ADAT ISLAM JAWA DALAM PENYAMBUTAN MALAM LAILATUL QADAR

 ADAT ISLAM JAWA DALAM PENYAMBUTAN MALAM LAILATUL QADAR



Purwadi
Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas  Bahasa  dan  Seni 
Universitas Negeri Yogyakarta


Abstract


Tradisional community have local wisdom that can make social harnony. Ceremony activity in  Surakarta Palace always give feeling at peace to some people. They are sentana, abdi dalem, businessman, travelling agent, guide, tourist and peasant. Example Malem Selikuran is Islamic traditional program that done to appreciate lailatul qadar.  Surakarta Palace divide tumpeng sewu to Moslem community. Tumpeng sewu symbolized the best of time. That is the better that the moon thousand. Specially for peasant Malem Selikur ceremony believed that will come welfare. The peasant that live in village territory think that Surakarta Palace is center of mystic orientation. Therefore they follow Malem Selikuran activity to get happiness or ngalap berkah in palace of  Java every time.


Keyword : Ceremony, Moslem,  Palace


A. Pengantar


Islam dianut oleh orang Jawa dengan menyertakan keselarasan budaya. Contoh adat upacara Malem Selikuran diselenggarakan Kraton Surakarta setiap tanggal 21 Ramadhan. Acara penyambutan Malem Selikur ini sudah berlangsung turun tumurun. Kraton Surakarta berdiri tahun 1745 dan sejak itu pula upacara Malem Selikuran diagendakan tiap tahun. Upacara ini bertujuan untuk menyambut datangnya malam lailatul qadar. Saat ini diyakini  mempunyai keutamaan lebih dari seribu bulan.


Upacara malam lailatul qadar di Kraton Surakarta memang terkait dengan keberadaan yang bercorak Islam. Kegiatan kraton pasti disajikan dalam bentuk akulturasi kebudayaan. Unsur beragam keyakinan bercampur sebagai bentuk kesatuan budaya yang penuh dengan unsur estetis. Acara keagamaan disertai dengan pentas kesenian. 


Produk seni budaya yang mengambil tema keislaman terasa merasuk dalam jiwa orang Jawa. Terdapat kearifan lokal yang amat bagus. Upacara yang baku telah mendatangkan pendukung setia yang bersifat partisipatif.


Rutinitas adat yang terprogram, terjadwal dan terkonsep secara matang merupakan produk unggulan budaya. Kontribusi Kraton Surakarta dalam bidang tradisi kultural spiritual terbukti menjadi kekuatan untuk memperkokoh jatidiri bangsa. Aktivitas tradisional ini menjadi wahana sosial yang produktif sekaligus rekreatif, yang selaras dengan ajaran Islam. 

 

B. Sarana Dakwah Islamiyah. 


Masyarakat adat nusantara pernah mencapai kejayaan dalam sistem politik yang berbeda- beda. Kerajaan Sriwijaya pernah mendominasi Samudera Hindia Selatan. Bangsa ini harus mempunyai kebanggaan historis untuk mendorong maju (Teuku Jacob, 2004 : 150). 


Orang Jawa terbiasa dengan perubahan. Perubahan itu hampir mencakup segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Walaupun perubahan itu terjadi hampir merata di seluruh Jawa, derajat perubahan antara lokalitas satu dan lokalitas lainnya serta antara tingkat masyarakat satu dan masyarakat lainnya bersifat variatif (Wasino, 2014 : 3). Kraton Surakarta selalu menjalankan program yang terkait dengan adat istiadat dan sejarah kebudayaan. Warna Islam mendapat tempat yang utama. 


