3. BABAD MANGKUNEGARA III


 3. BABAD MANGKUNEGARA III




Oleh : Dr. Purwadi, M.Hum. 
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA. 
Hp. 087864404347


A. Sejarah Asal Usul Sri Mangkunegara III


Masa pemerintahan Sri Mangkunegara III berlangsung tanggal 26 Januari 1835 – 6 Januari 1853. Untuk biaya kehidupan beliau mendapat tanah garapan seluas 5.500 karya. Untuk membantu kelancaran pemerintahan. Pura Mangku negaran memiliki dua patih, Patih Jaba dan Patih Jero.


Daerah Mangkunegaran dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Kabupaten Anom Wonogiri, Kabupaten Anom Karanganyar, Kabupaten Anom Malangjiwa. Kadipaten anom tersebut dipimpin oleh Wedana gunung. Pembagian wilayah ini terjadi pada tahun 1847.


Penguasa Pura Mangkunegaran ketiga ini kerap lara lapa tapa brata. Bertapa di Kahyangan Dlepih Wonogiri, meditasi di gunung Lawu dan semedi di gunung Merak. Dari hasil meditasi ini diharapkan kelak keturunannya menjadi orang penting di Nusantara. Pada tahun 1967 keturunannya menjadi istri Presiden Soeharto. Namanya Siti Hartinah.


Siti Hartinah Soeharto dianggap punya wahyu kekuasaan. Selama mendampingi Presiden Soeharto tahun 1967 – 1996, negara Indonesia benar-benar gemah ripah loh jinawi, tata tentem karta raharja. Pura Mangkunegaran berperan besar dalam pembangunan negara Indonesia.


Pura mangkunegaran semakin mengalami kejayaan dan kemakmuran. Selanjutnya kekuasaan Mangkunegaran dipegang oleh Sri Mangkunegara III. Adapun keterangannya sebagai berikut: Putradalem: B.R.Ay. P.A. Notokusumo, putranipun:


 RMT.H. Kusumodiningrat. Mantu dalem Sampeyan dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwono III. Wiyosan dalem: Akat Pon 22 Puasa Wawu Windu Sangara 1729. Asma timur B.RM Sarengat. Gumantos Keprabon hingkang Eyang KGPAA Mangkunegara II. Kaparingan sesebutan KGPAA Prang Wadono.


Hanyarengi ing dinten Kemis Wage 24 Besar Jimakir Windu Sangara 1762 Utawi 1835 Masei Sinengkalan: Mulat Pandhita Aji, yuswa 33 tahun. 


Punika Jumenengipun sesarengan jaman Sampeyan dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwono VII. Salajengipun kajume-nengaken dados KGPAA Mangkunegara III. Kolonel Komandan wadya bala  wonten karesidenan tampi serat kekancingan ing dinten Senen Pon 15 Besar Jimakir Windu Hadi, 1770 utawi 1843 Masei.


Sinengkalan Muluk Murtining Pandhita Ji. Surud dalem ing dinten Kemis Legi siyang, 25 Rabingul awal Jimawal Windu Kuntara 1781 Masei 1853. Sinengkalan: Rupa Brahmana nitih siti. Jumeneng 19 Warsa yuswa 52 tahun, sumare ing Ardi Ngadeg. Nunggil hingkang Eyang M.N. II. Serat punika nedhak buku Pratelan Para Darah Dalem KGPAA Mangkunegara.


Putra-putridalem wonten 42. 

Ingkang seda timur 14. Ingkang mboten nurunaken 5.

Punika pratelan asma sadaya.


1. B.RM Suyut, seda timur.

2. B.R.A. Timur, seda timur.

3. K.B.R.Ay. Pangeran Adib Ario Mangkunegara IV

4. KPA Suryodiningrat.

5. B.R.Ay. Pangeran Ario Hadiwijoyo III.


6. B.RM seda timur.

7. B.R.Aj. seda timur.

8. B.RM Semeru, seda timur

9. KPA Suryomataram.

10. B.T.M. Sumeh, seda timur


11. B.R.Ay.P.A. Gondowardoyo

12. B.R.Ay.p.a. Gondosuputro.

13. B.R.Aj. Minil, seda timur.

14. B.R.Aj. Setilah, seda timur.

15. B.RMA. Suryoputro.


16. B.RMA. Suryohudoyo.

17. B.RMA. Suryohudoro.

18. B.R.Ay.P.A. gondosewoyo.

19. B.R.Ay. Harjosebroto.

20. B.RMA. Suryodimurti.


21. B.R.Ay.P.A. Suryomijoyo III

22. B.R.Ay.P. Darmokusumo, seda

23. B.RMA. Suryohasmoro.

24. B.RMA. Suryodiworo, seda.


Perjalanan sejarah Sri Mangkunegara III menjadi kebanggaan keluarga Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto yang memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1967-1988. Ayah Siti Hartinah bernama Kanjeng Raden Tumenggung Sumoharyomo, wedana Wuryantoro Wonogiri. Sedang kakeknya bernama Sumohatmanto. Bila ditarik ke atas, keluarga ini berhubungan langsung dengan trah Pura Mangkunegaran.


B. Tlatah Giri Pura 


Dhandhanggula Giri Pura. 


Memanise ing sabda palupi, 

amarna reh wukir Pandhanpura, 

tan winarna ing purwane, 

pan amung yasanipun, 

Kanjeng Gusti Pangran Dipati, 

Arya Mangkunagara, 

kaping tiganipun, 

prenah sawetaning praja, 

tan antara pasanggrahan nora tebih, 

amung sangawelas pal.


