SEJARAH GUNUNG GAJAH TEMPAT SEMEDI AMANGKURAT TEGALARUM.

 SEJARAH GUNUNG GAJAH TEMPAT SEMEDI  AMANGKURAT TEGALARUM. 

Gunung gajah

Oleh: Dr. Purwadi i, M.Hum

Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA

Hp 087864404347 



A. Daya Linuwih Gunung Gajah. 


Terletak di desa Gongseng Randudongkal Pemalang, gunung Gajah memancarkan aura magis. Pernah digunakan sebagai tempat semedi Sinuwun Amangkurat Tegalarum Raja Mataram tahun 1645 - 1677. 


Sinuwun Amangkurat  Tegalarum atau Amangkurat Banyumas adalah raja besar yang bijak bestari. Terkenal sebagai negeri maritim di wilayah pesisir. Begitu berjiwa agung, maka masyarakat memberi gelar Sinuwun Amangkurat Agung. 


Untuk wilayah di Pemalang, jasa Amangkurat Agung sungguh berlimpah ruah. Masyarakat mengenang sepanjang jaman. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama harum. 


Perlu diketahui sejarah Pemalang dengan cermat. 

Adipati Maoneng Keturunan Ki Juru Martani mendirikan Kabupaten Pemalang. 


Jasmerah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah. Sejarah Kabupaten Pemalang berkaitan langsung dengan peran Adipati Maoneng. Beliau masihh keturunan Kadipaten Wonosobo. Ki Ageng Sobo menurunkan Ki Juru Martani. Beliau pendiri Kerajaan Mataram. 


Dulu pernah menjadi penasihat tata praja kasultanan Pajang yang dipimpin oleh Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya tahun 1546-1582. Sedangkan kerajaan Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati tahun 1582-1601.


Kerajaan Mataram didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Juru Martani. Selama Mataram dipimpin Panembahan Senapati, Ki Ageng Juru Martani bertindak sebagai penasihat utama kerajaan. Adapun Patih Mandaraba, putra Ki Ageng Juru Martani, menjabat sebagai Perdana Menteri. Patih Mandaraba berputra Adipati Hupasanta, penguasa Kediri. Adipati Hupasanta berputra Kanjeng Ratu Batang dan Adipati Maoneng. Kanjeng Ratu Batang menjadi garwa prameswari Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram tahun 1613-1645.


Adipati Maoneng Notokusumo dilantik menjadi Bupati Pemalang sejak tahun 1647. Upacara pelantikan langsung dipimpin oleh Kanjeng Sinuwun Sri Amangkurat Tegal Arum atau Sinuwun Amangkurat Banyumas, raja Mataram yang memerintah tahun 1645-1677. Hadir pula garwa prameswari, Kanjeng Ratu Wiratsari atau Kanjeng Ratu Kencono. Tampak hadir tamu undangan dari kabupaten  Tegal, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Rembang, Pati, Madiun dan Wonosobo. Mereka masih ada hubungan keluarga melalui jalur Kerajaan Mataram, Pajang, Demak dan Majapahit.


Sebelum pelantikan dilakukan upacara wilujengan di gunung Gajah. Abdi dalem Purwo Kinanthi bertugas menyiapkan uba rampe. Sekar, ganda, ratus, dupa, rasamala. Semua berdoa demi keselamatan bersama. 


Keluarga Kraton Pajang mendapat perhatian khusus dari waga Pemalang. Putra Joko Tingkir raja Pajang ini pernah menyebarkan ilmu agama di Kaliwungu Kendal dan penggarit Taman. Beliau mendukung pondok pesantren yang dibina oleh Syekh Maulana Magribi di Comal, Syekh Ngali Muntaha, Syekh Achmad Rohidin. Pangeran Benowo memang ditugaskan oleh Joko Tingkir untuk bergerak dalam bidang spiritual agama ageming aji. Putri Pangeran Benowo, Dyah Banowati menikah dengan Prabu Hadi Hanyakrawati, raja Mataram tahun 1601-1613.


