LAKON WAYANG SENI PEDALANGAN

 LAKON WAYANG SENI PEDALANGAN 


Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum
Ketua Bidang Budaya Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA
Hp. 0878 6440 4347


A. Ragam Lakon Wayang. 


Lakon seni pedalangan luas cakupan. Yang dinamakan lakon wetanan itu adanya di Kanoman, yaitu di kadipaten sedangkan yang dinamakan kulonan itu adanya di dalam Kasepuhan, kraton. Bedanya lakon wetanan dan kulonan itu sebenarnya masih menjadi satu. 


Sedangkan grebanya lebih banyak lakon wetanan karena banyak lakon carangan (anggitan). Adanya lakon seperti itu karena lakon wetanan itu ketika jaman Mataram ditundukkan, Nyai Panjangmas melarikan diri ke timur.


Memainkan wayangnya menggunakan dagelan Semar ditemani Bagong, sedangkan lakonnya dibuat ramai, banyak keluarnya wayang dan banyak perangnya (sabetan) supaya kelihatan panjang ceritanya, cerita dan ucapan wayang dikurangi jangan sampai kehabisan cerita dalam memainkan wayang semalam itu karena yang memainkan adalah wanita, yang sudah terbiasa menunggui suaminya memainkan wayang kalau sedang mendalang, yaitu Kyai Panjangmas.


Jadi memainkan wayang hanya karena terbiasa menunggui dan melihat kalau suaminya bekerja memainkan wayang.


 Sedangkan lakon kulonan untuk di kasepuhan dimainkan oleh Kyai Panjangmas setelah runtuhnya Negara Mataram. Di Kedu ke barat sampai batas Cirebon sampai tanah Pasundan. Cara Kyai Panjangmas memainkan wayang dengan menggunakan dagelan Semar, Gareng dan Petruk.


 Makanya sampai sekarang kalau Yogyakarta ke barat sampai Banyumas, dagelannya kebanyakan hanya Semar, Gareng dan Petruk. Setelah sampai jaman baru ini lalu ditambah dengan Bagong, sedangkan kalau Pacitan ke timur sampai Pasuruhan, orang-orang di sana kebanyakan sudah terbiasa dengan Semar dan Bagong, sedangkan Bagong kalau di daerah wetanan dinamakan Mangundiwangsa.


B. Lakon Jejer


Lakon jejer itu cerita yang dimainkan di rumah beberapa malam. Misalnya memainkan wayang tiga malam, lakon yang dimainkan masih kelanjutan dari lakon yang sudah dimainkan pada malam sebelumnya, misalnya lakon Partakrama, selanjutnya lakon Srikandi Maguru Manah, lalu Sembadra Larung, begitu seterusnya. Jadi seperti cerita seri. Itulah yang dinamakan lakon jejer.


Lakon carang kadapur yaitu lakon jejer satu lakon, lalu disambung lakon carangan yaitu lakon jejer yang pendek. Lalu disambung carangan tapi masih satu cerita, bisa selesai dalam semalam.


 Artinya masih satu cerita, itu yang dinamakan lakon carang kadapur. Lakon carangan, terpisah dengan lakon jejer serta tidak ada lakon selanjutnya lagi jadi sudah habis. Dimainkan di rumah semalam sudah bisa tamat. 


Gamelan yang digunakan dalam pedalangan wayang kulit. Pada umumnya gamelan untuk pedalangan itu hanya mengambil seperlunya untuk tetabuhan wayang yaitu hanya mengambil sebagian klenengan lengkap sesuai wayangnya.


 Kalau wayang purwa gamelannya laras slendro, kalau wayang Madya atau gedog, gamelannya laras pelog dan barang, hanya mengambil sebagian klenengan lengkap jadi tidak memakai bonangan serta tanpa gong besar. Gongnya hanya cukup dengan gong suwukan saja, saron dua buah sebagai ganti bonang. Hanya dibuat seperti itu sudah dipikirkan oleh para ahli karawitan yang sudah mumpuni dalam pedalangan serta gending-gendingnya sekalian sudah disesuaikan dengan bentuknya wayangnya. 


Jadi tidak hanya asal gending, asal gending baru kelihatan bagus lalu dimainkan dalam pakeliran karena dianggap baik. Tidak tahunya malah merusak pewayangan. 


