuwun Paku Buwana III mendapat gelar Bapak Perdamaian Dunia. Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadilah peristiwa historis yang cemerlang dan gemilang. Yakni ditandatanganinya perjanjian Giyanti.


 Desa Giyanti Jantiharjo Tegalgedhe Karanganyar menjadi sangat terkenal karena dipilih Sunan Paku Buwana III sebagai tempat perjanjian penting. Sebelum membubuhkan tanda tangan, Paku Buwana III berdoa demi keselamatan leluhur dan seluruh kawula Kraton Mataram.


Sri Susuhunan Paku Buwana III berusaha untuk menghentikan “peperangan saudara", dengan alasan bahwa peperangan yang telah terjadi mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat. Pikiran itu diterima baik, dan pada hari Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiulakir 1680 atau 13 Pebruari 1755, Perjanjian  penghentian peperangan ditandatangani. Perjanjian  itu disebut “Perjanjian  Giyanti" atau “Palihan Nagari". 


Tokoh sentral Perjanjian Giyanti adalah Sinuwun Paku Buwana III yang memiliki tabiat jiwa agung dan berbudi luhur. Yogyakarta diserahkan pada Sultan Hamengku Buwana I, kecuali daerah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen. Hartingh adalah satu-satunya kepercayaan Gubernur Jendral  Mossel. Ia mengenal betul akan adat-istiadat Jawa, bahkan sebelum ia menjadi Gubernur di Semarang, ia pernah tinggal di Surakarta, melulu untuk belajar bahasa Jawa. 


Cara bekerjanya Hartingh tidak seperti rekan  yang digantinya, van Hohendorff. Kalau rekannya itu lebih menyukai kekerasan, adalah Hartingh lebih suka mengambil jalan  sebagai “juru selamat". Konsultan asing ini diajak rembugan oleh Paku Buwana III untuk meredakan ketegangan. Sri Susuhunan Paku Buwana dan Sri Sultan Hamengku Buwana bisa mendapat kesempatan saling bergandengan tangan. 


Buku-buku mengenai sejarah dunia dan khususnya historiografi Jawa banyak dibaca oleh Sunan Paku Buwana III. Beliau turut membina negeri-negeri pemekaran. Untuk menghormati tempat yang bersejarah, yaitu hutan Beringan, yang pada jaman marhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi menduduki tahta Mataram, telah merupakan kota kecil yang sangat indah dan ada istana pesanggrahannya, yang dalam sejarah terkenal dengan nama Garjitawati. 


Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwana II bertahta di Kartasura, sebagai Ibukota Mataram, nama pasanggrahan itu diganti Yogya, yang dimasa itu hanya dipergunakan tempat pemberhentian layon layonnya  para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri, hingga Pesanggrahan itu dipandangnya sebagai salah satu tempat suci,  yang mendapat berkatnya para Luhur Mataram.


Pola arsitektur kraton Surakarta banyak ditiru oleh kerajaan-kerajaan baru. Sunan Paku Buwana III setuju-setuju saja. Hubungannya pembangunan Taman Sari demikian juga, Taman Sari adalah salah satu tempat istirahat, yang letaknya ada disamping Keraton sebelah Barat, yang oleh orang-orang Barat dikenal sebagai satu-satunya “waterkasteel" di Jawa. Dalam sejarah-sejarah Yogyakarta banyak disebut, bahwa pembangunan Taman Sari itu dikerjakan oleh seorang Portugis, tetapi kalau benar demikian, tentulah bangunan Taman Sari itu paling sedikit berbau corak Portugis. 


Sedang Prof. P.J.Veth dalam bukunya “Java" telah membantah pendapat-pendapat itu, sebab olehnya ditegaskan, bahwa Taman Sari itu, adalah bangunan corak Jawa asli. Dugaan bahwa pemilihan tempat untuk Ibukota lebih condong kepada “pertahanan", dapat diperkuat dengan berdirinya bangunan Taman Sari,  yang boleh dikata sebagai sebagian daripada Keraton. Pada lahirnya Taman Sari adalah merupakan tempat beristirahat untuk mendapatkan sekedar hiburan. 