Unggyaning kang patamann asri, 

parerenan soring Pandhanpura, 

perak pasar bandarane, 

mripit pinggir margagung, 

sinung wisma pinancak suci, 

wetan bale kinambang, 

balumbang binatur, 

sela malipir pepelang, 

pinalengkung marambat ron sangga langit, 

lung memulet sulaman.


Analasah pala-pala lesmi, 

toya lumrang lumut lamat-lamat, 

kadya lelana iline, 

ron bayem bang ngraguyung, 

gadhung more sari saruni, 

melathi kanthil seta, 

kinenthengan menur, 

tinarik petha ponthangan, 

panthan-panthan soka miwah mandha-kaki, 

kanikir kanigara.


Kapang pinggir pagere malipir, 

puput tinarutus ing puspita, 

tanjung rejasa jejere, 

menges saruni wungu, 

argulo bang taluki putih, 

patra kaleyang lesah, 

keh katela alum, 

kembang-kembang jinembangan, 

alit mubeng munggweng marga kanan kering, 

lor tirta pasiraman.

Tafsir dan makna ajarannya:


KGPAA Mangkunegara III selalu menjunjung ajaran pendiri Pura Mangkunegaran, yakni Raden Mas Said atau Sri Mangkunegara I. Ajaran di atas melacak titik-titik perjuangan Pangeran Sambernyawa di daerah Wonogiri. Sikap rela berkorban dan menolong pada sesama dicontohkan oleh Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I. Ajaran Pangeran Sambernyawa terkenal dengan sebutan Tridarma: 1) Rumangsa melu handarbeni, 2) Rumangsa wajib hangrungkebi, 3) mulat sarira hangrasa wani.


Ingkang rayi bersedia, lalu keluar menuju ke depan dan langsung ke pesanggrahannya. Setelah bertemu dengan Raden Cakradiwirya, diberitahukannya peri lakunya sejak awal hingga akhir. Raden Cakradiwirya menyembah seraya berkata dengan suara lembut, "Mudah-mudahan terkabul dengan kata-kata yang baik, dan semoga dapat segera pulang ke negeri."


Tiga hari kemudian raden Mas Arya Brajanata kembali menghadap ingkang mbakyu. Ia diterima oleh Raden Ayu Adipati di bangunan belakang. Arya Brajanata berkata dengan nada lembut memikat, "Ayunda, kados pundi kehendak paduka? Apakah sekarang telah berkenan di hati untuk berangkat bersama saya kembali ke negeri?




 Karena kepergian saya telah lama, pasti dinanti¬-nanti oleh ingkang rama paduka. Selain daripada itu, kecuali atas kehendak paduka, mudah mudahan tidak terlalu banyak lagi yang ayunda pikirkan tentang perintah ingkang ramapaduka yang seyogyanya dipatuhi. Rasa rasanya tidak akan menyebabkan kesengsaraan, bahkan menemukan kebahagiaan."


Ingkang mbakyu menjawab, dengan, kata-kata yang pedas, "Kados pundi sesungguhnya kehendak ingkang rama itu. 


Mengapa sangat memaksa. Aku disuruh pulang, lalu kediamanku di sini ini dikira apa? Aku ini sedang menghibur hati, lagipula di daerahku sendiri. Kalau begitu rupanya aku ini diharapkan cepat mati. Dan juga dapat disebut sebagai perintah yang aniaya tanpa perikemanusiaan."


Ingkang rayinya menjawab, "Duhai, ayunda. Paduka jangan salah faham, dan menduga seperti itu. Seyogyanya ingatlah, bahwa paduka telah lanjut usia, dan juga seorang wanita. Hendaknya jangan menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang baik. Menga¬pa paduka diharuskan pulang, alasannya adalah seperti yang telah saya utarakan dulu.


 Menurut pendapat saya, lebih baik paduka segera pulang. Jika tetap berkeras hati, tak urung tak baik kesudahannya. Pelaksana eksekutif lokal pasti akan marah, dan akan pergi sendiri memaksa paduka, dan membawa kembali paduka ke kota. Jika hal itu sampai benar-benar terjadi, ayundalah yang mendapat nista."


Mendengar ucapan seperti itu Raden Ayu Adipati merasa tersinggung dan marah. Hal itu tampak pada pandangan matanya yang menyala serta tetesan keringatnya, dan ucapannya yang keras, "Seperti anak kecil saja, ditakut-takuti. Nah, laporkanlah bahwa aku tak mau pulang ke kota. Aku lebih senang tinggal di sini untuk selama-lamanya. Dan kalau hendak memaksaku, lebih baik aku mati."


Lama mereka berbantah-bantahan. Akhirnya Raden Mas Arya pulang, dan setibanya di pesanggrahan ia merasa menyesal. Mengapa sampai tak dapat mengendalikan diri, sehingga tugasnya menjadi semakin ruwet. Sesudah duduk lalu berkata kepada Raden Panji Cakradiwirya, "Hai, Cakra. Kados pundi sekarang?


 Kurasa perjalananku ini tak berhasil. Mula-mula rasanya bisa kutunggu, sebab ayunda sudah menunjukkan kesediaannya menurut akan kehendakku, akan tetapi sekarang ayunda berubah pendirian. Salah faham dan marah. Lalu bagaimana pendapatmu seandainya aku melakukan suatu tindakan untuk menakut-nakuti hati seorang perempuan. siapa tahu ayunda dapat ditakut-takuti. Apakah panjenengan sependapat?"


Raden Cakradiwirya menjawab, "Menurut pendapat saya, menghadapi persoalan semacam itu harus sabar. Harus mencari jalan yang baik, yang dapat meluluhkan hatinya. 