Kalau gamelan tadi didengar dari kejauhan atau didengar suaranya dalam radio dinamakan tetabuhan tarian (tari-tarian) atau tabuhan wayang orang. 


Meskipun sama-sama tetabuhan wayang tapi ada bedanya, yaitu tetabuhan wayang yang berhubungan dengan tarian karena wayang orang dimainkan dengan tarian serta gendingnya tidak genap, hanya diambil yang cocok dengan tariannya, gamelannya slendro dan pelog genap (komplit) bonangan, kalau tari Langendriyan gamelannya hanya slendro, slendro lengkap bonangan (komplit). Jadi kalau wayang kulit diberi cara begitu tidak pantas, namanya tidak bisa menempatkan pada keluhuran kebudayaan kita.


C. Bahasa Pedalangan


Bahasa dalam pedalangan itu sudah diatur dan diracik oleh para ahli bahasa yang sudah mumpuni dalam bahasa dan kasusastraan dan disesuaikan dengan isi cerita pedalangan.


 Meskipun bahasa pedalangan itu campuran tapi sudah diolah oleh para ahli bahasa supaya bahasa tadi bisa hidup dan enak pengucapan kata-katanya. Kalau diterapkan dalam pedalangan bisa gampang dimengerti oleh umum yang mendengarkan. 


Para dalang yang belum mengerti pada bahasa dan kata-kata yang sudah disusun dalam pedalangan, yang dinamakan tembung dadi, itu jangan sekali-kali merubah, menambahi atau mengurangi, terlebih lagi sampai memberi arti kalau belum bisa melebihi pengetahuan para pujangga yang disebut di atas tadi. Lebih baik dibaca atau dihafalkan sampai hapal di luar kepala, diucapkan apa adanya saja.


Kata-kata tadi kalau diotak-atik lalu diartikan dengan kata jarwa dosok tidak bisa cocok, malah membingungkan, artinya berbeda dengan yang diinginkan. Kebanyakan dalang sekarang senang mengubah dan mengganti, mengartikan kata-kata pedalangan yang sudah dinamakan tembung dadi atau hidup tersebut.


 Mengartikannya diputus-putus, maksudnya supaya benar mengartikannya, tapi pada akhirnya malah membuat bingung. Lagi pula semua nama negara, tempat dan pedesaan, pagunungan, pertapaan, kayangan, di jaman purwa itu tidak bisa dibuat dengan bahasa inggil, nanti malah ucapannya berbeda. Dalam pedalangan sudah ada artinya sendiri, yang sudah cocok dengan keinginan.


 Misalnya di negara Astina, di Gajahoyo; mengapa dinamakan Astina, maksudnya Dwipangga sirna ing Gajahoyo, yaitu kerajaan Dwipangga, begitu seterusnya. Lagi pula kalau sedang membahasakan wayang supaya dengan bahasa Jawa yang murni jangan sampai dicampuri bahasa Indonesia atau bahasa asing.


D. Bahasa Kedaton

 

Bahasa kadaton Krama Ngoko Bahasa Indonesia 

hulun sampeyan Aku Aku 

Henggeh Inggih Hiya Ya 

Neda Sumangga Ayo, mara Ayo 

Rereh Kendel Leren Istirahat 

Roboyo Mengko Pantes, aku Pantas, aku

Kadimana Kados pundi Kapriye Bagaimana

Kapatedan Diberi Diwenehi Diberi 

Memiliki Memiliki Duwe Punya 

Wenten Wonten Ana Ada 

Warahen Sampeyan sanjangi Tuturana Dinasehati 

Wawi Suwawi Ayo Ayo 

Punapi Punapa Apa Apa 

Para Sampeyan Kowe Kamu, engkau

Pakenira Sampeyan Kowe Kamu, engkau

Manira Kula Aku dak Aku 

Meninga Melihat Weruh Melihat

Meksih Taksih Isih Masih 

Beneh Sanes Bedha seje Berbeda 

Benten Sanes Beda Berbeda

Boja Boten Ora Tidak 


Contohnya:

Prabu Druyudana berkata pada patih Sangkuni:


“Paman harya, boja jadi guguping ati pakenira, manira timbali maring pasewakan, paman.” Sanghyang Guru ke Batara Narada: “Henggeh, marma handika ulun piji, robojo kang mawa gara-gara palibaya kalimput.” Begitu seterusnya.