Tradisi Malem Selikuran terdiri dari abdi dalem garap, abdi dalem bahu tukon dan abdi dalem anon-anon. Abdi dalem garap yaitu petugas kraton yang memiliki profesi tetap. Pegawai kraton bertugas rutin. Abdi dalem bahu tukon adalah pekerja dengan kontrak khusus. Hak dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan. Dalam birokrasi kraton mereka semacam tenaga honorer. Sedangkan abdi dalem anon- anon adalah pribadi yang secara sukarela menyumbangkan tenaga dan pikiran buat kraton. Oleh karena itu mereka mendapat predikat anon- anon atau warga kehormatan.


Abdi dalem garap umumnya tinggal di daerah sekitar kota Surakarta, Kabupaten Klaten, Sragen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar dan Wonogiri. Profesi abdi dalem garap sering diturunkan dari leluhurnya. Bapak atau ibunya yang menjadi abdi dalem garap lantas diwariskan untuk anak cucunya. Faktor geneologis menjadi legitimasi seseorang untuk berprofesi sebagai abdi dalem garap. Loyalitas dan dedikasi mereka amat tinggi. Imbalan bagi mereka bukan faktor pokok. Bahkan sebagian dari mereka lebih suka untuk disebut ngalap berkah. Pada umumnya mereka juga punya pekerjaan lain yang lebih tinggi penghasilannya. Mengabdi pada kraton demi mendapat ketentraman hati.


Masyarakat yang masih sangat peduli dengan keberadaan kraton.  Hubungan antar mereka merupakan koneksitas yang dibangun oleh solidaritas kultural, kesamaan idiologi, kesadaran estetis serta kepentingan pragmatis. Kenyamanan hidup yang mereka bina berdasarkan paham Jawa yang mereka yakini sebagai budaya adi luhung dan edi peni. Adi luhung berkaitan dengan keluhuran nilai etis filosofis. Konsep edi peni berkaitan dengan nilai puncak keindahan yang selalu mencerahkan. Simbiosis mutualisme antar abdi dalem membuahkan sikap mandiri dan siap dengan derasnya arus perubahan jaman.


Abdi dalem bahu tukon atau tenaga honorer memang amat diperlukan. Tenaga trampil yang mengurusi listrik, mesin, manajemen, akutansi, konstruksi, komputer harus ditangani dengan ahli tertentu. Karena jenis tugas dan pekerjaan bersifat insidental maka lebih efisien bila dikelola dengan kontrak kerja. Kraton dan kontraktor mengerjakan proyek sesuai dengan jenis dan kualitas pekerjaan. Kerja profesional ini sudah berjalan lama dan kedua belah pihak berpengalaman, sehingga merasa saling diuntungkan. Dengan demikian perjalanan peradaban terus berkelanjutan.


Kelompok abdi dalem anon- anon tersebar di seluruh pelosok dunia. Masing- masing wilayah terdapat seseorang yang ditunjuk sebagai koordinator. Mereka terhimpun dalam wadah organisasi Paguyuban Kawula Kraton Surakarta atau PAKASA.  Mereka sebagai abdi dalem anon-anon mendapat kehormatan untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kebudayaan yang bersumber dari Kraton Surakarta Hadiningrat.


Abdi dalem kraton selalu siap sedia untuk menjalankan tugas. Ketika kraton dengan tertatih-tatih berupaya untuk bisa tetap bertahan, keberadaan para abdidalem adalah salah satu yang menjadi daya tahannya. Menjadi salah satu energi hidupnya. Meski sudah tidak sebanyak ketika kraton masih memiliki otoritas penuh, namun masih ada beberapa bebadan atau departemen kraton yang tetap dipertahankan. Paling tidak, departemen itu untuk mengurusi adat tradisi yang tetap dilestarikan dalam kehidupan budaya kraton. Nah kecuali ada pengageng atau pimpinan, di setiap bebadan juga ada abidalem garap (Wisnu Kisawa, 2012 : 123).


Para abdi dalam dengan setia menjalankan upacara adat. 