Penghormatan atas jasa Pangeran Benowo ini diabadikan oleh masyarakat Pemalang sebagai bibit kawit cikal bakal. Hari ulang tahun Kabupaten Pemalang disepakati dengan melihat kegiatan sosial kultural spiritual Pangeran Benowo di Pemalang pada hari Kamis Kliwon tanggal 1 Syawal 1416 je atau 24 Januari 1575. 


Tahun komariah diberi tetenger candra sengkala: Tawakal Ambuka Wahananing Manunggal atau 1496. Sedangkan tahun masehi dengan tetenger Surya Sangkala: Lunguding Sabda Wangsiting Gusti atau 1575.


Rasa kebangsaan masyarakat Pemalang tetap tinggi: kearifan lokal digunakan sebagai sarana, untuk kehidupan berbangsa dan bernegara pada tingkat nasional. Kabupaten Pemalang memiliki sesanti atau semboyan Sengkalan Pancasila Kaloka panduning Nagari. Pemilihan hari sejarah itu dengan kesepakatan.


Adapun Sinuwun Amangkurat Agung atau Amangkurat Banyumas dan Ratu Kencono memang menghendaki agar jasa Pangeran Benowo diabadikan tanggal 24 Januari 1575 itu merupakan hari bersejarah bagi rakyat Pemalang. Amanat raja Mataram itu disampaikan ketika berkunjung di Maoneng Bojongbala, Pemalang, sehari setelah upacara pelantikan.


Pada masa pemerintahan Adipati Maoneng Notokusumo ini perkembangan segala bidang dilakukan dengan gencar. Pembenahan irigasi pertanian meliputi kali Comal, kali Walur, kali Rambat. Pengairan berguna untuk pertanian. Tanaman tumbuh subur. Maka Kabupaten Pemalang cukup sandang pangan papan. Padi, ketela, jagung, rambutan, salak, pisang, mangga, pepaya, manggis, duren, sawo, panen berlimpah ruah. Rakyat Pemalang hidup subur makmur. Tiap tahun pembesar Pemalang parak glondhong pangareng areng, peni peni raja peni, guru bakal guru dadi, emas picis rajabrana.


Tiap delapan sekali, yakni hari Selasa Kliwon diadakan ritual adat di Gunung Gajah. Ini tradisi yang berlangsung turun tumurun. 


Kerajaan Mataram selanjutnya dipimpin oleh Kanjeng Sinuwun Sri Susuhunan Amangkurat Jawi tahun 1717-1726. Beliau melantik Adipati Subajaya tahun 1723. Bupati Pemalang ini membangun fasilitas publik di daerah Bodeh, Ulujami, Comal, Ampelgading, Petarukan, Taman, Bantarbolong, Randudongkal, Warungpring, Moga, Pulosari, Watukumpul, Belik. Dengan semangat juang tinggi Adipati Subajaya berdarma bakti untuk rakyat, bangsa dan negara. Itulah tekad suci demi tepa palupi.


Gugur Gunung


Ayo kanca ayo kanca

Ngayahi pakaryan praja

Kono kene kono kene

Gotong royong nyambut gawe

Sayuk sayuk rukun

Bebarengan ro kancane

Lila lan legawa

Kanggo mulyane negara


Lelagon ini pernah dikumandangkan di Pesanggrahan Randu Gumbolo, Kawedanan Randudongkal.


B. Tata Cara Adat di Gunung Gajah. 


Desa mawa cara, negara mawa tata. Negeri Mataram subur makmur, karena para pejabat suka tirakat. Gunung gajah tempat semedi untuk ngalap berkah. 


Adat Istiadat ini dilakukan oleh para raja Mataram dan segenap pimpinan Kabupaten Pemalang. Gunung Gajah ibarat negeri Gajah Oya atau negeri Kuru Jenggala. 


Para Bupati Pemalang yang menganyam peradaban agung dan anggun perlu dicontoh. Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani. 


