PENTAS WAYANG GAYA SURAKARTA

PENTAS WAYANG GAYA SURAKARTA 



Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Ketua Bidang Budaya Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA
Hp. 0878 6440 4347


A. Wayang Ricikan


1. Gunungan, kayon, menggambarkan nyala api

2. Kayon gurda pepohonan gede

3. Prampogan pasukan manusia.


4. Prampogan pasukan buta (yaksa)

5. Kereta, jumlah 2 buah

6. Kuda hitam besar1, kuda putih ukuran sedang 1, kuda kecil 1, kuda geculan kepala sopakan 1,


 jumlahnya jadi 4 buah.

7. Gajah putih dan gajah klawu (abu-abu) jumlahnya 2 buah

8. Naga Raja makutan Ywang Antaboga


9. Naga Geni jamang pogogan gruda kecil (perempuan)

10. Sawer Ula besar

11. Macan Gembong dan macan putih 2 buah


12. Burung Garuda, Wilmuka buta dengan sayap Wilmana burung besar tunggangan Boma 3 buah.


13. Banteng

14. Kerbau 2 buah

15. Kijang 2 buah

16. Rusa 2 buah

17. Babi

18. Burung Dewata

19. Burung kecil jumlah 4 buah

20. Minarda ikan besar


21. Kepiting besar 2 buah

22. Tikus 2 buah

23. Kodok 2 buah

24. Kelelawar 2 buah

25. Kendela 2 buah


26. Kalajengking 2 buah

27. Ayam Jago 2 buah

28. Brayut laki-laki dan wanita ditemani anak kecil jadi jumlahnya 3 buah

29. Nyamuk 2 buah

30. Serat kalimasada


31. Surat iber-iber

32. Ergelek (kenti) 2 buah

33. Kendi pratala 2 buah

34. Gelas minuman 4 buah

35. Rangka keris

36. Sumbul


Buah-buahan yang dijadikan bentuk wayang untuk pedalangan


1. Nanas

2. Ketimun

3. Semangka

4. Jeruk gulung

5. Manggis

6. Jeruk kecil

7. Kelapa 

8. Jambu seikat

9. Blimbing


B. Macam-macam senjata

1. Keris lurus kecil bagus bentuknya, ada 2 buah

2. Keris besar kecil, ada 4 buah

3. Keris luk kecil bagus bentuknya, ada 2 buah

4. Keris luk besar kecil bentuknya, ada 4 buah

5. Panah kecil untuk perempuan, ada 2 buah


6. Panah kecil untuk laki-laki, ada 2 buah

7. Panah kepala burung, Sarotama, ada 1 buah

8. Panah Nagapasa ada 1 buah

9. Panah rantai ada 1 buah

10. Nanggala, seperti cis kecil pendek


11. Alugara (alu besar)

12. Denda

13. Cakra dengan deder (cakra baswara)

14. Gada Lukitasari gada besar

15. Gada Rujak polo gada sedang


16. Bindi gada lumrah jumlah 2 buah

17. Limpung musala

18. Candrasa

19. Badama

20. Cakra


21. Cis

22. Cundrik

23. Tlempak

24. Kudi

25. Arit

26. Petel


C. Wayang Katongan


Wayang Panggungan. Yaitu wayang Yang dijajar di kiri dan kanan paseban, ditancapkan di gadebog atas, di tengah ditancapkan wayang gunungan yang dinamakan wayang panggungan, sedangkan penataannya dinamakan menyumping.


Wayang katongan. Yang disebut wayang katongan yaitu wayang para ratu yang di panggung sumpingan kiri dan kanan, sedangkan yang dinamakan wayang pranakan yaitu semua wayang putra ratu atau putra satria, yang ikut dijajar di sumpingan kiri dan kanan paseban tersebut.


Wayang Dugangan. Semua wayang punggawa kera dan buta yang tidak ikut disumping, termasuk wayang dugangan. 


 Wayang Ricikan yang dinamakan wayang ricikan yaitu wayang kayon (gunungan), prampogan, kereta, kuda gajah serta senjata.  Wayang Dagelan. Yang dinamakan wayang dagelan yaitu wayang yang berwujud buta kecil tanpa badan, orang banyak menamakannya wayang setanan. kalau sedang memainkan lakon wayang dengan wadubarat anggoda. Pengambilan kata wayang dagelan tadi artinya buta tanggung.