Bahasa madya


1. Prehpun Priye Bagaimana

2. Wikana Embuh (kilap) Entah 

3. Makoten mangkene Seperti ini

4. Melih Maneh Lagi 

5. Mengke Mengko Nanti 

6. Mawon Bae Saja

7. Ngrika Kana Di sana 

8. Nika Ika Itu 

9. Ture Jarene Katanya 

10. Gale Nika Itu 

11. Samang Kowe Kamu, engkau

12. Siyen Biyen Dulu

13. Dawek Ayo, enya Ayo 

14. Empun Uwis Sudah 

15. Engga Enya Ini 

16. Onten Ana Ada 

17. Ndika Kowe Kamu, engkau

18. Kriyin Disik Dulu 


Contohnya:

Semar: “Ndika niku keprehpun ndara, wong butane galak ngoten kok diumbar mawon, mboknggih empun enggal di uwisi.”

Kala Pragalba: “Neda adi sambung-sambung obor, pada budal.”

Sinauran: “Enggeh, ndaweg-ndaweg.”

Begitu seterusnya.


E. Bahasa Kasar 


1. Ambadog Mangan Makan

2. Anyaplok Mangan Makan 

3. Anguntal Mangan Makan 

4. Endas Sirah Kepala 

5. Gundul Sirah Kepala

6. Andublong Ngising Buang air besar

7. Andodol Susuker

8. Kaplak Tuwa Tua

9. Gerang Tuwa Tua

10. Daplok Tuwa Tua


11. Congor Cangkem Mulut

12. Cocot cangkem Mulut

13. Cokor Tangan Tangan

14. Nracak Kurang ajar Kurang ajar

15. Edan Gingsir owah Gila 

16. Pecus Bisa, saged Bisa

17. Jengos Bisa, saged Bisa

18. Anjibus Cumbana

19. Nyilit Cumbana

20. Gedohan Wateg


21. Anjejeli Aweh pangan Memberi makan

22. Inding Pipih, kempitan

23. Cendeng Sanak

24. Gobog Kuping Telinga

25. Ngecipris Calatu Cerewet 

26. Ngokop Minum Minum 

27. Waduk Perut Perut

28. Cungkur Irung Hidung

29. Micek Turu Tidur

30. Ngringkel Turu Tidur


31. Anjintel Turu Tidur

32. Mleding Turu Tidur

33. Modar Mati Mati

34. Anjelag Ngapusi Bohong

35. Pelus Planangan Alat vital laki-laki

36. Cemimik pawadonan Alat vital wanita

37. Andableg Ora ngrewes Kepala batu

38. Andableg Ora dirasakake Tidak dirasakan


Contohnya 

Orang marah: “E, bocah dituturi wong tuwa ora ngrewes, mung ndableg bae.”


Orang bertengkar: “O, wong nracak kurang ajar nyandak gundul tanpa amit, wong edan ane.” Begitu seterusnya. Yang lainnya cukup dengan bahasa krama inggil dan bahasa lumrah tapi jangan sampai tercampur dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing.


 Pujian untuk ratu atau negara banyak jenisnya. Dari yang lengkap sampai yang hanya untuk kesenangan, sering digunakan dalam cerita pedalangan. Contohnya seperti ini: Pujian untuk Negara.


Swuh rep data tita ana: Anenggih wau kocapa, nagari pundi ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka: sawiji, adi: linuwih, dasa: sapuluh, purwa: kawitan. Sanajan kathah titahing Dewa kang kasangga pratiwi, kaungkulan ing akasa, kapit ing samodra, kathah kang anggana raras, boten wonten kados nagari ing Mandraka. Mila kinarya bebuka, kocap ngari satus tan angsal kekalih, sewu tan antuk sadasa. 