1. Adipati Maoneng Notokusumo I, 1647-1662

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum, Raja Mataram.


2. Adipati Maoneng Notokusumo II, 1662-1682

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Tegal Arum, Raja Mataram.


3. Adipati Maoneng Notokusumo III, 1682-1704

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Amral, Raja Mataram.


4. Adipati Maoneng Notokusumo IV, 1704-1716

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Mas, Raja Mataram.


5. Adipati Maoneng Notokusumo V, 1716-1723

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono I, Raja Mataram.


6. Adipati Subajaya I, 1723-1738

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Amangkurat Jawi, Raja Mataram.


7. Adipati Subajaya II, 1738-1752

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono II, Raja Mataram.


8. Adipati Subajaya III, 1752-1781

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, Raja Mataram.


9. Adipati Subajaya IV, 1781-1796

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono III, Raja Surakarta Hadiningrat.


10. Adipati Subajaya V, 1796-1821

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IV, Raja Surakarta Hadiningrat.


11. Adipati Reksodiningrat I, 1821-1836 

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono V, Raja Surakarta Hadiningrat.


12. Adipati Reksodiningrat II, 1836-1859

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VII, Raja Surakarta Hadiningrat.


13. Adipati Reksodiningrat III, 1859-1870

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono VIII, Raja Surakarta Hadiningrat.


14. Adipati Reksodiningrat IV, 1870-1885

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX, Raja Surakarta Hadiningrat.


15. Tumenggung Sumonagoro I, 1885-1897

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono IX , Raja Surakarta Hadiningrat.


16. Tumenggung Sumonagoro II, 1897-1915

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, Raja Surakarta Hadiningrat.


17. Tumenggung Sumonagoro III, 1915-1930

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, Raja Surakarta Hadiningrat.


18. RAA Sundoro Suro Hadikusumo, 1930-1941

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono X, Raja Surakarta Hadiningrat.


19. RTA Rahardjo Suro Hadikusumo, 1941-1946

Dilantik pada jaman pemerintahan Sinuwun Paku Buwono XI, Raja Surakarta Hadiningrat.


20. Soewarno, 1947-1948

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


21. Mochtar, 1948-1954

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


22. RM Soemardi, 1954-1956

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


23. Machali, 1956-1958

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


24. RM Soemartojo, 1958-1966

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


25. Drs. Rivai Yusuf, 1967-1872

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno.


26. Drs. Soedarmo, 1972-1975

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


27. Yoesoef Achmadi, 1975-1981

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


28. Slamet Haryanto, BA, 1981-1991

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


29. Drs. Soewartono, 1991-1996

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


30. Drs. H. Munir, 1996-2000

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto.


31. HM Machroes, SH, 2000-2011

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.


32. H. Junaedi, SH., MH, 2011-2021

Dilantik pada jaman pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo. 


Gunung Gajah memberi energi spiritual. Raja Amangkurat Agung melakukan tapa brata. 


C. Babad Pesanggrahan Randu Gumbolo ing Randudongkal Pemalang. 


Amengeti nalika panjenenganipun ingkang Sinuhun Amangkurat ingkang sumare ing Tegalarum amarengaken dhateng dhalang kang nama Kyai Panjangmas, damel ruwatan mawi wayang wacucal boten mawi wayang beber malih. Pandhapukipun Kyai Panjangmas wau ngangge pengetan nalika Raden Panji Kasatriyan anamur dados dhalang pangruwatan sesilih Kyai Kandhabuwana utawi Kilatbuwana, niyaganipun para kadang kadeyan.


Upami wonten lare ingkang kasangkala dhawah ing ila-ila utawi tiyang nambut damel kapesan saking weyaning patrap kadrawasan. Lajeng nedya karuwat mawi nanggap ringgit cucal wau, dhalang ingkang saged mantraning ruwatan. Inggih punika apal saungeling rajah. Kalacakan utawi mangertos dhateng lampah-lampahing pangruwat kados ing pandhapukipun Kyai Panjangmas ngandhap punika.