Tetapi siapa yang telah menyelidiki “Waterkasteel" ini dengan sesungguhnya, terutama pada bagian-bagian sebelah dalam, diantaranya terdapat juga jalan-jalan kecil didalam tanah  yang menembus kebeberapa jurusan, berbeluk-beluk, diantaranya ada yang menembus sampai keluar kota.


Babad Palihan Negari atau Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Sebuah perjanjian yang pada intinya membagi negara Mataram menjadi dua bagian. Separuh diperintah oleh Susuhunan Paku Buwana III dengan ibukota Surakarta, bagian yang lain dikuasai oleh Susuhunan Kebanaran yang sejak itu berganti gelarnya menjadi Sultan Hamengku Buwana I, dengan ibukota Ngayogyakarta. 


Pembagian negara ini juga diikuti dengan pembelahan budaya. Budaya Surakarta dengan budaya Yogyakarta seolah-olah bersaing keras yang tidak jarang menciptakan perselisihan. Terhadap tiga kekuatan itu Mangkunegara masih dapat mempertahankan diri dua tahun lamanya dan pada hari Kamis, tanggal 24 Februari 1757, beliau menyerah dengan rela hati pada Susuhunan. 


Permusyawaratan antara Kompeni (Hartingh), Sunan Mas Said dan Danurejo I (utusan dari Sultan) terjadi pada hari Kamis, tanggal 17 Maret tahun 1757. Dalam pertemuan itu Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa diangkat menjadi Pangeran Miji dengan upacara istimewa dan diberi lungguh sebesar 4000 karja. Sebagian dari lungguh ini ialah Daerah Kaduwang; yang lain terletak di Laroh, Matesih dan Gunungkidul. Selanjutnya dipastikan, bahwa Mangkunegara diwajibkan menghadap Sunan pada tiap hari Senin, Kamis dan Sabtu. 




Berkat kemurahan Sunan Paku Buwana III, maka berdirilah Kasultanan Ngayogyakarta. Daerah Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen tetap berada dalam kekuasaan Kraton Surakarta. Traktat (perjanjian) reconciliatie (perdamaian, damai), persahabatan dan persekutuan antara yang terhormat ‘Oost-Indische Compagnie’ Belanda pada satu pihak dan Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatolah pada pihak yang lain, atas nama  dan perintah istimewa dari Yang Mulia Jacob Mossel, jendral infanteri dalam dinas nagara Belanda Serikat. 


Juga karena Gubernur Jendral itu sendiri dan yang terhormat anggota anggota dewan Hindia Belanda, yang mewakili daerah tertinggi dan berdaulat ini atas nama persatuan dagang umum ‘Oost Indhische Compagnie’ Belanda yang mempunyai izin sepenuhnya untuk berdagang (octrooi), oleh Tuan Nicolaas Hartingh, Gubernur dan direktur segala usaha di Jawa dan wakil yang mempunyai hak penuh pada perundingan perdamaian tersebut, disetujui dan ditetapkan’, perjanjian di desa Giyanti, dekat Surakarta, dalam tahun 1755, bulan Pebruari, tanggal 13, hampir 200 tahun yang lampau.