 Tapi ada sejeis wayang pembantu dinamakan punakwan (wulucumbu) Semar, Gareng Petruk, dan ada lagi Cantrik, Cangik, Limbuk, Togog, Sarahita termasuk golongan wayang dagelan.


Wayang gusen. Yang dinamakan wayang gusen yaitu wayang yang terbuka mulutnya seperti Dursasana, Hindrajit dan lain sebagainya.


 Sedangkan Sengkuni, Pandita Durna, Kartawarma dan sebagainya itu dinamakan gusen tanggung, artinya wayang gusen tadi wayang yang kelihatan gusinya, kelihatan meringis. Wayang Liyepan. Yang dinamakan wayang liyepan dan wayang lanyapan, wayang pantelengan, menurut pada bentuk mata. Satu mata liyepan, dua mata pantelengan. Wayang yang matanya liyepan untuk wayang nglangak dinamakan lanyapan. Wayang yang matanya pantelengan dibuat jadi mata kadondongan, menurut kebutuhannya sendiri.


Kata liyep artinya ruruh, seperti Harjuna dan lain-lain sesama wayang tumungkul. Kata lanyapan yaitu wayang kebanyakan, seperti: Samba, Rukmarata, Wisanggeni dan wayang yang nglangak.


Wayang kantep. Semua wayang yang bertangan dan kaki kepanjangan kurang seimbang dengan badannya dinamakan kanteb, dari kata orang jatuh terduduk disebut kanteb, pasti kakinya selonjor.


 Wayang kanteb itu kebanyakan tanpa pola. Wayang murgan. Wayang yang dibuat tanpa pola misalnya Harjuna tua, wandanya tidak menurut Jimat, Mangu, Kancut, maka dinamakan murgan. 


Diambil dari kata mirunggan artinya menyendiri keluar dari adat yang sudah kaprah. Misalnya orang membatik tanpa pola dinamakan ngrujag.


Wayang Srambahan. Yaitu semua wayang yang luwes lincah untuk pinjaman dalam lakon apa saja, seperti wayang Gatutkaca dengan makuta bisa digunakan untuk ratu Sabrangan.


Wayang Harjuna ditambah dengan slendang, bisa dipinjam jadi Sakutrem, Palasara, Partadewa dan lain-lain, ada lagi Premadi sampir, wayang baku ditambah sandang jadi kelihatan berubah dari pola wayang yang pertama. Wayang srambahan itu banyak sasahnya. Sebangsa wayang dudahan punggawa dan patih-patihan itu hampir semua bisa dinamakan wayang srambahan.


 Tapi ada wayang buta prepatan, yaitu wayang candra sangkala memet yang juga dinamakan wayang srambahan yaitu wayang buta punggawa yang bisa luwes untuk pinjaman dalam cerita lakon apa saja, pasti jadi punggawa para ratu Sabrangan apa saja untuk dijadikan utusan. 


Wayang buta prepatan. Yaitu wayang buta candra sangkala tersebut, pertama buta Panyareng umumnya disebut Buta Cakil, kedua buta rambut geni, ketiga buta endog, keempat buta gombak (buta galiyuk) untuk melengkapi jika ada lakon ratu Buta atau ratu Sabrang, sebagai utusan (caraka). Teman Togog dan Sarahita. Atau digunakan untuk perang kembang, arti perang kembang adalah perang kebanyakan orang terbunuh, hanya sebagai cara kematian caraka. 


Wayang jujudan. Yang dinamakan wayang jujudan yaitu semua wayang yang ditambah ukurannya jadi lebih besar dari polanya.


Wayang pedalangan. Yang dinamakan wayang pedalangan itu adalah wayang-wayang yang pasti digunakan para dalang sedangkan ukuran wayang tidak besar atau tidak kecil, ukurannya sedang enak dipakai semalam suntuk tidak merasa lelah.


 Jadi sudah termasuk ukuran umum, diakai oleh para dalang. Wayang ribig. Yang dinamakan wayang ribig yaitu wayang yang bentuknya turut-runtut, kalau disumping tidak kelihatan naik turun, bahu dan palemahannya bisa rajin. 