Wiwit wonten ringgitan wacucal dumugi satelasing lampahan, tancep kayon enjing kaangkah taksih repet-repet lajeng mbesmi dupa menyan ingkang ageng. Wayang ingkang ngrubung pareden kakukut kantun reden. (ing wekdal punika sesajening ruwatan kawedalna, katata sacelaking kothak. Warni ambengan, tumpeng megana, sekul asahan, wuduk, liwetan. Ingkang warni jenang, baro-baro, katul, baning, sungsum, abrit saha pethak. Jajan pasar, golong, pecel ayam, jangan menir, panggang, lembaran, ulam mesa gorengan saha sriyataning lare ingkang karuwat miturut pawukoning lare ingkang karuwat, kajawi sajen ing ringgitan. 


Ing riku dhalang lajeng anetek gedhog, gender kagrumung, pathethan kaliyan rebab, dhalang anyariyosaken tumuruning Bathara Kala, gunungan kapendhet. Adegan Bathara Kala (danawa ageng), kaliyan Sang Hyang Antaga (inggih Togog). Ing riku Bathara Kala ngandika, "Heh uwa Antaga. Ingsun wus rinilan tumurun marang marcapada arsa memilih ing wong kang weya ing gawe sarta sagunging bocah kang lahir apes dadi memangsaningsun". Hyang Antaga jumurung badhe  umiring lajeng mangkat.


Adegan Sang Hyang Wisnu kaliyan Sang Hyang Ismaya (Semar). Angandika, "Uwa Ismaya. Ulun pinatah angruwat sakehing bocah kang samya weya ing karya ywa kongsi kenging kenging katadhah ing Bathara Kala. Marma suwawi tumunten mangkat" Hyang Ismaya jumurung gya tumutur. Lajeng kacariyosaken bilih Bathara Kala tansah kaweleh anggening ngupados memangsan margi sampun karuwat. Saking welasipun Hyang Antaga lajeng manggihi Hyang Ismaya.


Adegan Semar lawan Togog.


Hyang Antaga muwus, "Adhi Hyang Ismaya. Apa mulane Hyang Wisnu angalang-alangi pepancane Bathara Kala muga dingengehana". Hyang Ismaya muwus, "Kakang mungguh kang wus kabanjur rinuwat iya becik lestariya rahayu. Dene kang kaliwatan iku bageyane golekana".


Hyang Antaga lajeng kesah, Hyang Ismaya ugi anututi.

Kacariyos wonten tiyang wasta pun Jaka Jatus, ingkang sanget lumuh ing damel saweg panuju lenggah ing kori kadenangan Bathara Kala. Lajeng binujeng boten dangu kenging kacepeng. Lajeng kauntal malang.


Lajeng adegan ing Medhangwantu kados ing ngandhap punika. Buyut Wangkeng (ngangge Semar) cinarita wanci enjang lenggah neng saluning pandhapi. Gya katungka praptaning suta myang mantu kang aran Buyut Keduwal ing Medhanggowong. Nguni ran Jaka Sondong (ngangge Togog) miwah rabine aran Rara Primpen (ngangge Srikandhi).


Gya ingawe kinen satata lenggah ing salu. Yata Buyut Wangkeng mangudasmara ing nala, "Baya ana paran iki, ngentheng-entheng wong roro samya prapta dene dereng lama."  Mangkana kacarita candraning warna kang prapti kalih. Rara Primpen, sarira gilig aninthing, kulit jenar semu ijo maya-maya, lathi dhamis, wadana nawang sutengsu, liringe galak amanis, sedhet dedege, respati dhemes, luwes merakati, kewes, gandhang pamicara.


Tandang-tanduk gapyak bekti mring sudarmi. Tulus hayuning driya mila tansah dadya kekembanganing  kidung wong sakrajan Medhangwantu. Lakine Buyut Geduwal, winarna candraning angga. Dedeg kak-kong, mathekel wadhuk balendhing, rambut jagung kruwut-kruwut, bathuk nonong, mripat malolo, serat sindur. Irung nungkik nadhah udan, brengos pitu sisih, lambe nyongor kandel wiyar, kang ngandhap dumbleh nggandhul, jejenggot pindha kambing sukun datan mawi untu.