Utamanya menunggu waktu yang tepat dengan penuh kesabaran. Cara yang akan paduka tempuh itu tampaknya memang mudah, akan tetapi akhimya akan menimbulkan percekcokan dengan kata-kata yang nista. Padahal menurut pendapat saya tugas ini bukan tugas yang memerlukan keberanian, namun kesabaran. Sesuai dengan janji ayunda paduka, maka apabila hatinya telah merasa tentram pasti akan menurut kepada kehendak paduka. Lagipula Seyogyanya paduka secara sembunyi-sembunyi berkirim surat kepada ingkang rayi paduka Kanjeng Pangeran Gandakusuma. 


Mintalah saran-sarannya dalam menghadapi per-soalan yang ruwet ini, agar dijadikan pegangan atau petunjuk cara mengatasinya supaya dapat dengan mudah dilaksanakan. Rasanya, jika telah mendapat petunjuk, akan lenyaplah rasa was-was, tidak lagi ragu-ragu, karena telah memperoleh siasat dan ingkang rayi paduka Kanjeng Pangeran Ganda¬kusuma, dan kita tinggal menunggu saja sambil berusaha secara perlahan-lahan."


Raden Mas Arya setuju terhadap saran itu, lalu ujarnya, "Sendika dhawuh, Cakra.


 Tulislah surat kepada kakanda. Aku sendiri akan menulis surat untuk ingkang rayi Pangeran Gandakusuma." Keduanya lalu menulis surat, yang dalam sebentar telah selesai lalu diberikan kepada kurir untuk membawanya ke Nataningratan. Sedangkan yang untuk Kanjeng Pangeran Gandakusuma dibawa oleh abdi kepala. Kedua utusan segera berangkat berkuda secepatnya.


Kocap kacarita Raden Ayu Adipati yang sudah beberapa waktu lamanya tinggal di pesanggrahan Arjawinangun beserta abdi¬abdinya, masih selalu merasakan kesedihan, bahkan tampak semakin berduka. Namun kesedihannya ha-nya dirasakan dalam hati, dihiburnya dengan selalu mengadakan pertunjukan.


Di malam hari mengadakan pergelaran wayang, di siang hari hatinya dihibur dengan tamasya, naik ke atas balkon yang mirip sebuah gapura, atau berjalan-jalan di lorong-lorong pedesaan. Seluruh penduduk desa melihatnya sambil berjualan berbagai macam makanan. Selama ada orang besar dari kota, larislah jualan mereka karena banyaknya priyayi yang datang. Karenanya yang berjualan pun bertambah banyak, berkerumun di depan pintu gerbang hingga seperti sebuah pasar.


Raden Ayu Adipati asyik memperhatikan, dan senang melihat tingkah laku orang-orang desa, baik anak-anak maupun orang tuanya. Lalu ditaburkannya uang dari atas panggungan. Semua orang tersentak, lalu mereka berebutan. Hiruk-pikuk dengan rasa gembira, dorong-mendorong. Para abdi dan punakawan pun turut pula berebut. Dengan perasaan gembira Raden Ayu melihatnya seraya tertawa.


Sesudah itu lalu turun dan kembali ke pesanggrahan. Ketika matahari telah tenggelam, di kala waktu malam menunjuk pukul delapan, Raden Ayu Adipati memanggil Raden Mas Arya Brajanata. Yang dipanggil segera datang ke pesanggrahan lalu duduk dekat di depan ingkang mbakyu. Demikian pula para putra serta sentana duduk berjajar dan mendapat hidangan sambil menon¬ton wayang kulit. Bagian luar pun demikian juga keadaannya.


Para sentana, ngabehi, demang, kepala desa berjaga sambil bermain kartu. Beberapa saat kemudian Raden Mas Arya Brajanata keluar dan turut serta bermain kartu dengan para ngabehi, demang sampai tengah malam, lalu enggar enggaring penggalihke pemondokannya. Raden Ayu Adipati pun masuk ke kamar dan beristirahat. Hanya para abdi yang berjaga dan bermain kartu semalam suntuk.


Demikianlah suasananya setiap malam, sampai-sampai seperti sedang mempunyai hajat. Walaupun demikian penduduk setem¬pat tidak dipalilah kan memberikan suguhan. Mereka hanya dimintai bantuan tenaga dan diberi upah. Beberapa hari kemudian Raden Arya Brajanata, yang merasa telah cukup lama menunggu ketentuan pulang tidaknya Raden Ayu Adipati, rasanya jadi serba salah.


Namun pada suatu pagi hari Raden Mas Arya Brajanata dipanggil oleh ingkang mbakyu. Ia diantar ke bangunan belakang. Ingkang mbakyu berkata lembut, "Hai, ingkang rayi. 


Ketahuilah bahwa aku hendak kembali ke kota. Keberangkatanku nanti Pada hari senin depan, akan tetapi aku tidak akan kembali ke datulaya, melainkan langsung ke rumah Bok Nganten Jayaningrat. Aku minta, kelak di saat aku tiba, hendaknya ingkang rama Suryamijaya sudah berada di sana."


Luar biasa gembiranya hati si adik ketika mendengar hal itu, lalu ujarnya lembut, "Duhai ayunda, apa yang ayunda ke¬hendaki saya sanggupi. Paduka tak usah khawatir. Saya yang tanggung jawab, anak saya paduka benar-benar pulang. 


Jadi lega rasanya hati saya." Kemudian Raden Mas Arya menyampaikan saran-saran, lalu mohon diri. Setibanya di pemondokan, Raden Cakradiwirya segera diberi tahu, "Hai, anakku. Ketahuilah, sekarang ayunda sudah bersedia kembali ke kota. Nanti dinten senin depan."