Pasal 1 dari perjanjian Giyanti ini mengatakan, bahwa, ‘tuan tuan yang terhormat, juga menyetujui akan mengangkat Mangkubumi sebagai Sultan atas setengah daerah pedalaman kerajaan Jawa, supaya di samping Susuhunan Paku Buwana, memerintah propinsi-propinsi dan distrik-distrik yang pada pembagian jatuh kepada tangan masing-masing, dengan gelar dan nama kehormatan Sultan Hamengku Buwana Senapati Ingalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama Kalifatolah, maka saya Nicolaas Hartingh, Gubernur dan direktur dan ‘wakil mempunyai hak penuh’ pada rapat perdamaian ini, pada pihak saya, atas nama Yth. Oost Indische Compagnie Belanda, sekarang mengangkat beliau tersebut, menetapkannya dan mengakuinya sebagai Sultan yang sah atas tanah yang diserahkan kepadanya sebagai tanah pinjaman dengan hak menggantinya untuk ank-anaknya yang sah yakni Adipati Anom, Mas Sundara dan Hangabei; dan saya, Sultan Hamengku Buwana akui dan terangkan di sini dengan penuh rasa terima kasih, menerima pangkat (derajat, kemuliaan) itu sebagai penghargaan istimewa dengan syarat-syarat yang berikut ini, yang akan dipandang dari kedua belah pihak sebagai hukum yang tak dapat diubah ubah selama lamanya dan yang harus dipegang teguh oleh kedua belah pihak dengan sungguh sungguh sebagai hukum yang suci.’


Memang bagi Mangkubumi perang tersebut ada hasilnya. Beliau diangkat dan diakui sebagai Sultan atas setengah dari daerah daerah kerajaan Paku Buwana III yang dulu di Jawa, daerah daerah mana dipinjamkan oleh kompeni kepadanya dengan hak warisan kepada anak anaknya laki laki yang sah, Adipati Anom. Sekali lagi, Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta, tetapi tidak boleh menguasai Kotagedhe, Imogiri dan Ngawen.




C. Tractaat van Reconciliatie. 


(Hamengku Buwana I – Kompeni)


Tractaat van reconciliatie, vreede, vriend en Bondgenootschap tussen de doorluchtige Nederlandsche Oost Indische Compagnie ter eenre, en, den Sulthan Haming Coboeana Senopatty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama kalifattolach ter andere zijde, uyt name en op speciale last van Zyn Excellentie den Hoog Edelen Heere Jacob Mossel, generaal van de Infanterie ten dienste van den Staat der Verenigde Nederlanden, mitsgaders weegens deselve Gouverneur-Generaal en d’Edele Heeren Raaden van Nederlands-India, representeerende get hoogste en souveraine gebied van weegen de Generaale Vereenigde Nederlandsche g’octroyeerde Oost Indische Compagnie in dese landen door den heer Nicolaas Hartingh, Gouverneur en directeur over de saken van Jaca en plenipotentiaris tot gemelde vreedehandeling g’arresteert & vasgesteld.


Artl. 1


Nademaal de Heeren den Gouverneur Generaal en de Raaden van India uyt overweeging dat den Sulthan gedreeven door edelmoedige gevoelens van berouw en leetweesen, over dat hy in den Jaere 1746 zig de gehoorsaemheyd beyde van zyn wettiegn vorst, den doenmaligen regeerenden Soeosoehunang Pacoeboeana Senopaty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panata-gama en van de Comp. 


Heeft ontrokken, en ook over al hetgeene door hem zeedert zyne verwydering van het hoff tot Souracarta Adiningrat in de daarop gevolgde troubelen ten desen eylande met de mal-contente en de nog daarvan in leven zynde rebelleerende Princen is ondernoomen soo ten nadeele van de Compagnie en Haren wyt uytgebreyden staat op deze Cust als den zetel van het Mattaramsche Ryk, de protectie en bescherming van de Nederlandsche g’octroyeerde oost-Indische maatschappye weder is koomen imploreeren op de dikmalige gereitereerde seriuse en seer ernstige aanmaningen van den presenten heer Gouverneur en directeur langs Javas noord oost Cust, uyt naam ende van weegen wel melde Comp. Gegagte Sulthan vergeven & geremitteerd hebben alle soodanige reedenen van offentie als hooggeme. 