Nanging guneme tatas, karem nginang gabres angelebi irung. Mila pined mantu jalaran temen wekel ing tetani. Dupi wusnya  sami lenggah sawatara, Buyut Wangkeng gya manembrama. "Thole nganten padha becik?" Buyut Geduwal manembah, "Timbalane jeng kyai kula pundhi. Pangabekti kula katur pak kyai mara-sepuh".


Angling malih Buyut Wangkeng, mring sutestri. "Padha becik sira rara, tekamu neng ngarsa mami?" Rara Primpen nembah wacana. "Iya pangestune rama".


Nganten Geduwal gya matur nganjali, "Nuwun kyai mara-sepuh. Sowanipun kula kang sapindhah dhapur kangen. Tingalipun sampun lami boten sowan. Kaping kalihipun kyai kula angaturaken pasrah awonipun putrandika tiyang estri. Nun inggih lestantunipun dados rayad kawula marcapada dumugining delahan. Andhika dhenceng-dhencengan, karuwelan tiyang kalih." Dennya matur sangga uwang konyar-konyor netra kalih luh adres marawayan wusing telas aturipun makidhupuh mlungker lamber klengsreh salu.


Buyut Wangkeng welas mulat gumuyu wacana manis. "Mengko nganten ingsun tanya lagi kapriye patrape bojomu marang sira, sungkem ing palakrama?" Ki Geduwal megap-megap nembah matur. "Kadospundi marasepuh, putranta pun gendhuk dara nyai. Enjing satangine nendra dhelog-dhelog main susur neng kori. Kula atak nyapu-nyapu utawi godhoga toya angempreti. Eca-eca nyomak-nyamuk. Radi siyang kula prentah ucal-ucal ngreratengi basengut malerok kesah.


Bilih kula mantuk saking sabin, taksih tebih kula beluk, "Dhuk gendhuk kakangmu prapta", tan sumaur kagyad kadhatengan tengu. Saben mapan patileman lawan kori den teteki. Sawiji dinten mapan tilem kori dereng kinunci. Kula mlebet badhe nusul, barangkang prapteng dagan, suku kalih ndhupak nyemplung mring tutuk.


Mak bleng, jempol ingkang kanan ngudhis-udhis jepit sentil. Langkung sakit, kula dhawah saking ngamben. Barangkang lajeng mijil, mutah-mutah ngantos gerus. Ilat manggung kekadhar tekeng enjing saweg purun malbeng tutuk. Bok bilih ginalih dora kyai, ndanguwa pribadi dhateng putra jengandika". Atur cunthel mewak-mewek ngusapi eluh. Tumandho lambe dhuwur campur lan umbel akas, kadi santening ingen pating kalaprut. Satekem siniratken mring jogan. Lir wong bucal toya tuwung. Buyut Wangkeng duk miyarsa gumujeng sinamun runtik mring putrestri. "Aja kumbi sira nini. Kalamun iku satuhu paranta karepira?"


Rara Primpen manembah mesem umatur. "Dhuh rama pepundhen ingwang. Muga ywa kalajeng runtik aturku kapirengna. Yen doraa ajrih sikuning Widdhi. Baya nora antuk pangestuning wong tuwa, papa bae kang tinemu raganingsun. Aku amedharake lakyan mantumu si kether jijih, wandane tan ana madha. Carobone tan ana nyami. Bodhone kaworan lumuh nganggo ora isinan. Pilihane mung antukan. Pratandha suwunging ati. Rineha tumemen ing karya anggepe adolarisik. Mungguh ature putranta ki mas nganten tan asisip. Ananging kapriye rama nggonku bisa nglakoni. Akon reresik ing panti nora duwe kelut sapu. Parentah godhog toya kendhile benthet waradin. Karen lemah kayune glugu wutuhan. Takaturi nyigar-nyigar dimene alit-alit, ora susah. Yen cilik-cilik mbeborosi. Marentah angreratengi nyrumbat krambil nora pecus. Memet sambat wegah golek banyu sambat atis takalahi anyenyambat maring tangga.