Dari wayang yang besar sampai yang kecil kelihatan enak dipandang.  Wayang bajujag. Yang dinamakan wayang bajujag yaitu wayang yang tidak ukurannya tidak tetap ukurannya. Wayang dibuat tanpa pola atau meninggalkan pola. 

Ketika bertahtanya Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwana IX di Surakarta. 


Waktu itu Kanjeng Pangeran Hadipati Harya Mangkunagara  IV, meminjam wayang purwa pada kraton lalu diberi wayang purwa Kyai Kadung yaitu wayang yang hanya untuk lakon Rama, akan digunakan untuk wayangan. 


Ketika itu banyak para dalang yang merasa terlalu berat karena wayangnya kebesaran lalu menumbuhkan keinginan kanjeng pangeran untuk membuat wayang, kebetulan di Mangkunagaran belum punya wayang purwa. Wandanya seperti Kyai Kadung, ukurannya diperkecil serta badannya disesuaikan. Dewa-dewanya hampir semua memakai makuta dan topong, bajunya dibuat pendek, jadi tidak memakai jubah, bawahannya memakai kain rapekan pingirnya sembulihan.


 Sedangkan Batara Kumajaya masiha tetap dengan gelung seperti Premadi, hanya Batara Surya dan Patuk Tamboro yang masih tetap tidak berubah bentuknya.

Wayang itu dibuat dua perangkat yaitu jadi dua kotak, lengkap wandanya.


 Dagelan yang satu golongan disebut Kyai Sebet pangkat I, cirinya ada di palemahan yang diberi warna bendera Belanda, merah putih biru Mangkunegara I. Sedangkan sisa wayang disebut jadi Kyai Sebet pangkat II, dasarnya cat Mangkunegara II prada. 


Ketika itu tahun 1793 dengan candrasangkala Mantri Trusta Mumuji di Gusti, menunjukkan tahun 1793. Jadi menurut ukuran besar kecilnya wayang, Kyai Sebet itu masih lebih besar dibandingkan dengan wayang pedalangan pada umumnya.


D. Penyumping atau Paniti


Panyumping itu pekerjaannya menata wayang kulit jika akan dimainkan Ki dalang dalam suatu hajatan, misalnya dalam pernikahan dan lain lain. Tugasnya mengatur wayang dalam tarub (rumah atau gedung).


 Menatanya harus diatur agar serasi ditonton karena wayang kulit kalau digunakan untuk memperindah acara harus bisa kelihatan rapi asri jika dipandang membuat senang. Karena wayang kulit itu kalau sudah selesai ditata akan mewujudkan seni keindahan kebudayaan Jawa asli, cara menata gamelan juga harus di tempat yang tepat jangan sampai menutupi yang lain.


Kewajiban panyumping wayang kulit itu jika sudah selesai penataannya harus bisa memasang blencong lampu wayang. Jika sudah dibersihkan lalu dipasangi sumbu tali (uceng-uceng).


 Pemasangan sumbu jangan sampai terlalu kuat karena jika sudah diisi minyak akan medok, kalau ditarik dengan sapit jadi susah sehingga nyala apinya tidak bagus, tidak bisa terang, lebih sering surut nyalanya, yang terbakar hanya sumbunya saja, minyaknya tidak. Makanya jadi sering kelihatan hitam.


Sebaliknya jika sampai terlalu longgar juga tidak baik, serignkali sampai kehabisan sumbu, jika ditarik sumbunya terlalu mudah lepas, mintaknya akan menetes ke bawah membuat susah dalang karena sering terkena tetesan minyak.


 Apa lagi jika minyak itu sampai menetesi wayang akan menjadi cacat dan meruak wayang. Wayang kulit kalau sampai terkena minyak akan rusak catnya, lau gampang terkena jamur, wayangnya lalu kelihatan lusuh catnya. Makanya harus bisa mengira ira agar pemasangan sumbu blencong tadi baik.


 Mempersiapkan wayang yang akan dipakai oleh Ki dalang dalam lakon yang akan dimainkan. Sebelum wayang dipakai, panyumping harus meminta keterangan dulu pada Kyai dalang tentang lakon apa yang akan dimainkan dan apa wayang yang akan keluar nanti.