Haer Edelens in voorsz. Gevallen tot een billuk rerrentiment gegeeven zyn, en daarby teffens goedgevonden hebben denselven te benoemen en aan te stellen tot Sulthan van de helft den bovenlanden van het Javase ryk om nevens den presenten Soesoehoenangh Pacoeboeana daarover ofte de provintien en districten, welke een ieder by derselver verdeeling te beurt komen te vallen, het gezag te voeren onder den Titul en Eernaam van Sulthan Hamingcoeboeana Senopaty Ingalaga Abdul Rachman Sahidin Panat-gama Kalifattolach, zoo verklaare ik Nicolaas Hartingh, Gouvernoer en directeur en plenipotentiaris tot dese vreedehandeling aan myn kant uyt naam ende van weegen de doorluchtige Nederlandshe Oost Indische Compagnie denselven tegenwoordig te benoemen, aan te stellen, en te erkennen voor wettig verkooren Sulthan over de landen, welke als een leen aan denselven werden afgestaan met het recht van successie voor zyne wettige erven desselfs zoonen Adipatty Anom, Maas Soendoro, en Ingabey, ingevalle zig omtrent d’Compe. 


Wel komen te gedragen, en ik Sulthan Hamingcoeboeana certificeere en verklare by desen met de uyterste dankbaarheyd en erkentenisse als een singuliere gunst die waardigheyt te ontfangen op de hierna te meldene conditien en voorwaarden, welke van beyde de contracteerende parthyen sullen werden aangesien als een eeuwige wet, die onverbrekelyk en van wederzyden heyliglyk en oprechtelyk zal werden onderhouden en naargekomen.


Artl.2


Daar zal dan nu en ten allen dage een oprechte vrindschap & harmonie resideeren tusschen de onderdanen van de doorluchtige Nederlandsche Oost-Indische Compe. En de volkeren van Java om malkanderen in allerley nood en verleegenheyt hetrouwelyk met Raad en Daad by te staan, elkanders best te bevorderen en schaaden af te weiren, Even alsof zy een volk waaren.


Artl.3


En om zulx te beeter te bevestigen sullen zoowel den ryks-bestierder als andere hoofdregenten en alle degeene, dewelke in de bovenlanden eenig gezag hebben, wanneer zy doro den Sulthan worden aangesteld, alvoorens tot de exercitie van haar ampt te worden g’admitteerd tot Samarang in persoon moeten koomen afleggen aan handen van den gouverneur & directeur, die aldaar van wegens de Nederlandsche Oost-Indische Compagnie het gezag zal voeren, den eed van Trouwe en gehoorsaemheyt, even als omtrent haaren vorst en met gelyke betrekkinge als tot denselven.


Artl.4


Den Sulthan zal ook niemand tot voorsz. Eerampten van ryksbestierder of hoofd of andere regenten aanstellen dan na voorafgaande approbatie van hooggemelde Generaal & Raaden, aan welke de genomineerden sullen worden voorgedragen ter erlanging van derselver toestemming, tzy door den Sulthan zelfts of zynen ryksbestierder by een brief direct aan Haer Hoog Edelens dan wel door den Gouverneur en directeur op Samarang, nadat hem zulx van het hoff zal weesen versogt en opgedragen, gelyk ook den Sulthan in selver voegen niemand van de reedenen van dien te hebben opgegoeven aan de heeren Generaal en Raden, en derselver toestemminge daartoe te hebben erlangt, alles om tot een openbaar bewys te dienen dat de Compe & Java voortaan onafscheydelyk en als een zullen zyn.


Artl.5


Den Sulthan verklaart en verseekert ook by desen niement van de thans in leven zynde regenten ooyt eenige de minste moeyte te zullen aandoen ofte deselve tot eenige verantwoording of rekeschap trekken over hetgeen in dese laatste troubelen voorgevallen is, en het gedrag dat zy daarinne gehouden hebben, maar in selver voegen gelyk de Compe. Genereuslyk vergeevn heeft al het groot ongelyk dat haer is aangedaan, ook te zullen vergeeven & nimmermeer revengeeren wat zyn onderhoorige omtrend hem mogten hebben gepecceerd.