Dengan kesadaran penuh, mereka selalu menggunakan busana kejawen jangkep. Mulai dengan menggunakan kain, beskap dan tentu lengkap dengan keris dan blangkon. Dengan ada yang sampai menempuh jarak berkilo- kilometer, tentu dibutuhkan semangat yang lebih untuk tetap menggunakan busana adat Jawa (Wisnu Kisawa, 2012 : 203). Dengan menenteng tas mereka segera berganti pakaian kebesaran. Beskap putih untuk yang bertugas masuk di Masjid Agung. Sedang yang bertugas beskap hitam untuk arak- arakan sambil nabuh terbang laras madya. Jarik, blangkon, beskap, samir, lambang radya laksana, sabuk timang, sabuk epek menambah daya tarik dan wibawa. Kelihatan mereka menikmati peran budaya. Sebagian dari mereka mengungkapkan rasa bangga. 


Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran itu. Dengan menggunakan kekuatan intelegensinya dan dengan dibimbing oleh hati nuraninya, manusia dapat menemukan kebenaran- kebenaran dalam hidupnya (Solichin, 2010 : 266). Upacara Malem Selikuran dimulai. Sebelum para pimpinan mengatur anak buahnya. Barisan pembawa pusaka, prajurit wiyaga laras madya, samroh, terbangan, sindhen, pengawal, pemikul tumpeng, ulama, santri dan pengageng kraton siap untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Berhubung tradisi ini dilakukan rutin setiap tahun, masing -masing petugas dapat melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Semua tugas dilakukan secara sukarela dan ikhlas, demi ngalap berkah dari Allah Swt. Cita cita dan tindakan yang disertai keikhlasan. 


C. Unsur Agama dan Budaya. 


Agama dianut orang Jawa dengan bingkai nilai budaya. Malam Selikur Puasa termasuk salah satu tatacara adat di Kraton Surakarta. Adapun asal usulnya dari para Wali, lantas menjadi pedoman di Kraton Demak, sampai pada Kraton Mataram, Kartasura, Surakarta, hingga kini terus dilestarikan.


Tata cara demikian disebut Wahyu Allah yang diberikan kepada hamba sahaya melalui Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tersebutlah dalam serat Ambiya bahwa bersamaan dengan bulan puasa tanggal malem ke duapuluhsatu, itulah kembalinya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau turun dari Redi Nur dengan disambut oleh para sahabat yang membawa obor. Dinyalakan supaya menerangi jalan yang menuju kediaman Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Demikian pula mereka yang membawa makanan minuman seperlunya guna menghormati kedatangannya. Tradisi tersebut dilakukan setiap tanggal ganjil. 


Demikian sejak malam tanggal dua puluh satu puasa sampai malam dua puluh sembilan puasa itu dilestarikan oleh Kraton Surakarta. Pernah dijalankan oleh masyarakat Sala Baluwarti khususnya tanggal malam tanggal ganjil tadi semua diperintahkan utnuk menyalakan ting atau lampu di depan rumah masing- masing. Adapun lampu itu dibuat dari kertas yang tembus cahaya api dari dalam. Lampu itu juga terbuat dari clupak dengan sumbu dari kapas dengan minyak klentik. Sebagian ada yang menggunakan lilin. Jenis- jenis ragam warna lampu yaitu merah, hijau, biru, kuning. Ada yang berbentuk kobis, perahu dan sebagainya, sehingga membuat suasana gembira serta meriah tiap malam tanggal ganjil dalam bulan puasa sejak tanggal duapuluh satu tersebut.


Bagi Kraton Surakarta meneruskan tatacara demikian, yang selanjutnya menjadi adat pesta pora itu dinamakan dengan Malam Selikuran. Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun melaksanakan hajad Dalem Selikuran atau wilujengan selikuran. Setelah didoakan abdi dalem juru Suranata, kemudian dibagikan pada sekalian par sentana atau abdi dalem yang sedang sowan menghadap.