"Paduka benar-benar beruntung. Jadi kepergian ini ada hasilnya," jawab yang diajak bicara. Dan selagi mereka bawa raos datanglah pengantar surat yang dulu diutus, membawa jawaban dari kota. Kedua pucuk surat telah diterima. 


Dibuka dan dibaca dalam hati, isinya dimengerti. Sambil tersenyum Raden Mas Arya berkata, "Nah, inilah Cakra. Kebetulan segalanya telah berlalu. Kebingungan telah lenyap. Sekarang kehendakku, marilah kita beri tahukan hal ini kepada kakanda. Supaya semua men¬dengar akan kepastian kembalinya ayunda Pada hari senin depan."


Raden Cakradiwirya setuju, lalu Raden Mas arya menulis surat, dan setelah selesai diserahkan kepada seorang utusan. Utusan itu menyembah lalu berangkat. Perjalanannya tidak dikisahkan. Ia cepat tiba di kota. Utusan itu lalu menghadap Kanjeng Pangeran Natadiningrat. Setelah menyembah, surat pun diserahkan. Diterima dan segera dibuka, dibaca dalam hati, isinya telah diketahui. Segeralah ia menghadap Pelaksana eksekutif lokal, memberi ta¬hukan seluruh isi surat. 


Eksekutif lokal sangat berterima kasih dan sangat gembira. Kanjeng Pangeran lalu mohon diri. Ia langsung du¬duk di pringgitan, kemudian memanggil ingkang rayinya, Kanjeng Pangeran Suryamijaya, Raden Tumenggung Mangkureja serta segenap putra sentana. Mereka diberi tahu tentang surat yang datang. Surat itu dibaca berganti-ganti. Semuanya merasa bersyukur setelah mendengar berita itu.


Kemudian ditentukan siapa-siapa yang akan menjem-putnya kelak. Raden Mas Arya Jayaningrat dan Raden Mas Arya Bratakusuma menyatakan kesanggupannya. Kanjeng Pangeran Natadiningrat berkata lagi, "Hai, Ki Arya Jayaningrat. Bersiap-siaplah karena ayundamu Raden Ayu Adipati itu setibanya nanti ingin betempat tinggal di rumahmu." Yang mendapat pesan menya¬takan kesediaannya.

Seluruh pembicaraan telah selesai. 


Utusan pun pulang mem¬bawa Surat balasan, dan dengan cepat ia tiba kembali di pesanggrahan. Surat segera disampaikan. Diterima lalu dibaca dalam hati, isinya telah dimengerti. Kemudian utusan itu diperkenankan beristirahat. Raden Mas Arya Brajanata lalu menghadap ingkang mbakyu, Raden Ayu Adipati bersama para abdi dan sentana seluruhnya. Yang dibicarakan ialah persiapan menjelang dinten senin, baik siang maupun malam harinya.


Malam menjelang hari keberangkatannya kembali ke kota, Raden Ayu Adipati telah memerintahkan seluruh abdi-nya serta para ngabehi, demang supaya mengiringkannya.


 Raden Mas Arya Brajanata yang menjadi pimpinan perjalanan juga sudah mengatur segala-galanya. Telah ditentukan pula bahwa rombongan akan berangkat meninggalkan pesanggrahan pada pukul enam pagi. Semua telah siap sedia, termasuk kereta. Semua yang mendapat tugas menyatakan kesang-gupannya. Mereka bersiap-siap. Raden Mas Arya Brajanata berkirim surat lagi kepada kakandanya memberitahukan keberangkatan Raden Ayu Adipati, sudah pasti senin pagi mendatang. Utusan segera berangkat.


Pada Malam Senin menjelang keberangkatannya, Raden Ayu Adipati masih menikmati pertunjukan wayang kulit sambil bersiap-siap bersama para putra sentana serta para abdi semua. Tepat pukul empat dinihari Raden Ayu Adipati, berangkat meninggalkan pesanggrahan.


 Akan tetapi ia tak mau mengendarai kereta, melainkan berjalan darat diiringkan segenap abdi perempuan.

Segenap abdi laki-laki terkejut, gugup karena mengira telah ditinggalkan oleh gustinya.


 Dengan tergesa-gesa mereka mengejar, memburu. Raden Mas Arya pun tidak tahu bahwa ingkang mbakyu telah berangkat. Tak menduga bahwa ingkang mbakyu akan menyalahi janji. Dengan gugup ia mengejar bersama para sentana, para ngabehi, demang dan para abdi semua turut berjalan darat. Hanya para putra yang masih kecil berkendaraan kereta, di belakang berjalan perlahan-lahan. Ketika fajar menyingsing, perjalanan telah sampai ke Jetakkuniran.


Berjalan terus sampai ke bengawan, penye-berangan Jurug, telah ditungu oleh Ngabehi Pancawiraga, yang sejak pagi telah menyediakan perahu penyeberangan dan berbagai hidangan, akan tetapi hidangannya tidak diterima. Raden Ayu beserta pendhereknya langsung naik ke perahu, dan setibanya di sebelah barat bengawan disambut oleh Raden Arya Jayaning¬rat dan Raden Mas Bratakusuma. Mereka bersila di tepi jalan pinggir bengawan. Ketika bertemu keduanya menyembah seraya menyediakan kereta jemputan dan kota.