Artl.6


Den Sulthan verklaart en beloofd voorts dat hy tegenwoordig geene pretensie maakt nog nimmer maken zal op het geheele Eyland Madura, nog op de starnden door de Comp. Wettig beseeten werdende, ingevolge het contract tusschen Haar en den nu overleeden Soesoehoenang Paccoeboeana geslooten den 18 May anno 1746 en dat niet allen voor zig maar ook voor zyne erfgenaamen, item dat hy, byaldien de Compe. 


Hem daartoe aansoek mogt komen te doen, deselve met alle zyne kragten en vermoogens zal byspringen en adsisteeren tegen alle desulke, die haar vyandelyk mogten koomen aan te tasten en te overvallen, in het wreedig bezit harer zeeprovintien, waartegen zy weder aan Zyn Hoogheyt, soodra die reets weesentlyk aan deselve Compe. Zal hebben gelevert een Jaer zyner landsproducten tegens de hieronder gefixeerde en vastgestelde pryzen zal doen uytkeeren de helft van de 20000 Spaanse realen, welke door haar weegens den afstand der strand-regentschappen worden betaalf en soo vervolgens jaerlyx.


Artl.7


Inzelvervoegen belooft en neemt den Sulthan aan den presenten Soesoehoenang Pacoeboeana, hofhoudende Tot Soeracarta Adiningrat met alle Zyne vermogens by te zullen springen, wanner zulx noodsakelyk mogt worden bevonden, en dat niet allen den presenten vorst, maar ook alle die de Compe. Van tyd tot tyd mogt goed vinden daartoe te verkiesen en uyt haeren name het gebied in zyn plaats komen te voeren, beyde tegens uytheemsche en binnenlndsche vyanden of rebellen.


Artl.8


Al verder verbind den Sulthan zig om alle de in zyn land vallende & vercoerbaere producten aan de Compe. Te zullen leeveren en doen leeveren ofte aen de, haerent weegen ten dien eynde na de bovenlanden gesonden werdende inkoopers te vergebruyk is geweest, Te weeten:


Een coyang groene catjang van 28 picols ieder van 130 lb.van rds. Hollad 25.


Een coyang witte bonen van 28 picols ieder 130 lb.van rds.Holland 16.


Een picol van 130 lb.ronde swarte peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.


Een picol van 130 lb. swarte peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.


Een picol van 130 lb.lange peper en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.


Een picol van 130 lb.Cardamom en dubbeld geharpte, rds. Holland 5.


Een picol van 130 lb.Corianderzaat en dubbeld geharpte, rds. Holland 3,43½ .


Een picol van 130 lb.finkelzaat en dubbeld geharpte, rds. Holland 6.


Een picol van 130 lb.mostertzaad en dubbeld geharpte, rds. Holland 6.


Een picol van 130 lb.indigo eerste soort en dubbeld geharpte, rds. Holland 78,6.


Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 1 soort La. A, rds. Holland 40.


Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 2 soort La. B, rds. Holland 30.


Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 3 soort La. C, rds. Holland 20.


Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 4 soort La. D, rds. Holland 16.


Een picol van 128 lb.Cattoene garen, 5 soort La. E, rds. Holland 10.


Een picol van 128 lb.hartshoorn, rds. Holland 1,30.


Belovende daarenboven het zyne te zullen contribueren en zyn gezag en authoriteyt te gebruyken, soo sulx noodig mogt werden g’oordeelt, om de procure der voorsz. Producten te melioreeren en een ruymen insaam en leverantie te besorgen tot contentement der E. Maatschappye en tot welzyn van zyne onderdanen, zig zoo omtrent de aanplanting als uytroeying schikkende na de begeerte van ged. Compagnie, die hem, dit geraden g’oordeelt werdende, sulx sal laten adverteeren en bekent maken.