Pada jaman pemerintahan Sampeyan dalem Ingkang Mulya saha Wicaksana Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Nagari Surkarta Hadiningrat, beliau menggagas agar sekalian rakyat menonton keramaian, maka tatacara Maleman Sekaten dipusatkan di Alun -alun utara serta masjid Agung Kraton Surakarta. Adapun Malam Selikuran atau tatacara Maleman Sriwedari dipusatkan di Taman Sriwedari atau Kebonraja


Iring-iringan kirab berjalan serta melagukan tembang:

Ting- ting hik

Jadah jenang wajik

Ja lali tinge kobong

Ja kobong kobong tinge

Kobonga clupakane


Tempat upacara di Masjid Agung. Dilakukan di dalam kraton lalu tumpeng seribu diarak menuju Masjid Agung kraton Surakarta Hadiningrat.


Berdasarkan peringakan demikian tadi, jelaslah Kraton Surakarta tetap melestarikan tata cara adat yang telah diwariskan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dari Redi Nur. Adapun makna tumpeng seribu, menurut catatan serta keterangan yang diyakini bahwa barang siapa yang menjalankan amal kebajikan dalam bulan Ramadhan itu akan diberi ganjaran dari Allah SWT laksana seribu bulan. Demikian secara ringkas asal- usul kejadian Malam Selikuran Puasa di Kraton Surakarta Hadiningrat. Dengan harapan semoga selalu menemukan keselamatan serta mendapatkan suasana suka cita (Winarnokusumo, 2015: 1-2). Peserta tampak berseri seri. 


D. Mencari Nilai Kearifan Lokal. 


Nilai kearifan lokal dikaji untuk mengatasi problematika mutakhir. Pengalaman budaya kolektif memberi solusi. Terjadi keseimbangan antara gagasan tradisional dan modern. 


Upacara penyambutan malam lalitul qadar dimulai. Prajurit Kraton Surakarta menjadi cucuk lampah. Mereka berjalan pada barisan paling depan busananya berwarna- warni. Dari Magangan prajurit keluar lengkap dengan alunan suara terompet. Disusul dengan bunyi drumband yang menggelegar. Jalan prajurit yang diiringi dengan suara terompet dan drumband meneguhkan gerak langkah. Tampak gagah dan berwibawa. Kalau melangkah dengan tegap. Tidak ketinggalan barisan prajurit Nyutra yang biasa disertai dengan bunyi gamelan carabalen. Lengkap sudah kebesaran prajurit kebanggaan kraton. tombak, senapan, pedang, keris, sepatu, topi, kampuh, cindhe, sabuk ditata rapi.


Bergada yang berpakaian celana hitam, kemeja hitam dan blangkon adalah barisan semut ireng. Mereka membawa lampu petromax, ting, tombak, pusaka, pedang. Badannya kekar, kuat dan rosa. Untuk mengangkat beban berat kelihatan terbiasa. Tidak ada keluh kesah, beban berat, sambat sebut, ungkapan rasa sulit. Mereka suka gembira. Rasa rindu untuk bertugas demi kraton sebagai sarana ngalap berkah. Sumber daya manusia kraton sungguh berlimpah ruah. Jalan hidup yang ditempuh adalah berbakti pada kraton. Barangkali barisan semut ireng selalu mengingat ajaran leluhur.


Tembang dhandhanggula memberi semangat, agar semua abdi dalem mempunyai harapan untuk menyongsong masa depan. Sekecil apapun posisi, status dan pangkat abdi dalem, namun tetap diperlukan dan amat bermakna. Asalkan saja pekerjaan yang diemban benar- benar dilakukan sepenuh hati. Tidak perlu minder. Kapasitas dan kapabilitas dalam hidup bermasyarakat saling melengkapi. Gelar raja Kraton Surakarta menunjukkan sikap andhap asor.