Raden Ayu tidak mau karena masih kuat berjalan, Adapun para abdi masih banyak yang belum menyeberang, tertinggal di sebelah timur bengawan karena tergesa-gesa mengingat Raden Ayu sudah berjalan terlebih dulu. Setelah beberapa jauhnya berjalan dari tepi bengawan, Raden Ayu beristirahat. Seketika itu duduk di tanggul jalan, lalu minta disediakan kereta yang akan segera dikendarainya. Tak lama kemudian kereta datang, dan Raden Ayu beserta putra dan para sentana naik ke kereta de¬mikian pula para abdi kekasih, masing-masing naik ke kereta.


Setelah semuanya siap lalu berangkat, dan karena cepatnya mereka segera sampai ke Jayaningratan pada pukul tujuh pagi. Raden Ayu Adipati langsung masuk ke dalam ru-mah bertemu dengan ingkang rayinya, Raden Ayu Jayaningrat. Ketika bertemu keduanya lama-sama menjerit, menangis sambil berangkulan. Banyak yang terasa di hati. Lalu masuk ke kamar melampiaskan kedukaannya.


Tak lama antaranya Kanjeng Pangeran Suryamijaya datang, dan banyak pula yang lain datang menjenguk mengabarkan kedatangannya. Kanjeng Pangeran Gandakusuma, Raden Mas Nataatmaja, Raden Tumenggung Mangkureja, para putra sentana, semua yang mendengar kedatangan Raden Ayu Adipati merasa gembira lalu segera datang pula. Akan tetapi semua terhenti dan duduk di pendapa saja.


 Sedangkan Raden Mas Arya Brajanata setelah duduk beberapa saat lamanya lalu mohon diri hendak memberi kabar kepada kakandanya, Kanjeng Pangeran Nataningrat. Ketika datang lalu dipanggil supaya mendekat. Sesudah menyembah dan duduk dekat-dekat, lalu dikisahkannya segala perilakunya sebagai utusan, sejak awal hingga akhir.


Kakandanya berkata lembut, "Saya kira sebaiknya sekarang juga saya memberi tahu Pelaksana eksekutif lokal, dan akan saya temui di kantor saja. Kebetulan ini dinten senin, hari sidang." Ingkang rayinya menyatakan persetujuannya.


Sesudah itu tidak dikisahkan lagi segala ihwalnya. Ganti yang dikisahkan, pada waktu itu tampak suram keindahan negara, disebabkan karena dukacita seluruh kawula dasih yang sangat terpukul hatinya. Jiwanya seperti lenyap karena terhimpit oleh remuk rendamnya hati sehingga goncang. Bagaikan pepohonan yang tak pernah mendapat siraman air, sinar negara menjadi suram tanpa cahaya.


 Tampak gersang seperti bela sungkawa, terlihat seperti memberi peringatan akan hilangnya segala usaha. Akhirnya lupa terhadap apa yang ditabukan, karena teraling oleh kesedihan. Sesudah keprihatinan mereka tertutup mulailah ada ketentraman dan kesadaran. Kemudian memasuki hal-hal yang baik, lalu ditegakkan sebagai pengukuh agar kesejahteraan seluruh negeri dapat tegak.


Pelaksana eksekutif lokal menjadi penguat pemerintahan. Ia selalu menghendaki semua wasiat dan pusaka yang ada dalam datulaya, termasuk segala peninggalan didaftar. Yang menulis ialah petugas carik, dicatat dalam buku. Sesudah semuanya jelas, gedung pusaka lalu ditutup, di pintunya dipasang tali, tak boleh dibawa ke luar.


Kemudian para putra laki-laki dan perempuan, nama-nama¬nya dicatat dalam daftar, demikian pula pejabat yang memperoleh sawah, yang mendapat gaji. Dicatat menurut urutan pangkatnya masing-masing. Para prajurit, penduduk, mata-mata, punakawan, dan sebagainya semua diberi surat keputusan tentang tugasnya masing-masing, tak berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan semula.


Seluruh kawula dasih, besar-kecil semuanya taat. Dalam hal pekerjaan telah berjalan seperti biasa, tak ada perasaan iri karena semuanya mempunyai niat bekerja, sehingga timbullah ketentraman. 


Itu semua karena Eksekutif lokal berusaha melakukan, keadilan. Setiap hari ia memeriksa pekerjaan semua pekerja. Demikian pula pada hari-hari latihan para perwira: Yakni latihan baris berbaris di halaman, Eksekutif lokal turun menyaksikan, bahkan turut memberi petunjuk dan membetulkan kesalahan kesalahan. 


Kocap kacarita Raden Tumenggung Mangkureja pada suatu hari menghadap eksekutif lokal untuk menyampaikan hal yang selalu menjadi buah pikirannya. Ia berusaha mengemukakan buah pikirannya agar diterima oleh Eksekutif lokal.


 Setelah diterima oleh Eksekutif lokal dan duduk berdampingan di kediamannya, Raden Tumenggung Mangkureja dengan kata-kata yang lemah lembut dan sopan mengemukakan, "Duhai, Pelaksana eksekutif lokal. Saya memberanikan diri, jika sekiranya Tuan setuju memenuhi keinginan saya, saya harap segeralah Tuan pikirkan, siapa kiranya yang Tuan kehendaki untuk menggantikan Sri Paduka Kanjeng Gusti yang telah tiada."


"Di antara para putra, mana yang Tuan setujui asal saja segera dilaksanakan. Sebab jika tetap seperti sekarang, saya tak dapat menanggungnya," demikian ujarnya menambahkan.


Jawab eksekutif lokal, "Wahai, Raden Tumenggung. Bagi saya apa yang anda kemukakan itu sama dengan apa yang saya pikirkan. Bahkan saya pun berdoa dengan sungguh sungguh, akan tetapi rupanya pertolongan Gusti Allah memang belum tiba. Apa yang saya lakukan tak lebih hanyalah menurut dan pasrah atas kehendak Yang Mahakuasa."