Jika sudah mendapat keterangan tentang wayang yang dibutuhkan oleh dalang, panyumping lalu mulai menata wayang dan mulai dirakit, dipilih wayang yang akan digunakan diletakkan di tempat yang tepat supaya gampang dilihat oleh Ki dalang.


 Sedangkan wayang katongan (yaitu ratu) yang akan keluar pertama diletakkan dalam sumpingan kanan ditancapkan dalam gadebog paseban sebelah bawah misalnya Prabu Kresna atau Prabu Yudistira, disesuaikan dengan lakonnya. Katongan di sebelah kiri juga ditancapkan sekalian, misalnya Prabu Baladewa atau sang adipati Karna ditancapkan di sebelah kiri di paseban bawah.


 Kalau sudah lalu patih patihan punggawa dan putran yang akan dipakai cukup diletakkan dalam eblek di atas tutup kotak, sedangkan yang ada dalam kotak yaitu para punggawa patih dan buta prepat atau para putran yang tidak termasuk dalam sumpingan diatur dengan urut.


 Buta dengan buta, punggawa manusia dengan manusia, jangan dicampur agar tidak bingung kalau akan mengambil wayang yang dibutuhkan. Tersebut yang dinamakan ndapuk yaitu menyiapkan wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang menurut lakonnya. 


Wayang yang tidak dibutuhkan diletakkan dalam kotak bawah diberi pembatas eblek, karena wayang itu tidak akan keluar untuk lakon, tidak perlu diubah nanti malah rusak dan kelihatan berserakan.


E. Kerja Penyumping


Jika dalang sudah mulai memainkan wayang, panyumping lalu duduk di sebelah kiri satu, di sebelah kanan satu.


 Panyumping itu sebaiknya dua orang, yang kiri duduk di kiri dalang dibatasi kotak untuk membantu Ki dalang kalau membutuhkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kiri dan jauh dari si dalang, sedangkan yang ada sebelah kanan dalang duduk di kanan dalang dibatasi tutup kotak, tugasnya membantu mengambilkan wayang yang ada di sumpingan sebelah kanan yang kira-kira Ki dalang tidak sampai mengambilnya.


Cara mengambil wayang dalam sumpingan itu harus hati-hati jangan sembarangan. Wayang mana yang dibutuhkan, misalnya wayang Premadi.


 Di mana tempat wayang putran Premadi tadi, cara mengambilnya yang benar yang harus dibuka dulu belakangnya baru mengambil gapit wayang Premadi dengan tangannya diringkas jangan sampai menyangkut wayang yang lain lalu ditarik pelan pelan dengan memperhatikan bahunya, menyangkut atau tidak. Jika sekiranya sudah tidak menyangkut maka mulai ditarik lagi. Begitu seterusnya cara mengambil wayang dalam sumpingan, jadi jangan dipaksa asal mengambil saja.


Ada dalang yang tidak mengerti cara jadi panyumping wayang padahal dalang itu sudah kondang dan laris, lincah memegang dan menyabet wayang tapi tidak bisa mengambil wayang dalam sumpingan dengan benar, mengambilnya hanya sembarangan saja. Wayang diambil dengan berjongkok lalu dipegang kepalanya ditarik ke atas. 


Cara seperti itu salah, belum tahu apesnya wayang. Semua kepala wayang yang ada di sumpingan itu semua mudah rusak, ada wayang yang makutan (topongan), ada yang gelung. Ukirannya seritan melengkung bulat dan ada yang jungkungan (pogogan) gruda atas, ada yang gelung keling. 


Itu semua ukirannya serba rumit dan kulitnya pasti tipis rata, gapit yang paling atas yang jatuh di kepala wayang itu pasti tipis, sampai ada yang sama dengan lidi, tarkadang kalau kurang ada ada yang disambung. 


Tersebut kalau cara mengambil wayang ditarik dari atas kurang baik. Kadang bisa mematahkan gapit bagian kepala atau memutuskan tatahan wayang yang rumti rumit tadi. Terlebih lagi jika sampai pada wayang yang gelungnya ditatah seritan, itu yang paling rapuh.