Gagrak Surakarta merupakan gagrak yang banyak berkembang di sekitar wilayah propinsi Jawa Tengah bagian timur dan tenggara, serta sedikit bagian barat dari wilayah Propinsi Jawa Timur. Gaya yang sangat khas dari karawitan gagrak Surakarta adalah banyak mengeksploitasi permainan karawitan yang bersifat rumit, penuh kecanggihan, bersifat lebih formal, dan cenderung berirama lebih cepat (Bram Palgunadi, 2002 : 595).


Nama raja Surakarta yaitu Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sri Susuhunan Senapati ing Ngalaga Khalifatullah Sayidin Ngabdurrahman Panatagama Ingkang Jumeneng ing Kraton Surakarta Ingkang Kaping Tiga Welas. Untaian kata Sampeyan Dalem bermakna telapak kaki. Untuk menyebut Sinuwun selalu menunjuk pada posisi bagian bawah kaki. Di sini raja mempunyai amanat yang berat yakni melestarikan adat istiadat yang diwariskan turun -temurun.


Lampu hias terdiri dari petromax, strong king, ting, teplok dan obor. Untuk abdi dalem yang tinggal di wilayah pedesaan dianjurkan untuk menyalakan colok. Colok atau obor yang terang benderang dinyalakan di pinggir pintu, regol, gapura, pawuhan, dapur, senthong dan pojok rumah. Seolah-olah mereka berpesta pora dengan makhluk halus di sekitar rumah, untuk menyapa harmoni. Berbeda dengan kraton tentunya. Karena semua fasilitas, tenaga, dana, instruksi, dukungan pasti tersedia cukup. Intinya mereka sama-sama mangayu bagya, datangnya malam lailatul qadar yang dinanti -nantikan. 


Laras madya merupakan seni khas keislaman yang dimiliki kraton Surakarta. Mereka berlatih rutin setiap Jumat Kliwon dan Jumat Pon. Syair-syairnya banyak dikutip dari Serat Wulangreh, Centhini, Wira Iswara yang mengandung ajaran Islam. Instrumen terdiri dari kendhang, terbang, jedhor dan kemanak. Sindhennya berjalan di depan. Biar gampang masing- masing instrumen diberi tali dan dikalungkang di leher. Layaknya orang menenteng tas. Peserta lain memberi senggakan. Contoh gendhing laras madya yang disajikan dalam malam selikuran berjudul Lare Angon.


Gendhing Lare Angon tersebut mengandung pitutur luhur agar seseorang selalu ingat kepada kewajibannya. Lare Angon berarti anak yang sedang menggembala. Tugas seorang penggembala yaitu menjaga agar ternaknya bisa tumbuh gemuk dan bisa beranak pinak. Seseorang yang sedang menggembala mesti mempunyai sifat asah, asih, asuh.


Iringan selanjutnya yaitu berupa kesenian samroh. Musiknya terdengar meriah. Terdiri dari terbang yang banyak jumlahnya. Ditambah kecer. Kalau ditabuh bareng menjadi ramai sekali. Paguyuban seni samroh dari Purwodadi diundang setiap tahun. Koordinatornya adalah Pakasa Grobogan yang mengurusi Makam Ki Ageng Tarub dan Ki Ageng Sela. Pemusik samroh rata -rata anak remaja. Jelas mereka bersemangat. Mereka berpakaian layaknya santri, peci haji, baju koko putih dan sarungan. Lagu- lagu yang dibawakan kebanyakan syair- syair pujian khas pondok pesantren. Shalawat badar diiringi dengan terbang. Suasana benar-benar bernuansa keislaman. Cara nabuhnya trampil, cekatan dan meriah.


Antar abdi dalem tentu saling sambang sambung. Silaturahmi kemudian juga menjadi semboyan para warga Pakasa. Ketika Pakasa di wilayah tertentu mengadakan acara, mereka yang ada di wilayah lain selalu menyempatkan untuk hadir. Demikian pertemuan antar wilayah itu selanjutnya digunakan sebagai ajang silaturahmi di antara mereka. Silaturahmi untuk saling bertegur sapa dan saling berbagi ilmu (Wisnu Kisawa, 2012 : 204). Acara spiritual rutin ini juga sebagai ajang silaturahmi. 