Artl.9


Eundelyk worden hierby voro g’insereert en meede door Zyn Hoogheyd beswooren gehouden alle voorgaande contracten, verbintenissen en overeenkomsten tusschen de Nederlandsche Oostindische Compe. En de vorsten van ‘t Mattarmse ryk successive geslooten en aangegan, speciaal die van der Jaere 1705, 1733, 1743, 1746 en 1849, voor sooverre de poincten daarinne vervat niet strydig werden bevonden met dit tractaat, waarin byaldien het tegen hoop en verwagting quam te gebeuren dat door den Sulthan Hamingcoeboeana ofte zyne successeurs in vervolg van tyd infractie wierde gemaakt en daer tegen aangegaan, zal denzelven verstoken zyn en blyven van het geheele bezit derlanden, provitien en districten thans aan hem als een leen afgestaan werdende, welke in sulk een onberhoopt geval tot de Compe. Zullen terugkeeren om over deselve in diervoegen te disponeeren als deselve na bevinding van zaeken geraden oordeelen zal.


Aldus Gedaan, gecontracteert en b’eedigt in ‘s vorstens campement tot Gantie den 13 February anno 1755.


At a certain time a trading ship dopped its anchor at the Batavia harbour. The trading ship was a large one but due to a mighty storm in the middhe of the ocean, its mast was broken. It happened to reach the harbour of Batavia; it followed the direction to which the wind was then blowing. After being moored, the ship’s captain stepped out of the ship and after he had been on the shore, he met guards at the pier and asked them for information. The captain of the ship was a nobleman hailing from Ngerum and his name was Sayid. Accompanied by the guards at the pier, Mr. Sayid Besar called on the Governor General of Batavia. 


As the same time, Pangeran Pancuran had came back to Batavia after doing his duty as the delegate of the Governor General to eliver a letter to Sri Sunan Kebanaran at Mataram. Pangeran Pancuran gave a report on what he had experienced and he also told that Tumenggung Mangunhoneng was still staying at the Kebanaran Palace as Sri Sunan Kebanaran still desired to be with him. Then he delivered the letter of reply of Sri Sunan Kebanaran ti the Governor General. He hurriedly read the letter sent by Sri Sunan Kebanaran after which it was clear that he was uneasy


Sri Sunan Kebanaran examined the identification letter carefully and the he smiled gently. He knew already that Mr. Sayid Besar’s identification letter was made and issued by the Governor General of Batavia himself and did not originate from the Sultan of Ngerum. Intelligently but firmly, Sri Sunan Kebanaran said:


‘Mr. Sayid Besar, I understand what you have told me and I extremely appreciate the desire  of His Exellancy Sulthan Abdullah Chotbisat. Therefore I can comply with Sri Sultan Ngerum’s request but I should like to bring forward a request to Sri Baginda. The request is as follows:


1. I should like to be a King who is appointed by the people of Mataram and not by the Dutch Goverment.


2. I ask that my nephew Sri Susuhunan Paku Buwana III continue to be king at Surakarta.


3. The palace heirlooms, the heritage left behind by our ancesters of the Mataram kingdom must be devided into two, one part for me and the other part for my nephew Sri Susuhunan Paku Buwana III and the lands and regions which are under my dominion continue to be mine.


4. The Governor of Semarang Van Hogendrorff must be discharged and replaced because he is only after his own interest.


Sri Susuhunan Paku Buwana III continued to sit on his throne; it means that his dominion had to be devided into two, namely one part was for the Surakarta Palace and the other part was for the Mataram Palace with Sri Sunan Kebanaran as its king.


‘I will order Sri Susuhunan Paku Buwana III to devide into two all of the inheritance and heirlooms left behind by the ancestors of the Mataram kingdom. All of the lands managed by Sri Sunan Kebanaran will continue to be in the possession of Sri Sunan Kebanaran. And I do not have any objection to the discharge of Major Hogendorff the Governor of Semarang.’


After everything had been done according to plans, Mr. Sayid Besar offered a prayer of thankfulness to Almighty God. Then he said good bye and returned to Batavia by way of Surakarta and Semarang. Mr. Sayid Besar was seen off by a great mark of homour which was given by the Kebanaran Palace. The company of the delegates of the Sultan Ngerum headed for the Surakarta Palace to hand over the request of Sri Sunan Kebanaran to Sri Susuhunan Paku Buwana III concerning the division of the heritahe left behind the Mataram kingdom which was at the Surakarta Palace.