Dasar nagari panjang apunjung, pasir wukir, loh jinawi, gemah ripah, karta raharja, panjang dwa pocapane, punjung luhur kawibawane, Pasir samodra, awukir gunung dasar nagari angungkuraken pagunungan, angeringaken pasabinan, anengenaken bengawan, angajengaken bandaran ageng,


 loh: tulus kang sarwa tinandur, ajinawi: murah ingkang tinuku, gemah: katandha ingkang laku dagang rinten dalu lumampah tan ana pedote, datan wonten sangsayanireng margi, aripah:


 katandha ingkang tepung cukit adu taritis sking gemah harjaning nagari. Karta: Katandha kawula ing padhusunan ingkang lampah tetanen, angingu kebo, sapi, bebek, ayam tana cinancangan yen rina sami aglar aneng pangonan, wancining dalu wngsul marang kandang asowang-sowang, sangking kalising durjana juti.


 Raharja: dening tebih parang muka, tuwin abdi Mantri Bupati tan wonten lampah cecengilan atut rukun anggonira ngangkat ngangkat karyaning ratu, mila nagari ing Mandraka keringan ing ngatmaja praja, dasar negara Mandraka gede obore, padang jagade, duwur kukuse adoh kuncnama, boten ing tanah Jawi kemawon, sameskipun tanah sbrang kathah ingkang asuwita.


Contoh pujian untuk ratu: Wenang dipun ucapaken jejuluking Narendra ing Mandraka.


 Prabu Narasoma: ratu sareh marang dasih Salya: ratu wiyar cecawanganing panggalih, Mandradipa: Ratu linuwih, Mandrakeswara, langkung luhur, Somadenta: tutut ing gading. Pranyata Sri Bupati ing Mandraka ambeg pinandita.


 Mila katah praja nungkul arais tanpa pinukul ing yuda, sangking kungkulan pambekaning ratu. Dene Sri Bupati ing Mandraka agung danane, paring sandang wong kawudan, suka teken wong kalunyon, asung kudung ing kapanasen, paring pangan ing janma kaluwen, karya sukaning prihatin. Tuhu tan kena winanti danane Sinuhun ing Mandraka, yen ta ginunggunga wiyaring jajahan luhuring keprabon tuwin pambekaning ratu, sadalu tan wonten pedote.


 Pinunggel ingkang murweng kawi Sinigeg. Yang disebut di atas tadi dinamakan bahasa dan tembung jadi, yaitu sudah diatur dengan baik kata-katanya sehingga enak didengarkan. 


F. Kitab-Kitab Pewayangan


Serat Mahabarata itu berisi sejarah yang berisi 18 cerita lakon, yaitu yang dinamakan Parwa. Di tanah Hindu dan di tanah Jawa, untuk kasusastran Jawa kuna, sampai sekarang bisa menemukan sembilan parwa: 1. Adiparwa, 2. Soboparwa, 3. Wirataparwa, 4. Udyagaparwa, 5. Bhismoparwa. sedangkan yang empat atau empat parwa itu adalah Parwa-parwa kecil yang terakhir.


Parwa-parwa Jawa kuna ditulis dengan cara disalin untuk naskah atau karangan pendek, sedangkan bahasa kawinya disalin dengan teliti, tapi parwa-parwa tersebut bisa diringkas isinya, kebanyakan untuk mengisi dalam pedalangan, seperti cerita Mahabarata ada dalam cerita pedalangan dengan cerita lakon.


Parwa-parwa Jawa kuna terkenal ketika abad yang ke 11. semua parwa-parwa tadi diambil dari naskah Mahabarata asli, masih ditulis dengan bahasa Kawi yang ditulis sabelum tahun 1000 Masehi, sehingga tidak diketahui siapa pengarang parwa-parwa tersebut. 


Literatur yang berasal dari Hindia berisi cerita Mahabarata yang serupa, isinya empat parwa, yaitu:

1. Adiparwa

2. Soboparwa

3. Wirataparwa

4. Bhismoparwa


Selain keempat parwa besar tersebut, juga ada empat parwa kecil yang terakhir.  Kakawin yang perlu diketahui ada dua, yaitu: 


Cerita Harjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa tahun 1030. Cerita Baratayuda, karangan dua bersaudara, yaitu Empu Sedah dengan Empu Panuluh, ketika tahun 1157, isi cerita buku itu dengan dilagukan tembang macapat sesuai cerita lakon. Isi cerita dengan tembang macapat tersebut memuji ratu-ratu yaitu Prabu Jayabaya dan Erlangga, yang ketika itu berkeraton di tanah Jawa Timur.