E. Penghayatan Adat Islam Jawa. 


Orang Jawa melakukan upacara adat bernuansa simbolik. Praktik Islam Jawa selaras dengan nilai budaya. Keselarasan sosial dijunjung tinggi. 


Paguyuban Kawula Kraton Surakarta dari beragam wilayah diutus oleh para pengurusnya. Masing -masing bersama dengan rombongan. Berjalan di belakang prajurit, laras madya dan seni samroh. Mereka berjalan mengelilingi beteng kraton. Mulai dari Kemandungan ke timur, lalu ke selatan, ke barat, ke utara, ke timur sampai pintu gapit. Lantas dilanjutkan ke jalan Supit Urang arah Pasar Klewer. Tiba saatnya berada di Masjid Agung Kraton Surakarta. Masyarakat berjubel untuk mendapat tumpeng sewu. Warga Pakasa duduk lesehan bersama pejabat Kraton dalam serambi Masjid Agung.  


Ummat Islam dianjurkan untuk meningkatkan ibadah pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Sebagian menjalankan i’tikaf di masjid. Refleksi dan introspeksi kehidupan dilakukan untuk meningkatkan derajat ketakwaan. Bersamaan dengan itu pula turun lailatul qadar, yakni malam yang mempunyai keutamaan lebih dari seribu bulan. Orang Jawa menangkap keutamaan seribu bulan dengan menyediakan tumpeng yang berjumlah lebih dari seribu buah. Tumpeng sewu dimasak oleh abdi dalem membuat aneka masakan. Panganan itu terdiri ketan, sega golong, kuluban, telur dan ikan asin. Rasanya enak dan gurih. Lebih dari itu tumpeng sewu mengandung barokah yang membawa kemakmuran, keberuntungan dan kebahagiaan.


Pemimpin Kraton Surakarta memberi sambutan singkat. Lantas memberi dhawuh kepada abdi dalem ulama agar mendoakan keselamatan kraton Surakarta dan isinya. Para raja, punggawa dan kawula didoakan agar bahagia di dunia sampai akhirat. Tanah Jawa diharapkan selalu gemah ripah loh jinawi atau Baldhatun thoyibatun warobun ghofur. 


Berdoa dengan bahasa Arab dan bahasa Jawa terasa lebih khusuk. Masyarakat awam mudah mengerti dan makna merasuk dalam hati. Terus terang di sana faktor agama dan budaya beriringan. Kraton Surakarta menjadi pelopor utama dalam melakukan konsep dan aplikasi akulturasi budaya. Unsur kebajikan dari beragam sumber bersatu padu dalam bentuk sajian budaya yang akomodatif, apresiatif, rekreatif dan reflektif. Terbukti peserta dari beragam lapisan sosial dan geografis. Seolah -olah upacara Malem Selikuran menjadi agenda wajib, sesuai jadwal yang telah disiarkan kalender kraton. Para abdi dalem dengan sendirinya tahun agenda rutin kraton. Memang dulu Kraton menjadi pusat penyiaran Islam. 


Tumpeng sewu yang dibagikan sama dibawa pulang sebagai berkat. Makanan disuruh mencicipi buat sekalian keluarga. Diyakini akan mendatangkan suasana ayem tentrem dan rejeki mengalir deras. Keluarga dijauhkan dari malapetaka dan marabahaya. Semua penghalang akan menyingkir. Tanaman di sawah tumbuh subur. Panen berlimpah ruah. Hasilnya bisa dinikmati oleh sesama dan handai taulan. Kraton Surakarta sebagai orientasi untuk Jawa berpengaruh atas dunia batin masyarakat. Tradisi penyambutan malam lailatul qadar ini merupakan wujud untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 

 