Raden Tumenggung, "Sendika dhawuh, Tuan. Semoga benar-benar akan mendapatkan pertolongan Gusti Allah, lestari kesejahteraan negeri. Saya turut bertanggung jawab karena kedudukan saya sebagai orang tua."


Selesai bawa raos Raden Tumenggung Mangkureja minta diri, lalu kembali ke tempatnya berkumpul dengan para Mantri, Punggawa, Nayaka, Ngabehi serta Demang. Siang malam mereka berkumpul di pendapa bersama para opsir, sentana besar kecil, para putra di pringgitan.


 Untuk mereka disediakan makan dua kali sehari serta makanan baik siang maupun malam, sehingga tidak ada yang kekurangan. Biayanya ditanggung oleh negeri, yakni uang upeti. Itulah yang dipergunakan untuk membiayai segala macam kepentingan.


Kocap kacarita Pelaksana eksekutif lokal, telah lama ia berusaha melindungi dan menyelamatkan negeri dengan selalu berdoa. Pagi dan petang bertemu dengan para pangeran dan menteri. Waktu pertemuannya dibatasi selama dua jam lalu bubar. Siang dan malam yang dibicarakan tak lain ialah usaha meningkatkan kesejahteraan negara.


Pada suatu hari, ketika Eksekutif lokal dihadap oleh para Arya, ia berbincang bincang dengan Kanjeng Pangeran Gandakusuma lalu bertanya, "Nah, Pangeran. Apakah di sini tidak ada setrip lengan tanda pangkat Letnan Kolonel? Apakah tidak ada simpan¬an lama?"


Jawab Pangeran, "Dulu pernah ada, Akan tetapi karena sekarang tidak ada kedudukan setingkat itu maka tidak pernah dipikirkan. Sebaiknya membuat yang baru saja agar baik."


Eksekutif lokal, "Itulah Pangeran. Menurut pendapatku, mudah saja jika membuat yang cukupan. Setrip lengan kolonel saja, tetapi di tengahnya ditambah setrip lagi. Kelak jika ada kesempatan yang baik, dicari saja di Eropah. Dan Pangeran. Pilihlah busana meroki kakasja yang pas dengan tubuh Pangeran.




 Busana itu sukar dicari, bahkan tidak ada. Andaikata ada, saya kawatirkan kalau kalau kurang pas, sehingga terpaksa dua kali kerja. Jika hendak membuatnya yang benar-benar bagus, kelak masih bisa dilakukan."


Kanjeng Pangeran menyanggupinya, lalu mereka bubar. Setibanya di rumah kediamannya pada tengah hari, Kanjeng Pangeran selalu berpikir, demikian pula pada hari-hari berikutnya. Demikian pikirnya, "Mengapa saya harus mempersiapkan busana seperti itu. Apakah saya hendak diangkat menjadi senopati Legiun berpangkat Letnan Kolonel dan menguasai seluruh prajurit? Kalau begitu, saya rasa masih lama lagi penunjukan pengganti tahta kakanda. Dan berarti belum ada yang terpilih. Jika demikian halnya, lalu bagaimana?"


 Dengan pikiran seperti itu timbullah niatnya untuk mendewasakan hati. Bermaksud membina laku utama, yang diharapkan dapat menjadi tangga ke arah kemuliaan. Melaksanakan, pekerti tata kehidupan utama, menghindari perbuatan tercela. Yang tiada lain berawal dan penghayatan laku utama demi kejayaan perjalanan hidupnya.


Hal itu menjadi tekad sekeluaiga dan pembantupembantuyang menjadi kepercayaannya. Semuanya mendukung, dan taat menjalankan tugasnya masing-masing.


 Oleh karena itu selama eksekutif lokal memangku kekuasaan, segala masalah pelik, dan jika ada perkara yang berat, tak lain Kanjeng Pangeran Gandakusumalah yang diserahinya. Lebih-lebih karena kemahirannya menyelesaikan suatu masalah, saran-sarannya diterima serta tepat menjadi pendamping dalam mengurus pemerintahan.


Dikisahkan, waktu itu Pelaksana eksekutif lokal kedua kakinya bengkak sampai tidak dapat berdiri. Sudah banyak obat-obatan baik dari para dokter maupun dukun Jawa, setiap hari tiada henti hentinya.


 Enam bulan lamanya baru bisa sembuh, dan kemudian pulih seperti sedia kala, dapat berjalan-jalan lagi. Maka pada waktu waktu luang Pelaksana eksekutif lokal beserta Nyonya sering berkunjung, menjenguk ke dalam pura.


Di dalam pura bertemu dengan Bandara Gusti Raden Ajeng, duduk di Keputren. Kanjeng Pangeran Gandakusuma turut pula menemuinya di dalam pura. 


Mereka bersalaman lalu duduk di kursi, dan setelah beberapa, saat lamanya berbincang bincang, Pelaksana eksekutif lokal beserta Nyonya minta diri kembali ke kediamannya di gedung kepulisian yang terletak di depan pura, sedangkan Nyonya Eksekutif lokal pulang ke Sasana Tata Praja, Nyonya Eksekutif lokal selalu mengirimkan sesuatu buat Gusti Bandara.


Kirimannya bermacam macam, antara lain buah buahan yang lezat sekali. Ingkang Minulya pun sangat sayang kepadanya, dan selalu mengalir karunianya kepada ingkang wayahnya, Gusti Bandara. Sebalik¬nya, Sri Paduka Kanjeng Ingkang Minulya Gusti Bendara juga sangat mencintai Sri Baginda. 