Aku methiki janganan, mas nganten kang tunggu geni, teka ngantuk karenggosan kempuse kaya garimis. Genine mati saya mempeng gone ngantuk. Anjeblos dandange pecah mawut-mawut genine mati. Suprandene mantumu kebacut nendra neng ngarep keren jerbabah kadi turu neng kasur-sari. Yen teka saka ing sawah, mikul pacul nyangking kudhi rengeng-rengeng medeni. Tur awake gluprut endhut njujug patileman niba breg pacul sinandhing. Ura-ura ngalompra tan tiba pada. Takekon wisuh marang pakiwan, wangsulane yen wis garing mengko rak lunga dhewe. Banjur ngorok kaya sapi lindurane anglangkungi. Sora, cetha miwah gelur. Saben arsa mapan nendra sembari angganten dhisik. Ngemut susur komoh lir teluhbraja.


Susur kacopot kinarya ngusap bibir ngandhap nginggil, nganti ngethel yakne ketat. Takemutake wangulane mek anyeres merkinting. De nalika nusul turu aku, aku nuju supena. Ana ing kanane keksi mentas saka pasar atetumbas betah. Ing marga ana luwangan tan darana taklumpati. Cupet kacemplung ingwang. Tetukonku kocar-kacir kaluwak mung sawiji bita ing luwangan mau. Takjapit ing sikil kanan, durung mentas banjur nglilir. Banget eram teka sikil karo pisan wus den emut ing kakangmas. Jempolan ajapit sentil sru kagyad kadi ndhupak.


Mantumu dhawah kuwalik-walik, bibir kang nginggil gathik waton lawang bae, bintul. Tan ageng mung saklapa. Barangkangan banjur mijil mutah-mutah sawengi tan mawi kemba. Ah wong temen ora jarang kangmase dadi penggalih. Aku banjur dikon dandan mangkat sowan mrene iki".


Ki Buyut ngandika aris, "Padha dene ananipun. Nanging dununge lepat, erose saka sireki gonmu durung carem caraning akrama. Dhenok, aku ora ina. Samana nganggo taktari, apa anane tak-gelar. Muwung dene awit cilik, nggone melu ing mami tumekeng diwasanipun, bodhone dhasar wus nyata. Ananging temen tani bentil. Tangan anyep taberi anambut karya. Sireku uwus kaduga nglakoni sapakon mami wekasan mangkene nyawa. Rara lamun sira nganti pegat anggenira akrami, tajabakken aywa ngaku. Lah aja katon marang pakarep-karepmu dadi."


Rara Primpen karuna nungkemi pada. "Dhuh jeng rama. Apuranta aywa kalajeng-lajeng runtik. Yen jeng rama tan ngaksama dadi apa awak mami. Lah sapa ingkang sudi ngukup marang raganingsun, wah nandhang saru nistha tan miturut marang sudarmi. Ing delahan pinasthi aneng naraka. Rama ywa panjang-panjang galiha mengkene. Uwis lumrahe omah-omah, padudon kekembang dadi. Jare bangun tresna sihaneng jinemrum kadi panganten anyar, basane renggang gulali. Angaruwel  kadi bako eca Rama.


Saestune tan lenggana rama miturut rehing akrami. Ananging yen pareng jeng rama sartane kagungan picis nyuwun ugungan mami, katanggapna wayang wengkung. Kalamun wus kalakyan kang dadi panyuwun mami sakarsane kangmase dherek kewala".