Sri Sunan Kebanaran himself had also sent a delegation to the Surakarta Palace to inform Sri Susuhunan Paku Buwana III about the coming of the company of  Mr. Sayid Besar to Mataram and in addition to that, he also asked Sri Susuhunan Paku Buwana III to speedily make an agreement about the division of power with the kingdom of Mataram on conformity with the desire and request of the Sultan of Ngerum which meant that the Mataram kingdom had to be devided into two kingdoms.


After his return to Batavia, Mr. Sayid Besar immediately gave a report about the result of his mission to the Governor General. The Governor General was extremely satisfied because his efforts and ideals could materialize. To show his thankfulness to Mr. Sayid Besar, the Governor General gave a banquet at the Governor General’s palace. At the banquet it was also announced that Mr. Sayid Besar was officially permitted to stay permanently here and that he was also allowed to have his trade-ship repaired at the harbour of Batavia.




The execution of the treaty between Sri Susuhunan Paku Buwana III of Surakarta and Sri Sunan Kebanaran was performed at Orooro woods of Giyanti under a large banyan tree. Giyanti was located about 11 kilometers from the city of Surakarta near the town of Karanganyar. The treaty was called the ‘Treaty of Giyanti’ and was concluded on the 13th of February 1755. During the signing of the treaty each of the two kings was accompanied by a troop of warriors to join in witnessing the division of the Mataram kingdom into two parts (that banyan tree fell down in 1968).


The Governor General of Batavia whose name was Mossel empewered JV Nicolass the new Governor of Semarang to witness the signing of the ‘Treaty of Giyanti’. To commemorate the occation, a monument was contructed (on the site where the monument was constructed, a boulder can seen now; it surrounded by a fence).


The afore said which were formerly under the dominion of Sri Susuhunan Paku Buwana III were given to Sri Sunan Kebanaran and then Sri Susuhunan Paku Buwana III were given to Sri Sunan Kebanaran and heritage and heirlooms of the Mataram Palace to Sri Sunan Kebanaran. 


Kehadiran Paku Buwana III merubah sejarah. Jasa besar telah mengantar pada gelar Sinuwun Suwarga. 


D. Bergelar Sinuwun Suwarga. 


Kraton Surakarta Hadiningrat diperintah oleh Sunan Paku Buwana III antara tahun 1749-1788. Beliau menjabat ketika berusia 17 tahun. Bratadiningrat (1990) menuliskan riwayat Paku Buwana III secara lengkap dalam bahasa Jawa sebagai berikut : Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panata Gama Khalifatullah Ingkang Kaping III Ing Negari Surakarta Hadiningrat, putra dalem Sinuwun Paku Buwana II.


 Miyos saking garwa prameswari GKR Mas, putri Panembahan Purbaya, Bupati Lamongan. Panembahan Purbaya punika putra dalem Sinuwun Paku Buwana I. Nama BRM Gusti Suryadi. Silsilahipun Sinuwun Paku Buwana III, saking ibu dalem, GKR Mas.


1. Sinuwun Prabu Amangkurat Agung ing Mataram, peputra,


2. Sinuwun Paku Buwana I Pangeran Puger, peputra,


3. Panembahan Purbaya nama Rajasa ing Lamongan, peputra,


4. GKR Mas, prameswari Sinuwun Paku Buwana II, peputra,


5. Sinuwun Paku Buwana kaping III, ing Negari Surakarta. 


Wiyosan dalem ing dinten Sabtu Wage, 26 Ruwah 1656 utawi 24 Februari 1732. Jumeneng nata ing dinten Senin Wage, 5 Sura 1675 utawi 15 Desember 1749. Surud  dalem ing dinten  Jum’at  Wage, 25 Besar 1714 utawi 26 September 1788. Yuswa  dalem 58 warsa 4 wulan. Sumare ing Astana Luhur Imogiri. Prameswari sinuwun namun satunggal, Gusti Kanjeng Ratu Kencana,  putri Ki Jagaswara. Salajengipun kawisudha dados bupati kraton, kanthi asma K.T. Wirareja. Putranipun GK Ratu Kencana wonten 6.