Pada musim buah buahan ia mengirimkannya untuk Sri Baginda. Yang diutus ialah Bok Lurah Samadiwirya, yang pulangnya selalu mendapat pesan dari Ingkang Minulya tentang pendidikan atau ajaran tentang pegangan wanita.

Yang diajarkan tak lain ialah sikap waspada. Begitulah pesan Ingkang Minulya berulang kali, tak berbeda ketika bertemu langsung di kamar barat. 


Ingkang Minulya berusaha memberi kesadaran kepada ingkang wayahnya, dan hal itu membuat hati ingkang wayahnya menjadi tentram. Kedukaannya semakin berkurang, kemudian kesedihannya pun hilang terkikis oleh ajaran yang utama.


 Demikianlah terus berjalan pesan dan nasihat Sri Baginda, yang mendorongnya ke arah kehalusan pekerti. Tak habis habisnya jika mereka yang sedang kebingungan itu dikisahkan.


 Ceritanya berganti, pada bulan Jumadil akhir kebetulan Malam Selasa sekitar pukul delapan malam, Pelaksana eksekutif lokal Busken duduk bersama para pangeran dan Raden Tumenggung Mangkureja, yang berdampingan di atas kursi, kemudian eksekutif lokal berkata, "Hai Pangeran. Ketahuilah, saya menerima surat berisi perintah dari Kanjeng Pelaksana pusat perusahaan multinasional van Tuwissen di Batavia.


 Dijelaskan pula bahwa atas perkenan Kanjeng Raja Yang Bijaksana di Negeri Walandi , bahwa Pangeran kini mendapat perkenan berganti sebutan menjadi Pangeran Adipati Arya Prabu Prangwadana, serta mendapat gelar Letnan Kolonel Komandan."


Kanjeng Pangeran menunduk, jawabnya, "Beribu ribu terima kasih saya atas perkenan Gubermen kepada diri saya." Kemudian eksekutif lokal berkata lagi, "Wahai segenap pangeran maupun mantrimuka. Hendaknya semua mendengarkan perintah yang sudah saya utarakan tadi, bahwa Gubermen benar benar telah berkenan melakukan pengangkatan, dan hal itu tidak akan berubah lagi."


Segenap yang mendengar turut bergembira, semuanya taat, tak ada yang membantah. Eksekutif lokal berkata lagi, "Wahai Pangeran Adipati. Saya ingin segera menyelenggarakan upacara pengang¬katan Pangeran. Namun demikian saya berserah saja, bagaimana kehendak Pangeran? Apakah akan memilih hari, dan bulan yang baik di saat saya mengumumkan pengangkatan itu?"


Kanjeng Pangeran menjawab, "Saya minta waktu untuk bermusyawarah dulu dengan segenap mantri dan punggawa."


Eksekutif lokal tersenyum, lalu ujarnya, "Sendika dhawuh, saya setuju. Anda memang berwenang untuk mencari hitungan yang baik melalui musyawarah. Bersiap siaplah, dan sekarang pulanglah."


Kanjeng Pangeran minta diri dan segera kembali ke kediamannya. Dan sesudah percakapan selesai, yang lain pun bubar dan berbondong bondong mengiring menuju kediaman Gandakusuman. Para opsir yang baru mendengar berita itu pun malam itu juga berdatangan menghadap.


 Kediaman Gandakusuman seketika penuh sesal oleh para prajurit yang datang tanpa di panggil. Semua merasa gembira dan dengan digopoh gopoh berdatangan seperti membayar nazar. Bagai si sakit mendapat usada karena lamanya mereka prihatin, dan kini datanglah kegembiraan.


Hati para perwira pun luar biasa gembiranya, dan dengan perasaan berani mereka datang. Demikian pula para abdi perempuan datang menghadap, dan pada saat itu Kanjeng Pangeran duduk di pringgitan menerima kedatangan para mantri dan per¬wira. Malam itu semuanya datang menghadap. Yang sedang mendapat tugas jaga di dalam pun keluar untuk menghadap gustinya.


C. Sembah catur


Gambuh

1. Samengko ingsun tutur,

Sembah catur supaya lumuntur,

Dhidhin raga, cipta, jiwa rasa, kaki,

Ing kono lamun tinemu,

Tandha nugrahaning Manon.


2. Sembah raga punika,

Pakartine asarana saking warih,

Kang wus lumrah limang wektu,

Wantu wataking weweton.


3. Inguni uni durung,

Sinarawung wulang kang sinerung,

Lagi ini bangsa kas ngetokkan anggit,

Mintokken kawignyanipun, 

Sarengate elok elok.


4. Thithik kaya santri Dul,

Gajeg kaya santri brai kidul,

Saurute Pacitan pinggir pasisir,

Ewon wong kang padha nggugu,

Anggere padha nyalemong.


5. Kasusu arsa weruh,

Cahyaning Hyang kinira yen karuh,

Ngarep arep urub arsa den kurebi,

Tan wruh kang mangkono iku,

Akale kaliru enggon.


6. Yen ta janma rumuhun,

Tata titi tumrah tumaruntun,

Bangsa srengat tan winor lan laku batin,

Dadi nora gawe bingung,

Kang padha nembah Hyang Manon.


7. Lir sarengat iku,

Kena uga inganaran laku,

Dhingin ajeg kapindhone ataberi,

Pakolehe putraningsung,

Nyenyeger badan mrih kaot.