Ki Buyut kalangkung suka lega rasane kang ati. "Rara aywa tinggal candra. Warnamu ngresepken ati tanana kang winanci miturut reh mrih rahayu. Thole Buyut Geduwal, kowe menyanga saiki marang Mendhangkawit. Aja wedi kangelan. Kono ana dhalang anyar, becik pamayangneki. Kyating rat Kandhabuwana. Kalamun sira wus panggih, matura ing kyai manawa dhangan ing kalbu lan nuju tan parengan, ing mengko bengi takpurih keparenga andhalang neng wismaningwang.

Kadang-warga gawanana, bahu angusung-usungi."


Buyut Sondong tur sembah, "Nuwun, inggih kyai. Sarehning sampun tipis, padhang-jingglang ingkang dhawuh. Pun kula kalilana lajeng mangkat ing saniki". "Iya thole. Aku banjur tata-tata." Mundur Ki Buyut Geduwal, Ki Buyut lan Rara Primpen samya andum damel (kabedhol).


Prapteng jawi Buyut Geduwal cangkelak wangsul manabda, Ela. Jenang gula manis, durung pamit ta nyai? Wong gondreng-gondreng weh gandrung, pinanggih ing pengkeran lagya angracik ganten wangi. Ngrujit sekar malathi menur, gambir pethak". Dumrojog Buyut Geduwal andhodhok ngajenging kori, angling groyok megap-megap, "Dhuk endhuk. Andhiku wong kuning ayu mrak ati, trincing. Aku lunga ywa kobeluk sasuwene taktinggal aja metu saka panti. Sawer ponthang dak mati rak melang-melang yen dijawad cacing abang".


Rara Primpen duk miyarsi, "Aja mbaung wus lungga, mengko taksawuri gandhik congormu dimen tipis, mari kaya ngemut lesung". Mas Nganten palarasan, "Hut, gandrik meta Nyi Boging. Hem, hem, lothung oleh sesarapan ujar". Wus lepas lampahe nganteng nanging lali tanpa kanthi anginthar lampahe jenthir.


Gantya kocap Mendhangkawit. Nyai randha Sumampir ngadhep Risang Amongluhung Ki Dhalang Sanggabuwana, panggender Nyai Sruni, pangendhange nama Kyai Kalungkungan. Nyi randha marek ing ngarsa. 


Cinarita duk ing nguni miskine kaliwat-liwat. Mangkya thukul sandhang bukti bisa ayasa panti pandhapa, gandhok myang lumbung, kandhang lembu maesa, pawon pisang-slirang tharik, paregolan miwah sanggar palanggatun, pager turus tumaruna, benggang pinasthi sanyari. Laren wening tepung gelang, palataran resik gasik, taru thinarik-tarik. Saro, tanjung, kepel, dhuku, manggis, pelem, rambutan, blimbing, jambu pethak abrit, tinon wingit samya ndadi, woh tan kendhat. Nyi randha katingal rasa anak-putu ingkang tebih miwah kawula kapraga anggili samya prapta. Wadya ing Mendhangkawit reja raharja kalangkung. Wus karan ing karajan, pasare rahina wengi. Jalu-estri tyase tentrem tur kacekap.


Ki dhalang Kandhabuwana tanya mring Randha Sumampir. "Nyai, ing salawasingwang manggon ing wismanira, apata baya dadi ribet miwah katunanmu? Sarehning nganti lawas." Randha matur mangenjali, "Dhuh kiyai. Estu boten pisan-pisan yen kadi kang pangandika. Tan saged matur kang abdi. Mulyane badan kawula, rejane kang Mendhangkawit. Saestu awit saking sawabipun sang linuhung kang sarira bathara. Punapa wewales mami. Tan lyan amung bekti lan sungkem kawula maring bathara kang murba-misesa sagung dumadi, lantaran sing paduka.


Dahat panuwun mami, bilih panudyeng kapti dhedhepak ing Mendhangkawit dumadya pepundhen ulun, sanak-putu amba". Ki dhalang angandika aris. "Iya nyai banget panarimaningwang. Kang dadi pamintanira gampang katemu ing wuri. Amung ing samangkenira, ywa jeneng Nyai Sumampir. Ingsun parigi nami randha Asemsore mungguh. Kalawan tampanana gegadhunanira nyai cecekelan lara encok sesaminya.