Empu Sedah dan Empu Panuluh itu pujangga kasusastran Jawa kuna.


 Empu Panuluh itu yang menyelesaikan tulisan Baratayuda yang dimulai oleh Empu Sedah. Kakawin itu menggambarkan perang saudara antara dua negara, yaitu Kediri dan Jenggala. Juga menulis Gatutkaca Sraya dan Hariwangsa, pada jaman Prabu Jayabaya. 


Dalam serat kawi Smaradahana ditulis pada abad yang ke 12, serat itu menceritakan lakon Prabu Kameswara. Sutasoma adalah buku tulisan Budha yang sudah ditemukan dalam kasusastran Jawa, yaitu serat yang berisi cerita Gatutkaca Sraya, Kresnayana dan Hariwangsa.


Serat cerita Ramayana itu karangan Empu Yogiswara, kemungkinan berasal dari Jawa Tengah ketika tahun 925, isi cerita Harjunawijaya dan Sumanasantaka.


 Cerita Ramayana karangan Jayadipuran tidak mengambil dari Ramayana Kawi karangan pujangga Walmiki, juga tidak mengambil dari Harjuna Sasrabahu. Itulah tulisan baku serat kuna yang sering diambil untuk cerita lakon wayang purwa ada dalam cerita pedalangan, yang digunakan sebagai dasar cerita lakon wayang.


G. Lakon-Lakon Pasemon. 


1. Lakon Swargabandang. Dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram, sebagai peringatan ketika Mangir runtuh (Babad Mangir)


2. Lakon Rajamala, dibuat oleh Panembahan Senapati Mataram, sebagai peringatan matinya Harja Panangsang, di Jipang panolan.


3. Lakon Mustakaweni sampai Petruk Dadi Ratu, sebagai peringatan PBI sinuhun Pakubuwana yang ke  satu.


4. Lakon Gilingwesi, Werkudara Dadi Ratu, dibuat P.B. yang ke III, sebagai peringatan runtuhnya Kraton Kartasura.


5. Lakon Wijanarka, dibuat P.B. yang ke  III sebagai peringatan P.B. yang ke  II kembali dari Panaraga setelah diambil menantu oleh Anom Besari.


6. Lakon Suryaputra Maling, dibuat oleh P.B. yang ke III sebagai peringatan pencuriannya pangeran Singasari.


7. Lakon Kresna Kembang, dibuat P.B. yang ke IV pasemon ratu Pambayun bersama dengan R.M.H Natawijaya.


Cerita lakon-lakon wayang tersebut di atas, itulah yang dinamakan lakon pasemon, peringatan keadaan kehidupan, digambarkan dalam pawayangan untuk dimainkan dalam pakeliran. 


Jadi asal ceritanya memang dari kenyataan kehidupan manusia yang sebenarnya, jadi bukan dongeng yang digambarkan dalam pakeliran. Makanya lalu dinamakan cerita lakon pasemon. Cerita lakon wayang purwa, kebanyakan adalah karya para empu ahli kasusastran jaman kuna, yaitu ketika jaman Prabu Jayabaya di Kedhiri.


1. Lakon Wahanapurwa, yaitu pertemuan Dewi Gandawati atau Dewi Lara Amis, karangan Empu Tapawangkeng di Mamenang.


2. Lakon Suktinawyasa, bertahtanya Prabu Kresnadipayana sampai menjadi begawan di Saptarga dengan julukan sang Maharsi Begawan Abyasa. Cerita karangan Empu Wijayaka di Mamenang.


3. Lakon Gorowongso, cerita karangan Empu Barandang.


4. Lakon Kumbayana, cerita karangan Empu Braradya.


5. Lakon Bimabungkus, cerita karangan Empu Ragarunti


6. Lakon Muksane Prabu Pandu, cerita karangan Empu Mayangga


7. Lakon Drestanagara (Drestarasta) menjadi ratu sampai turun tahta, cerita karangan Empu Widyatmaka. 


8. Lakon Kurumaka, alap-alapan Dursilawati, cerita karangan Empu Mujwa. 


9. Lakon Bale Sagala-gala cerita karangan Empu Salukat Karmajaya.


10. Lakon Hambaralaya sampai Jaladara rabi Werdiningsih, cerita karangan Empu Purusaka.


11. Lakon Krida Kresna, cerita karangan Empu Jaruwaya. 


12. Lakon Alap-alapan Surtikanthi, cerita karangan Empu Mudra.


13. Lakon Dewa Budha, Sanghyang Guru jadi ratu di Medangkamulan awal, sampai berpindah kota ke Wukir Mahendra (Gunung Lawu) dan membuat kraton Kaswargan, cerita karangan Empu Padma di Mamenang.