 Misalnya wayang Janaka atau Gatutkaca rambutnya ditatah seritan, kalau wayang baru kultinya masih kuat, tapi kalau wayang lama atau wayang kuna pasti sudah rapuh karena sudah sangat kering, kulitnya jadi getas gampang putus, begitu juga gapitnya.


Panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau berkongkok itu dinamakan diksura (tidak tahu tatakrama).


 Itu kurang baik, tidak bisa menghargai pada wayangnya, hanyadianggap seperti barang remeh saja, padahal wayang yang ada di sumpingan itu adalah bentuk para ratu dan para satria. Kalau cara mengambil sesuka hati maka seperti menghina.


Makanya panyumping yang mengambil wayang dengan berdiri atau jongkok dinamakan diksura. Wayang jikia sudah digelar dalam keramaian pasti banyak para tamu yang hadir, duduk melihat wayang yang sudah dipasang rapi beserta gamelannya sekaligus. Setelah itu melihat Ki dalang memainkan wayang.


 Padahal tamu tersebut bermacam macam pangkatnya ada yang tinggi ada yang rendah, sampai penonton yang ada di luar juga datang menonton. Jika melihat panyumping yang sembarangan akan membuat kurang baik dipandang dan mengganggu tontonan yang adi luhung tersebut. Sebaiknya mengambil wayang itu dengan duduk saja, apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki dalang. 


Jika panyumping yang ada kanan dalang, meletakkan wayang di atas tutup kotak kanan dalang, gapitnya diaturkan pada Ki dalang.


 Jadi kalau dalang akan mengambil jangan sampai memegang kepala wayang. Panyumping yang ada sebelah kiri, meletakkan wayang dalam kotak jangan sampai terbalik, begitu seterusnya.


Jadi dalam wayang itu jika sudah mulai main jangan sampai ada orang yang kelihatan bersliweran di depan pagelaran tersebut, jadi panyumping boleh berdiri di belakang dalang itu hanya jika akan menambah minyak lampu blencong saja (lampu wayang).


F. Sabetan Wayang


Ada lagi jika dalang akan memainkan wayang, di atas kotak diletakkan eblek melintang di atas kotak, lalu diletakkan wayang sampai kelihatan menumpuk. 


Itu tidak baik, jika dilihat jadi kotor. Kebanyakan melakukannya adalah dalang di pedesaan yang meniru cara pesisir. Sedangkan di Yogyakarta caranya juga seperti itu. Wayang yang berada di atas eblek itu akan digunakan dalang dalam sabetan wayang yang akan perang dilempar lemparkan.


 Biasanya lalu menyangkut dengan yang ada di atas eblek tersebut. Malah ada yang kadang terkena siku sehingga mematahkan pegangan tangan wayang. Jadi panyumping dalam melayani dalang semalam harus bisa hafal wayang apa saja yang pasti ada dalam lakon dan harus bisa mengetahui apa wayang yang dibutuhkan oleh Ki Dalang. 


Lakon juga harus ingat pada wayang yang sudah tidak akan keluar lagi dan segera disingkirkan jangan sampai mengganggu wayang yang masih digunakan dalam lakon. Cerita wayang semalam tersebut diletakkan dicampur dengan wayang dudahan yang tidak termasuk dalam lakon tadi. 


Meletakkan senjata wayang yang jelas satu persatu, jangan hanya asal diletakkan saja. Perlu dipilih senjata yang pasti digunakan, disiapkan di tempat yang gampang mengambil sewaktu waktu dalang membutuhkan. 


Jadi panyumping harus bisa mengatur wayang pada saat acara karena itu adalah untuk pameran, harus kelihatan rapi rajin dan bisa menimbulkan kaindahan yang adi luhung, jangan sampai mengecewakan. Begtersebut pekerjaan panyumping. 


Kalau di kraton Surakarta yang punya kewajiban adalah abdi dalem Lembisana, yaitu abdi dalem yang pekerjaannya merawat bermacam macam wayang kulit, ia tinggal dalam gedung Lembisana.


Pedalangan gaya Surakarta berpengaruh luas. Rasa indah dan megah ditunjukkan dalam berbagai pementasan. Penonton wayang begitu bersemangat. Wiwit talu dumugi tancep kayon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.