8. Wong seger badanipun,

Otot daging kulit balung sungsum,

Tumrah ing rah memarah antenging ati,

Antenging ati nunungku,

Angruwat ruweding batos.


9. Mangkono mungguh ingsun,

Ananging ta sarehne asnafun,

Beda beda panduk panduming dumadi,

Sayektine nora jumbuh,

Tekad kang padha linakon.


10. Nanging ta paksa tutur,

Rehne tuwa tuwa se mung catur,

Bok lumuntur lantaraning reh utami,

Sing sapa temen tinemu,

Nugraha geming kaprabon.


11. Samengko sembah kalbu,

Yen lumintu uga dadi laku,

Laku agung kang kagungan Narapati,

Patitis tetesing kawruh,

Meruhi marang kan momong.


12. Sucine tanpa banyu,

Mung nyunyuda mring hardaning kalbu,

Pambukane tata titi ngati ati,

Atetep telate atul,

Tuladha marang waspaos.


13. Mring jatining pandulu,

Panduk ing ndon dedalan satuhu,

Lamun lugu legutaning reh maligi,

Lageane tumalawung,

Wenganing alam kinaot.


14. Yen wus kambah kadyeku,

Sarat sareh saniskareng laku,

Kalakone saka eneng ening eling,

Ilanging rasa tumlawung,

Kono adiling Hyang Manon.


15. Gagare nggugar kayun,

Tan kayungyun mring ayuning kayun,

Bangsa anggit yen ginigit nora dadi,

Marma den awas den emut,

Mring pamurunging lelakon.



16. Samengko kang tinutur,

Sembah katri kang sayekti katur,

Mring Hyang Sukma sukmanen saari ari,

Arahen dipun kacakup,

Sembaling jiwa sutengong.


17. Sayekti luwih perlu,

Inganaran pepuntoning laku,

Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,

Sucine lan awas emut,

Mring alaming lama maot.


18. Ruktine ngangkah ngukut,

Ngiket ngruket triloka kakukut Jagad agung ginulung lan jagad alit,

Den kandel kumadel kulup,

Mring kelaping alam kono.


19. Keleme mawi limut,

Kalamatan jroning alam kanyut,

Sanyatane iku kanyataan kaki,

Sejatine yen tan emut,

Sayekti tan bisa awor.


20. Pamete saka luyut,

Sarwa sareh saliring pangayut,

Lamun yitna kayitnan kang miyatani,

Tarlen mung pribadinipun,

Kang katon tinonton kono.


21. Nging Aywa salah surup,

Kono ana sajatining urub,

Yeku urub pangarep uriping budi,

Sumirat sirat narawung,

Kadya kartika katonton.


22. Yeku wenganing kalbu,

Kabukane kang wengku winengku,

Wewengkone wis kawengku neng sireki,

Nging sira uga kawengku,

Mring kang pindha kartika byor.


23. Samengko ingsun tutur,

Gantya sembah ingkang kaping catur,

Sembah rasa karasa wosing dumadi,

Dadine wis tanpa tuduh,

Mung kalawan kasing batos.




24. Kalamun durung lugu,

Aja pisan wani ngaku aku,

Antuk siku kang mengkono iku kaki,

Kena uga wenang muluk,

Kalamun wus padha melok.


25. Meloke ujar iku,

Yen wus ilang sumelanging kalbu,

Amung kandel kumandel marang ing takdir,

Iku den awas den emut,

Den memet yen arsa momot.


26. Pamoting ujar iku,

Kudu santosa ing budi teguh,

Sarta sabar tawakel legaweng ati,

Trima lila ambeg sadu,

Weruh wekasing dumados.


27. Sabarang tindak tanduk,

Tumindake lan sakadaripun,

Den ngaksama kasisipaning sesami,

Sumimpangan ing laku dur,

Hardaning budi kang ngrodon.


28. Dadya wruhiya dudu,

Yeku minangka pandaming kalbu,

Ingkang buka ing kijab bullah agaib,

Sesengkeran kang sinerung,

Dumunung telenging batos.


29. Rasaning urip iku,

Krana momor pamoring sawujud,

Wujuddollah sumrambah ngalam sakalir,

Lir manis kalawan madu,

Endi arane ing kono.


30. Endi manis endi madu,

Yen wis bisa nuksmeng pasang semu,

Pasamoning hebing kang Maha Suci,

Kasikep ing tyas kacakup,

Kasat mata lair batos.


31. Ing batin tan kaliru,

Kedhap kilap liniling ing kalbu,

Kang minangka colok celaking Hyang Widhi,

Widadaning budi sadu,

Pandak panduking liru nggon.


32. Nggonira mrih tulus,

Kalaksitaning reh kang rinuruh

Nggyanira mrih wiwal warananing gaib,

Paranta lamun tan weruh,

Sasmita jatining endhog.


33. Putih lan kuningpun

Lamun arsa titah teka mangsul,

Dene nora mantra mantra yen ing lair,

Bisa aliru wujud,

Kadadeyane ing kono.


34. Istingarah tan metu,

Lawan istingarah tan lumebu,

Dene ing jro wekasane dadi njawi,

Rasakna kang tuwajuh,

Aja kongsi kabasturon.


35. Karana yen kebanjur,

Kajantaka tumekeng saumur,

Tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi,

Dadi wong ina tan weruh,

Dheweke den anggep dhayoh.




Logika etika estetika yang dikembangkan Sri Paduka Mangkunegara III berlangsung terus. Sebagai sarana pandam pandom panduming dumadi. Piranti hidup agar mendapat kesempurnaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Babad GKR WANDANSARI

Adipati Dayaningrat Pengging Sepuh

Kidung Idul Fitri