F. Kesimpulan


Interaksi Islam dan budaya di nusantara berjalan harmonis. Misalnya upacara Malem Selikuran di Kraton Surakarta merupakan bentuk akulturasi kebudayaan. Penyelenggaraan adat penyambutan malam lailatul qadar yang turun temurun ini menjadi sajian yang mengandung nilai tuntunan, tontonan dan tatanan. Tuntunan hidup yang berlandaskan ajaran agama Islam bertujuan untuk meningkatkan kualitas iman ilmu amal. Diharapkan segenap abdi dalem, sentana, kerabat dan masyarakat yang turut serta berpartisipasi dalam upacara malam selikuran ini mendapat rahmat, taufik dan hidayah.


Generasi muda hendaknya turut mempelajari dan mengikuti upacara penyambutan malam lailatul qadar yang diselenggarakan tiap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dengan melibatkan diri dalam aktivitas kraton, maka dapat diperoleh pemahaman yang integral dan komprehensif budaya warisan nenek moyang. Kearifan lokal tentu berjalan beriringan dengan kecerdasan global. Budaya modern yang berjalan selaras dengan budaya tradisional merupakan jawaban yang jitu untuk menjawab tantangan pada masa mutakhir. Komunitas yang maju senantiasa menyambung tradisi empiris yang telah teruji.


Pemimpin masyarakat adat perlu menjadikan semua tradisi sebagai modal untuk membuat program pembangunan mental spiritual bangsa. Kenyataannya  tradisi yang sudah berjalan di Kraton Surakarta dan adat istiadat di kerajaan seluruh nusantara bertahan dan dihayati oleh pengikutnya. Jatidiri dan kepribadian bangsa Indonesia semakin kokoh dengan panduan seni budaya tradisional yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Warna Islam memengaruhi adat istiadat masyarakat tradisional di kepulauan nusantara. 


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Munir Mulkhan, 2003. Dari Semar ke Sufi Kesalehan Multikultural sebagai Solusi Islam. Yogyakarta : Al-Ghiyats.


Aliyah Rasyid Baswedan, 2014. Wanita, Karier & Pendidikan Anak. Yogyakarta : Ilmu Giri.


Asmoro Achmadi, 2008. Peringatan Keras Sang Pujangga dalam Serat Wicara Keras. Surakarta : CV Cendrawasih.


Bram Palgunadi, 2002. Serat Kandha Karawitan Jawi. Bandung : ITB.

Djabaruddin Djohan, 2006. Perjalanan Panjang Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta.


Julianto Ibrahim, 2013. Opium dan Revolusi : Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Soetarno, 2002. Pakeliran Pujosumarto Nartosabdo dan Pakeliran Dekade 1996-2001. Surakarta : STSI Press.


Solichin, 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta : Sinergi Persadatama Foundation.


Suprihatiningtyas, 2013. Paguyuban Seni Laras Madya. Surakarta : Sasana Wilapa.


Suryo S. Negoro, 2001. Kejawen Membangun Hidup Mapan Lahir Batin. Surakarta : CV. Buana Raya.


Suyono, 2000. Cengkok Gambangan Wasitodiningrat. Yogyakarta : Yayasan untuk Indonesia.


Teuku Jacob, 2004. Tengara Alam Raya. Yogyakarta : PT. BP Kedaulatan Rakyat.


Toto Sugiharto, 2014. Jalan Budaya Bocah Bajang. Tegar dalam Prinsip Luwes dalam Penampilan.  Yogyakarta : Hikam Pustaka.


Ully Hermono, 2014. Gusti Nurul Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan). Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.


Wasino, 2014. Modernisasi Di Jantung Budaya Jawa Mangkunegaran 1896-1944. Jakarta : PT Gramedia.


Winarno Kusumo, 2015, Sejarah Malem Selikur Pasa. Surakarta: Sasana Wilapa.


Wisnu Kisawa, 2012. Jahipuba, Jalan Hidup Putri Bangsawan GKR Ayu Koes Indriyah. Yogyakarta : Buku Litera.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.