Sapa wonge meme sinjang nganti kasurupan rawi nora den entas. Lan para janmi amayokken sambel mungging ing lemper lemah lan watu lan mayokken jangan asem enjange nuli binukti. Dunungana lara encok, iku padha". Asemsore nuwun aturnya "Ngestokaken sabda kapundhi". Kasaru Buyut Geduwal kula nuwun, sigra manjing. Bagegeg aneng ngarsi.


Ki dhalang wacana arum. "Bagus sira bageya. Pinangkanira ing ngendi? Lawan sapa kekasihmu myang apa sedyanta ugi".


Matur kang sinung pambagya, "Kyai adangu wak mami, kala dereng asesimah, Jaka Sondang pilih tandhing. Kala mangsa kawingking, anyarengi randhu rubuh, estu pasihaning Hyang pinundhut mantu Kyai Buyut Wangkeng Mendhangtamtu padhepokan.


Dhinaupken kalawan putranipun ayu estri Rara Primpen musthikeng. Lejeng pinaringan nami Buyut Geduwal, inggih mawi pinacak dhedhukuh ing Mendhanggowongan. Abundhel misesani semah kula bakjeng Primpen kula bekta. Nama lami nama enggal kasilep awit kawijil, karan mas nganten kewala".


Kalunglungan suka myarsi, "Kemase adremimil nganggo sarasilah galur. Randhu rubuh kalawan cacing mantu dhisik endi?" Ah wikana. Kula boten dipun undang. Nuwun kyai sowan kula nginthar memet tanpa kanthi, wanci bedhug dheng dharandhang. Manrang benter kontrang-kantring. Mripat balereng aking, kekonang pating kalenyur.


Karingeten darodogan, gurung kraket keket salit. Ambagogok lungguh ing salu sampeyan sajatose awigatya. Dhapur kinengken kyai, raka dika marasepuh, tilem dereng diwowori. Buyut Wangkeng kekasih, pepundhen ing Mendhangwantu.  Noninggih kang sapindhah kintun pangestu basuki. Kaping kalih, bilih boten sesarengan ing mangke dalu, sampeyan dipun aturi angringgit dhateng Mendhangwantu krajan. Parlu ngluwari punagi, kang abdi tiyang estri salamine dereng atut. Nelasken guna-bisa purun atut anuruti nanging darbe panedha tanggapan wayang.


Sinom


Mila kula gurawalan

merlokken sowan mariki

sanget panyuwun kawula

kalampahanipun angringgit

saestu anjalari

ithak-ithuk gathuk-bathuk

yen sampun kalampahan

mas ajenge kula dhong-dhong

angaturi uninga dhateng sampeyan.


Kalunglungan latah-latah,

tobil nganti ora ngarti

tembunge ngandhar ngalenthar

nganti perlune kalindhih

ki dhalang ngandika ris

kapasang yoga ki bagus

iki pinuju sela

matura kakang kiyahi

luwih atut manisra wus sagah sowan.


Kabupaten Pemalang ternyata memiliki sejarah yang agung dan anggun. Pada masa lampau masyarakat Pemalang berhubungan erat dengan Kraton Majapahit, Demak, Pajang, Mataram dan Surakarta Hadiningrat. Kesadaran sejarah tersebut berguna untuk melakukan pembangunan segala bidang pada masa kini. Lebih penting lagi sejarah dapat digunakan untuk meneropong kehidupan masa depan yang lebih gemilang.


Gunung Gajah yang terletak di Gongseng Randudongkal memiliki unsur sejarah. Sinuwun Amangkurat Banyumas atau Amangkurat Tegalarum bertapa untuk mendapat daya linuwih. Sarana mesu budi menajamkan kepekaan batin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SARASEHAN PUSAKA BEDAYA KETAWANG

Macapat Mahargya Dr Sudarmaji M.Pd.

SUGENG RIYADI IDUL FITRI.