1. Sinuwun Paku Buwana IV.


2. KGPH Mangkubumi I ing Surakarta.


3. KGPH Buminata ing Surakarta, boten krama.


4. GK Ratu Maduretna


5. GK Ratu Purbanegara garwa Adipati Purbanegara ing Kediri.


6. GK Ratu Timur garwa Adipati ing Kudus.


Putra-putri dalem :


1. GKR Alit miyos saking garwa ampeyan.


2. Gusti Raden Ayu Kusumadiningrat


3. Gusti Raden Ayu Wiryadiningrat


4. Gusti Raden Ayu Martapura


5. Gusti Raden Ayu Adipati Jayaningrat


6. GPH Hangabehi


7. Gusti Raden Ayu Wiramenggala


8. Gusti Raden Ayu Pamot


9. Gusti Raden Ayu Mangkupraja


10. Ingkang Sinuwun Paku Buwana IV. BRM Gusti Subadya.


11. Gusti Raden Ayu Sumadilaga


12. GK Ratu Maduretna


13. GPH Singasari


14. GK Ratu Purbanegara


15. KGPH Mangkubumi I ing Surakarta


16. KGPH Buminata


17. Gusti Raden Ayu  Sastradiwirya


18. GPH Panular


19. GKR Timur garwa Adipati ing Kudus


20. GPH Dipanegara


21. GPH Hadinegara


22. Gusti Raden Ayu Cakradiningrat


23. Gusti Raden Ayu Danuningrat


Paku Buwana III aktif dalam mengembangkan sastra dan budaya. Karya Paku Buwana III yaitu Serat Wiwaha Jarwa. Di samping itu, Paku Buwana III juga ikut menyempurnakan Serat Iskandar dengan wajah baru. Dalam bidang kesenian, beliau aktif melestarikan tari ritual kenegaraan, yaitu Bedhaya Ketawang, yang diperagakan oleh sembilan penari putri. 


Perkembangan sastra Jawa semakin pesat setelah ketegangan politik yang berakar dari konflik intern keluarga kraton mereda sejak diadakan Perjanjian Giyanti dan Salatiga. Paku Buwana III ikut terlibat aktif dalam proses perdamaian itu. Kemahiran Paku Buwana III dalam soal sastra budaya diwariskan kepada putranya yang bernama Sunan Bagus atau Paku Buwana IV yang juga menjadi pujangga ulung.




Para Raja Mataram


1. Panembahan Senopati 1586 – 1601


2. Prabu Hanyakrawati 1601 – 1613


3. Sultan Agung Hanyakrakusuma 1613 – 1645


4. Sunan Amangkurat I 1645 – 1677


5. Sunan Amangkurat II 1677 – 1703


6. Sunan Amangkurat III 1703 – 1705


7. Sunan Paku Buwana I 1705 – 1719


8. Sunan Amangkurat Jawa IV 1719 – 1727


9. Sunan Paku Buwana II 1727 – 1749


10. Sunan Paku Buwana III 1749 – 1755


Perkembangan kebudayaan Jawa semakin bagus dan tertata. Sejak tanggal 13 Februari 1755 kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Pada tahun 1757 berdiri kadipaten Pura Mangkunegaran yang berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1813 berdiri Kadipaten Pura Paku Alaman yang berada di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta. Sejarah Jawa selanjutnya berjalan dengan gancar lancar, arum kuncara, ngejayeng ing jagad raya.


Sinuwun Paku Buwana III membuat sejarah besar di Asia Tenggara. Gusti Raden Mas Suryadi atau Paku Buwana III bapak perdamaian dunia. Jasa beliau dikenang sepanjang masa. Sesuai dengan falsafah memayu hayuning bawana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.