Lakon-lakon tersebut kebanyakan karangan para Empu ahli kasusastran di Mamenang ketika jaman Prabu Jayabaya di Kediri. Ceritanya bagus sampai masuk ke dalam hati, tidak berbeda jauh dengan lakon Dewa Ruci dan Harjuna Wiwaha.


 Serat Jitabsara isinya menceritakan awal mula terjadinya dunia dan seisinya, sampai kesempurnaan hidup lalu disambung dengan serat Paramayoga yang sudah disiapkan, diurutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga ahli kasusastran di Surakarta.


Serat Paramayoga, isinya kisah Sanghyang Nurcahya sampai kisah para dewa-dewa sejak di tanah Hindu sampai mengungsi ke pulau Jawa, lamanya sampai 25 tahun, lalu pada kembali lagi ke tanah Hindia.


 Ketika berada di pulau Jawa membuat kerajaan, makanya sampai sekarang orang orang di pulau Jawa masih banyak menceritakan ceritanya, dan masih percaya pada dewa-dewa tersebut sampai bisa memindah cerita-cerita tadi sebagai isi dalam lakon wayang purwa sampai jaman sekarang, sekaligus sebagai pengingat pada para leluhur jaman dahulu.


Serat Pustaka Raja purwa, sebagai kelanjutan dari Serat Paramayoga tersebut di atas. 


Isi Serat Pustaka Raja Purwa tersebut semua adalah para empu-empu ahli kasusastran ketika jaman Prabu Jayabaya menjadi raja di negara Kediri ketika tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bagian ke 4, bernama serat Gorowongso karangan empu Barandang, pada tahun surya 853, tahun candra 879.


 Serat Pustaka Raja bagian ke 6 bernama serat Wandalaksana, karangan empu Ragarunting di Mamenang atas perintah Sang Prabu Jayabaya pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6, bagian ke 4, bernama serat Hariwanda karangan empu Panuluh di Mamenang pada tahun surya 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 6 bagian ke 5 bernama serat Parapatra karangan empu Yogiswara di Mamenang pada tahun surya 853, tahun candra 879.


 Serat Pustaka Raja bab yang ke 7 bernama serat Suktinawyasa karangan empu Wijayaka ketika tahun 853, tahun candra 879. Serat Pustaka Raja bab yang ke 7 adalah penjelasan serat Mahapatra, dibagi dalam 8 lakon, bagian ke satu dinamakan serat Wahanyapurwa, karangan empu Tapawangkeng di Mamenang, ketika tahun surya 853, tahun candra 879.


 Ada lagi serat Mahadarma, juga serat karangan para empu kasusastran Jawa ketika jaman Prabu Jayabaya di Kediri, isi serat-serat tersebut menceritakan kisah para dewa ketika ngejawantah menjadi ratu di bumi sampai bisa menurunkan manusia yang menjadi ratu sampai di jaman sekarang. 


Isi serat Pustaka Raja itu hanya seperti cerita dongeng ketika jaman dulu, yang berisi wejangan wejangan yang bisa dijadikan contoh tentang baik dan buruk kehidupan manusia di dunia ini. Jadi kalau hanya dilihat isi dongengnya saja itu tidak bisa dijadikan cerita dalam pakeliran wayang purwa. 


Raja purwa sudah diurutkan oleh seorang Pujangga ahli kasusastran di negara Surakarta Hadiningrat. Bisa diurutkan mulai dari jilid 1 sampai jilid 15. sedangkan yang sudah pernah dicetak menjadi buku baru sampai jilid 10 sedangkan sisanya kebanyakan masih dalam bentuk tulisan tangan, bisa dinamakan carikan.


Lakon pewayangan mengandung unsur pendidikan. Itulah bentuk wulangan wejangan wedharan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.